Senja di sore hari mulai menyapa, langit jingga mulai terlihat begitu indah dari dalam cafe yang berlokasi tidak jauh dari pantai. Seorang laki-laki dengan pakaian serba hitam serta topi dan kacamata hitam sedang duduk di lantai dua cafe itu sembari menatap layar ponselnya yang memperlihatkan rekaman CCTV di lantai satu, lebih tepatnya memperlihatkan Khaira yang sedang sibuk melayani pelanggan cafe dengan begitu ramah.
Saat Khaira tersenyum kepada pelanggan, laki-laki itu juga ikut tersenyum. "Bahkan kamu tidak pernah tersenyum kepadaku selama berteman hingga kita saling menjauh seperti ini." Boy membuang napas lesu jika mengingat kenyataan yang sedang ia hadapi saat ini.
Tak lama setelah itu, terdengar suara adzan berkumandang di masjid yang berada tidak jauh dari cafe. Boy mulai bersiap untuk pergi karena ia tahu sebentar lagi Khaira pasti akan ke masjid untuk menunaikan sholat.
Saat Boy menuruni tangga dan tiba di lantai satu, ia sudah dapat melihat Khaira berjalan keluar cafe setelah sebelumnya meminta izin untuk sholat kepada manager cafe tersebut.
Boy menghentikan langkahnya saat berada tepat di depan pagar masjid, ia memperhatikan Khaira yang kini memasuki masjid itu. Rasanya ia begitu kotor untuk bisa masuk ke dalam sana. Namun, lantunan adzan yang masih saja berkumandang, membuat hati laki-laki itu sedikit bergetar.
Entah dorongan dari mana, Boy tiba-tiba penasaran ingin memasuki masjid itu. Bagaimana rasanya masuk masjid sehingga mereka yang pernah masuk selalu kembali ke sana saat waktu sholat? Begitu pikirnya.
Ia sudah lupa kapan terakhir kali ia menginjak masjid, mungkin saat ibunya masih ada, dan ia masih hidup bahagia bersama kedua orang tuanya. Sangat berbeda dengan kegidupannya sekarang yang jauh dari kata bahagia.
Walaupun hampir setiap hari Boy bersenang-senang bersama temannya, tapi ia tidak pernah menemukan kebahagiaannya di sana. Sangat berbeda dengan Khaira, meski sahabatnya hanya Shaza dan lebih sering di rumah, sorot mata gadis itu selalu menampilkan kebahagiaan.
Masih dengan pikiran yang kesana kemari, hingga perkataan Khaira mengenai sholat kemarin terlintas dalam ingatannya, Boy sampai tidak sadar jika kini ia sudah berada di depan pintu masjid. Sejuk dan tentram, itulah kesan pertama yang ia rasakan saat melihat orang-orang sedang duduk berdzikir, dan juga orang-orang yang sedang melakukan sholat sunnah di dalam sana.
"Nak, kenapa tidak masuk?" Boy terperanjat kaget saat seorang pria usia lanjut dengan wajah yang begitu teduh dan rambut yang sudah memutih menepuk pelan pundaknya.
"Apa saya boleh masuk?" Sebuah pertanyaan yang refleks keluar dari mulutnya, membuat pria di hadapannya tersenyum tipis.
"Semua orang yang ingin sholat boleh masuk, Nak. Apalagi jika dia seorang laki-laki sepertimu, maka hukum sholat berjamaah di masjid itu wajib, kecuali orang sakit dan musafir," ujar pria usia lanjut itu.
"Tapi, Pak, Kakek, ...." Boy menghentikan perkataannya karena bingung harus memanggil pria usia lanjut itu dengan sebutan apa.
"Abah, panggil saja abah. Apa ini pertama kalinya bagimu akan memasuki masjid?" tebak pria usia lanjut itu dan Boy refleks menganggukkan kepala.
"Apa kamu sudah berwudhu, Nak?" Boy menggelengkan kepalanya pelan. "Kalau begitu, mari Abah antar wudhu dulu." Pria usia lanjut itu akhirnya membawa Boy ke tempat wudhu sekaligus membimbing laki-laki itu berwudhu dengan sabar.
"Pakailah peci ini." Pria usia lanjut itu mengambil peci dari dalam tasnya dan memakaikannya di kepala Boy meski harus sedikit berjinjit karena tubuh Boy yang cukup tinggi.
"Ikutilah setiap gerakan Imam, tapi lakukan itu setelah Imam selesai mengucapkan 'Allahu Akbar' agar kamu tidak mendahului gerakan Imam."
"Baik, Abah."
Sholat maghrib pun di mulai di mana Boy berdiri tepat di samping pria usia lanjut tadi. Laki-laki itu tidak percaya jika malam ini ia benar-benar melakukan ibadah yang tidak pernah ia pikirkan sedikit pun selama ini. Ada rasa tentram yang merangkul hatinya kala ia ikut bersujud, semua beban yang selama ini membuat hidupnya terasa berat seolah hilang seketika.
Hingga tiga raka'at berlalu, dan dzikir yang dirangkaikan dengan doa bersama telah usai, satu per satu orang mulai keluar dari masjid itu. Boy pun hendak beranjak setelah mengembalikan peci yang tadi ia gunakan kepada pria usia lanjut itu lalu menggantinya dengan topi.
"Tunggu, Nak."
Boy langsung menoleh saat pria usia lanjut tadi memanggilnya. "Bawalah peci ini, anggap ini hadiah perkenalan kita, nama kamu siapa, Nak?" tanyanya seraya mengulurkan tangan ke arah Boy.
"Boy, Abah." Boy menerima peci itu lalu segera menjabat tangannya.
"Saya Rahman, ini kartu nama saya, barangkali suatu saat kamu mau berkunjung ke tempat saya, saya akan sangat senang. Kebetulan saya bukan orang asli sini, saya ke sini karena ada urusan pekerjaan saja."
"Iya, Abah, terima kasih untuk semuanya." Boy menerima kartu nama itu lalu segera keluar dari masjid setelah berpamitan dengan Abah Rahman.
.
.
.
Boy kini telah berada di lantai dua, ia kembali menyalakan ponselnya untuk melihat keberadaan Khaira, tapi sepertinya gadis itu belum kembali dari masjid. Beberapa menit ia menunggu, hingga akhirnya Khaira masuk ke cafe itu.
Sedang asik memandangi wajah Khaira dari jauh, suara perutnya yang keroncongan membuat Boy sadar jika sejak tadi siang ia belum makan apa pun, ia hanya sempat minum kopi siang tadi.
"Pak, bawakan aku makanan di lantai dua, aku lapar," ujar laki-laki itu kepada manager cafe melalui sambungan telepon.
***
Di lantai satu, para pelanggan cafe sedang banyak-banyaknya karena sudah memasuki waktu makan malam, semua pelayan tampak sibuk melayani pelanggan, kecuali Khaira yang baru saja kembali dari sholat maghrib.
"Ra, tolong kamu bawakan makanan ini ke bos kita," ujar salah satu rekan kerjanya.
"Bos kita?"
"Iya, dia ada di lantai dua."
"Meja nomor berapa?"
"Kurang tahu, kamu belum pernah lihat dia?" Khaira menggelengkan kepalanya pelan. "Oh iya aku lupa, kamu kan masih baru di sini, yang jelas tadi aku lihat dia pake baju serba hitam, orangnya jangkung, sedikit berotot, dan ganteng tentu saja, tapi hati-hati dia itu orangnya dingin dan sedikit kasar, jadi usahakan jangan membuat masalah di depannya."
"Iya, Kak. Baik."
Meski sedikit ngeri setelah mendengar ciri-ciri sang bos, Khaira tetap meberanikan dirinya. Bagaimana pun ini adalah pekerjaannya, dan dia harus profesional.
Sambil membawa sebuah baki besar yang berisi sepiring makanan dan segelas minuman, Khaira kini telah tiba di lantai dua. Matanya mulai memperhatikan semua orang yang ada di sana, hingga pandangannya tertuju pada seorang laki-laki berpakaian serba hitam yang duduk di pojok ruangan sambil membelakanginya.
Khaira begitu yakin jika laki-laki itu adalah bosnya, karena dari banyaknya orang yang ada di lantai dua, hanya dia yang sesuai degan ciri-ciri yang baru saja ia dengar dari rekan kerjanya.
"Permisi, ini makanannya, Pak."
Khaira mengerutkan keningnya saat ia melihat sang bos dengan cepat memakai topi dan kacamata seraya menunduk saat mendengar suaranya dari arah belakang.
"Ada apa dengannya? Apa dia juga pemalu?"
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Mommy QieS
aku jadi deg2an kak
2023-05-17
1
Mujib Sobri
bagus cerita ya
2023-05-07
2
Mia Roses
Khaira yang anterin makanan, tapi knp saya yg deg-degan ya 🤣🤣
2023-05-07
1