Hari terus berganti hingga tidak terasa satu minggu telah berlalu sejak Khaira dan Boy diminta untuk saling menjauh oleh Zafran. Kini laki-laki itu benar-benar tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya, bagai hilang di telan bumi.
Siang itu sepulang sekolah, Khaira memilih rebahan di depan TV bersama Shaza sambil menunggu jam kerjanya sore nanti. Namun, ada yang berbeda dari Khaira kali ini, ia tak lagi seceria dulu, bahkan ia sering melamun.
"Ra, aku perhatikan akhir-akhir ini kamu jadi sering melamun, kalau naik motor juga suka lihat kaca spion, ada apa? Apa kamu mencari Boy?"
Khaira lantas menoleh ke arah sahabatnya itu saat mendengar nama Boy di akhir kalimat. "Tidak kok, aku tidak apa-apa, aku hanya lelah saja akhir-akhir ini," jawab Khaira, tentu saja itu hanyalah sebuah alasan yang terlintas dipikirannya untuk saat ini.
Sejujurnya, Khaira juga tidak terlalu paham dengan apa yang ia rasakan akhir-akhir ini, seolah-olah ia kehilangan semangat dan keceriaan, entah karena apa. Bohong jika ia tidak mencari Boy, karena secara tidak sadar ia mulai sering memikirkan laki-laki itu.
Khaira jelas tahu, tidak seharusnya ia memikirkan laki-laki yang bukan mahramnya, terlebih lagi laki-laki itu adalah orang yang tidak direstui oleh sang ayah. Namun, ia bisa apa?
Khaira hanyalah seorang gadis yang sedang memasuki tahap pubertas, di mana secara perlahan hatinya mulai tertarik pada lawan jenis, ia sudah berusaha menghindari dan melupakan, tapi semakin ia berusaha melupakan, semakin besar pula ingatan itu muncul di pikirannya. Meski begitu, ia pasrahkan semua urusan hatinya pada Allah sebelum setan mengambil alih hatinya.
"Kamu yakin tidak apa-apa?" tanya Shaza, ia sedikit khawatir dengan keadaan sahabatnya kali ini. Persahabatan yang sudah mereka jalin sejak SD itu membuat Shaza mengenal Khaira dengan baik, sehingga ia bisa tahu dengan mudah jika sahabatnya itu sedang berbohong.
"Iya, aku tidak apa-apa kok," jawab Khaira tersenyum.
"Maaf, Ra, sebenarnya selama ini Boy tidak hilang, dia tetap ada di dekatmu dan menjagamu dari jauh, dia bahkan memintaku untuk menjagamu saat di sekolah, tapi aku tidak bisa mengatakannya padamu karena aku sudah berjanji padanya," batin Shaza.
***
Di sisi lain, seperti biasa, Boy sedang duduk di cafe yang tidak jauh dari rumah Khaira. Setiap hari setelah ia pulang sekolah dan setelah mengikuti Khaira yang juga pulang sekolah, Boy akan istirahat dan makan siang di cafe sekaligus menjaga Khaira yang berada di rumah saat itu, hingga saat Khaira akan pergi bekerja di cafe milik sang ayah, Boy akan kembali mengikutinya dari jauh.
"Bos, sampai kapan kamu akan menjaga dia seperti ini?" tanya Ifan yang sesekali menemani kegiatan sang bos.
"Aku akan terus menjaganya, sampai para brandal itu berhenti mengganggunya," ujar Boy.
Ia kembali mengingat sejak seminggu yang lalu, ada saja cara yang dilakukan geng Brandalz untuk mencelakai Khaira, tapi bagaimana pun usaha mereka mencelakai gadis itu, selalu saja berhasil di gagalkan oleh Boy secara diam-diam.
"Tapi, Bos, bagaimana pun kamu harus istirahat, jika seperti ini terus kamu bisa kelelahan dan malah jatuh sakit," ujar Ifan.
"Kamu pikir aku laki-laki apaan yang gampang sakit, aku tidak akan sakit hanya karena ini, tenang saja," ujar Boy lalu menyeruput secangkir Americano yang masih mengepulkan asap.
"Apa kamu baik-baik saja, Bos?" tanya Ifan hati-hati.
"Tentu saja, lihat tubuhku, semuanya baik-baik saja 'kan?" jawab Boy seraya mengangkat kedua tangannya ke samping dan memperlihatkan ototnya sebagai tanda jika dia baik-baik saja.
"Aku tidak berbicara tentang tubuhmu, tapi hatimu, Bos."
Seketika tangan Boy yang tadi terangkat langsung turun. "Memangnya kenapa dengan hatiku, aku baik-baik saja," jawabnya datar tapi berbeda dengan sorot matanya yang menyiratkan kesedihan.
Ifan membuang napas kasar, lalu menepuk pundak Boy. Ia tahu kesulitan yang dihadapi sang bos, bahkan ia mengira setelah diminta menjauh, Boy akan benar-benar menjauh. Nyatanya, ia hanya menghilang dari pandangan Khaira, tapi ia tidak menghilangkan Khaira dari pandangannya.
Ifan mengembuskan napas kasar, ingin sekali ia melarang Boy, tapi bagaimana pun, ia tetap harus menghargai keputusannya, meskipun beberapa agenda rutin geng motor mereka seperti touring, balapan, dan nongkrong di club malam harus tertunda sementara.
"Ifan, aku pergi dulu." Boy segera beranjak dari duduknya saat melihat Khaira keluar dari rumah dan bersiap pergi bekerja.
Melihat sikap sang bos yang benar-benar berubah semenjak mengenal Khaira, Ifan lagi-lagi hanya bisa memaklumi, sebab ia sadar cinta memang bisa merubah segalanya, termasuk laki-laki berhati keras dan dingin seperti Boy yang seketika berubah menjadi laki-laki hangat dan penuh perhatian. Namun, itu hanya berlaku jika menyangkut Khaira saja, selain itu Boy tetap keras seperti biasanya.
***
"Kenapa sampai sekarang dia masih bisa sekolah dengan tenang, Kak? Katanya Kakak ingin membantuku mencelakainya, terus mana buktinya?" Suara seorang gadis terdengar mengamuk di dalam kamarnya.
"Sabar, Dik. Selama ini kakak dan teman-teman kakak sudah berusaha membuat rencana untuk membuatnya celaka, tapi entah kenapa selalu gagal." Anton berusaha menenangkan adiknya. Ia juga bingung sendiri karena selama ini usahanya untuk mencelakai Khaira selalu saja gagal.
"Bilang aja rencana Kakak tidak bagus, makanya selalu gagal."
"Silvi!" Silvi seketika terdiam saat Anton meninggikan suaranya. "Kamu pikir kakak sangat bodoh hingga kamu begitu mudah meremehkan usaha kakak? Setidaknya kakak sudah berusaha membantumu, tolong hargai itu."
"Ma-maaf, Kak, Silvi hanya frustrasi karena sebentar lagi ujian pertengahan semester tapi Khaira masih saja bisa belajar seperti biasa, Silvi bosan dikurung di kamar ini terus, Kak," cicit Silvi.
Anton membuang napas kasar, bukan hanya Silvi, ia pun merasakan demikian. "Apa kamu ingin ikut kakak ke basecamp? Siapa tahu kamu bisa sedikit terhibur jika bertemu dengan teman-teman kakak."
"Tapi, Kak, ini masih sore, kalau sampai ketahuan Ayah gimana?" tanya Silvi sedikit khawatir.
"Tenang saja, hari ini ayah telat pulang karena ada acara yang harus ia hadiri, kakak tadi tidak sengaja melihat undangannya di meja ruang tamu."
"Lalu Mama gimana?"
"Kamu masih khawatir jika dia mengetahuinya? Dia tidak pernah peduli tentang kita, Dik. Jangankan kita, anak kandungnya saja tidak ia pedulikan, jadi biarkan saja, asal dia tidak melihat kita keluar, semuanya aman."
Sebuah senyuman seketika muncul di wajah gadis itu. Dengan penuh semangat, Silvi keluar bersama sang kakak secara diam-diam, dan langsung menuju ke basecamp dengan menaiki motor gede milik sang kakak.
.
.
.
Setibanya di basecamp Brandalz, Anton dan Silvi disambut oleh para anggota geng yang sudah berkumpul di sana. Salah satu orang kepercayaan Anton tiba-tiba menghampiri Anton dan memberikan kabar yang cukup mengejutkan.
"Apa? Jadi maksudmu, selama ini Boy mengikuti Khaira dari jauh?" ulang Anton ingin meyakinkan.
"Benar, Bos. Setelah kegagalan kita beberapa hari yang lalu, aku mencoba menyelidiki penyebab gagalnya rencana kita, dan aku tidak sengaja melihat Boy, kupikir itu hanya kebetulan, tapi setiap hari dia ada disana. Aku curiga, selama ini dia juga yang menggagalkan rencana kita."
"Berarti dugaan kita memang benar jika mereka memiliki hubungan."
Silvi yang mendengar nama Boy di sebut langsung menyela pembicaraan mereka. Ia ingin memastikan Boy siapa yang mereka bicarakan, dan gadis itu cukup shock saat mengetahui jika Boy yang mereka maksud adalah laki-laki yang ia sukai, bahkan sekaligus musuh dari sang kakak.
"Jadi selama ini Boy mengikuti dan menjaga Khaira dari jauh?" tanya Silvi, ia berharap info itu tidak benar, sayangnya ia justru melihat sang kakak dan temannya mengangguk yakin merespon pertanyaannya.
"Jika kita ingin mencelakai gadis itu, kita harus menghabisi Boy," ujar salah satu anggota Brandalz memberikan saran.
"Tidak! Jangan sakiti Boy," cegah Silvi dengan cepat.
"Kenapa? Boy itu musuh kakak, menghabisi dia juga menguntungkan kakak." Anton kini semakin bingung dengan sang adik.
"Karena sebenarnya aku menyukainya, tolong janga sakiti dia," pinta Silvi.
Anton mengusap wajahnya kasar, bagaimana bisa sang adik justru menyukai musuhnya, tentu itu akan menjadi penghalang besar untuk mengalahkan Boy.
"Lalu bagaimana kita bisa mencelakai Khaira jika kita tidak menghabisi Boy?" tanya Anton bingung dan serba salah.
"Kenapa tidak laporkan saja Boy ke polisi?" ujar Silvi.
"Apa?"
"Laporkan dia atas tuduhan menguntit, polisi akan langsung menangkapnya, dan pada saat itu, kalian bisa langsung menjalankan rencana kalian, setidaknya dengan begitu Boy tidak terluka."
Anton seketika tersenyum kepada sang adik dan langsung memeluknya. "Kamu memang pintar, Dik."
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Rahmat10
Lanjut thor, up yang banyak yah
2023-05-06
1
Azla
Nih dua bersaudara sama-sama licik, 😡
2023-05-06
3