Panggil Dia Gara

Suara-suara memekik, menyerukan nama seorang remaja yang tengah bergerak lincah di tengah lapangan basket. Tatapan yang penuh ketertarikan, penuh pujian dengan aksi yang dipertontonkan remaja dengan nomor punggung 09 itu tak ayal menyorotnya dari arah kursi penonton, begitu juga dari pinggir lapangan. Apalagi dengan wajah serta tubuh atletis yang sudah basah dengan keringat sukses membuat aura ketampanan anak itu meningkat berkali-kali lipat. Lalu, siapa yang tidak akan terpesona dengannya? Si kapten basket yang menjadi most wanted di SMA Rajawali. Satu kebanggaan bagi kaum hawa di sekolah itu jika bisa mendekatinya. Apalagi menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Meski itu tak berlangsung lama. Paling lama memakan waktu satu minggu saja.

Dan remaja lelaki yang bergerak dengan membawa bola basket di tengah lapangan itu adalah seorang anak lelaki yang sebentar lagi menginjak usia di angka tujuh belas. Ia adalah Sagara Casildo Xander. Dan panggil ia Gara.

"Gara! Gara! Gara!"

Teriakan itu semakina terdengar jelas dan kencang dengan suara mendominasi adalah suara perempuan. Kendati demikian, tak jarang juga banyak siswa yang mengagumi sosok Gara, berperawakan tinggi dan atletis, memiliki otak cerdas, dan jago bermain basket. Ya, meskipun ada minusnya juga. Adalah Gara yang suka membolos dan bermasalah dengan siswa lainnya. Hal itulah yang membuat kesabaran para guru di SMA Rajawali bingung. Menghadapi seorang Gara tidak mudah, antara kenakalan dan kecerdasannya itu seimbang.

Tak cukup sampai di sana, yang iri pun jauh lebih banyak. Kenapa? Karena Gara selalu digandrungi banyak gadis di sekolah itu. Ya, namanya saja most wanted sekolah. Tak heran, bukan, jika memang demikian? Hampir seluruh gadis yang ada di sekolah yang memuji sosok Gara. Mereka bahkan berlomba-lomba mendekati Gara. Namun, Gata tak menggubris hal itu. Ia menjadikan gadis-gadis itu pacarnya hanya untuk senang-senang saja. Setelah merasa cukup, ia akan memutuskan hubungan begitu saja. Tak peduli jika caranya hanya menyakiti hati orang lain. Memangnya Gara peduli? Tidak!

Teriakan di area lapangan basket semakin terdengar riuh. Itu disebabkan karena bola yang dilempar oleh Gara dengan sempurna masuk di ring lawan. Lalu, Gara menatap sekelilingnya dengan senyum bangga. Tak lupa ia menyugar rambut basahnya ke belakang untuk tebar pesona. Hal itu membuat teriakan gadis-gadis di sana terdengar memekakkan telinga. Lalu, apakah Gara bangga? Tidak juga. Apa yang ia lakukan sekali lagi hanya untuk bersenang-senang.

Bola kembali terlempar ke arah Gara. Dengan gerakan secepat kilat Gara menangkap dan memainkannya. Sebagai seseorang yang sudah terbiasa bermain di lapangan, terlalu gampang bagi seorang Gara untuk mengelabui lawan. Tak heran jika ia dipilih menjadi kapten untuk timnya. Namun, Gara selalu merasa bukanlah siapa-siapa jika tanpa timnya. Ya, Gara terlalu rendah diri meski semua orang mengakui keunggulannya. Kecuali, kedua orang tuanya yang sudah tak peduli lagi bagaimana Gara sekarang.

Lagi, lagi, dan lagi. Gara berhasil memasukkan bola dengan sempurna berulang kali. Hal itu membuat tim lawan berada di posisi tak aman. Hingga ketika Gara ingin melakukan tembakan ke ring, salah satu pemain dari tim lawannya menabrak tubuh Gara dengan kuat hingga terjatuh dan bola yang sudah berada di tangannya terlepas begitu saja. Ia murka dan menatap seseorang dengan senyum miring itu.

"Lo nggak apa-apa?" Hansiel langsung memposisikan diri dengan sahabatnya itu. Ia menepuk pundak Gara dengan lembut.

Gara tak menjawab pertanyaan Hansiel. Namun, ia langsung bangkit dan berjalan mendekati Raymond yang sudah menabraknya. Gara yang sudah terlanjur rusak suasana hatinya dibuat semakin bertambah emosi. Tanpa kata ia langsung mendorong tubuh Raymond dengan kuat. "Maksud lo apa nabrak gue? Kalau iri, tunjukin dong kemampuan lo. Bukan malah main kasar kayak tadi," ujat Gara dengan rahang yang sudah mengeras.

"Cih! Kenapa gue harus iri sama lo?"

"Terus maksud lo apa coba nabrak gue? Mau bikin gue cedera terus lo bisa memenangkan permainan?" Gara menunjukkan evil smirk-nya. "Belum berubah juga ternyata. Masih saja main licik." Gara tertawa mengejek setelah itu dan sukses membuat Raymond emosinya semakin terpancing.

Raymond mendorong tubuh Gara dengan keras. Ia hendak melayangkan tinjuan di wajah tampan Gara. Namun, Gara dengan cepat mencekal tangan Raymond.

"Jangan cari masalah sama gue kalau lo nggak mau hidup lo menderita," tegas Gara dengan penuh penekanan di setiap kata yang menguar dari bibirnya. Ia juga menatap Raymond dengan tatajam tajam. Bukan hanya ancaman, tetapi ultimatum yang harus diingat oleh Raymond.

Lapangan basket menjadi ricuh melihat Gara yang sudah mulai emosi. Hansiel dengan cepat mendekati sahabatnya sebelum keributan yang lebih besar terjadi. Ia meraih tubuh Gara yang sudah bersiap maju dan memukul Raymond. "Gar, jangan. Lo nggak mau 'kan kalau sampai harus dikeluarkan dari permainan hanya karena ngeladenin orang kayak gitu," ujar Hansiel seraya menatap tidak suka pada Raymond yang juga sedang berusaha ditenangkan oleh teman-temannya. Memang Hansiel sudah membaca gerakan Raymond sejak tadi yang tampak mengicar Gara. Sebab itulah, ia juga sejak tadi sangat berhati-hati dan menjaga posisi sahabatnya. Sayangnya, ia sempat lengah hingga Raymond berhasil melancarkan aksinya mendorong tubuh Gara sampai terjatuh.

Peluit berbunyi nyaring sebagai pemberitahuan bahwa permainan sudah berakhir dengan pemenang adalah tim dari SMA Rajawali. Masing-masing tim bubar dan bergerak menuju pinggir lapangan. Begitu juga dengan Gara. Ia duduk dengan kaki berselonjor. Meraih botol minuman yang sudah disediakan untuknya dan meminumnya hingga tersisa setengah.

"Lo kenapa sih bisa terpancing begitu, Gar? Sudah tahu Raymond orang kayak gimana," tukas Hansiel yang kini sudah memposisikan diri di samping Gara. Ia menatap Gara dengan serius. Pipi anak itu tampak memar. Ia tahu apa yang terjadi. Namun, Hansiel tidak tahu siapa yang melakukannya kali ini. "Lo ada masalah apa di rumah sampai-sampai emosi kebawa sampai di tengah lapangan?" tanya Hansiel dengan sangat hati-hati. Ia adalah teman yang paling tahu tentang kehidupan Gara. Namun, perihal kepedulian, Gara mendapatkan dari ketiga temannya—Hansiel, Evano, dan Mazeen.

"Nggak ada masalah. Gue cuma emosi saja didorong dengan sengaja kayak gitu," balas Gara tak sepenuhnya berbohong. Ya, bukankah emosinya memuncak karena tidakan Raymond padanya? Meskipun sebelumnya juga emosinya sudah tidak stabil. Dan sebenarnya, masalah tadi bisa ia jadikan pelampiasan emosinya. Namun, Hansiel dengan cepat datang melerai.

"Lah, si goblok. Masih coba-coba mau bohongin gue lo?" Hansiel tertawa mengejek. "Itu muka tampan lecet kenapa?" tanya Hansiel seraya menunjuk pipi Gara.

"Kebentur tembok tadi pagi. Ngantuk banget."

Alih-alih percaya. Hansiel justru tertawa keras mendengar jawaban Gara. "Lo ganteng-ganteng nyeruduk tembok juga. Kasian banget sih lo. Padahal, noh si Angel sudah pepetin lo tiap hari, masih saja lo cuekin. Mending seruduk dia saja," ujar Hansiel dengan tawa kerasnya. Ia tahu Gara masih belum ingin bicara tentang masalahnya. Maka, sementara itu ia mencoba untuk membuat suasana hati Gara menjadi lebih baik dulu. Meskipun Hansiel sendiri tidak yakin akan berhasil.

Baru juga Hansiel selesai berucap. Gadis yang namanya disebut tadi sudah berdiri di dekat mereka seraya menyodorkan botol minuman dingin.

"Ini buat lo," ujar Angel pada Gara.

Gara menoleh pada Hansiel yang sedang berusaha menahan tawa. Lalu, kembali menatap botol dari tangan Angel. Tak lama ia kemudian meraih benda tersebut. "Thank you," ucap Gara.

Ketika Angel hendak berlalu. Gara menyerukan nama Angel. "Angel!"

Sang pemilik nama menoleh.

"Lo mau jadi pacar gue, nggak?" ucap Gara dengan sangat santai.

Angel tertegun.

"Kalau lo nggak mau juga nggak apa-apa. Gue bisa cari cewek lain," lanjut Gara karena tak mendapatkan respons dari gadis itu.

Hansiel hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Gara. Entah Angel adalah gadis ke berapa yang dijadikan mainan anak itu.

"Iya gue mau," jawab Angel dengan girang.

"Ya sudah lo boleh pergi," ucap Gara dan membiarkan Angel pergi. Setelah itu, ia tersenyum miring seraya menatap Hansiel. "Biar nggak seruduk tembok lagi pagi-pagi."

Hansiel tidak bisa menahan tawanya mendengar ucapan Gara. Ia bahkan sampai memegang perutnya yang terasa kram karena tertawa keras. "Lo suka ngadi-ngadi jadi orang." Hansiel menepuk lengan Gara.

"Kalau gue nggak ngadi-ngadi, gue nggak bakal tahu apa arti bahagia," jawab Gara dan membuang pandangan lurus ke depan. Menembus apa saja yang bisa tertangkap sepasang almond eyes-nya. Gara tidak berdusta. Ia tidak tahu apa arti bahagia jika ia tak melakukan hal-hal konyol seperti ini. Perlakuan yang sebenarnya jelas mengorbankan orang lain. Namun, Gara tidak memiliki cara lain.

Hansiel merangkul pundak Gara. Ia kemudian menatap lurus ke depan seperti yang dilakukan sahabatnya itu. "Gue nggak tahu bagaimana perasaan lo yang sebenarnya. Tapi, sebagai seorang teman, gue nggak akan bosan untuk mencoba paham perasaan lo. Jadi, kalau lo butuh tempat untuk mencari kebahagiaan, jangan lupa hubungin gue. Kita cari kebahagiaan bersama-sama," ucap Hansiel dengan tulus. Sejauh ini, ia selalu berusaha untuk membuat Gara senyaman mungkin. Sebab, hal itulah yang dibutuhkan Gara. Sedangkan Hansiel, ia sudah mendapatkan itu di tempat yang sebenarnya. Rumah dan keluarganya. Ia hidup tanpa kekurangan apa pun. Harta dan kasih sayang yang utuh. Kehidupan yang begitu kontras dengan kehidupan Gara.

Gara tersenyum tipis. "Thank you, ya, Hans, lo selalu berusaha ada buat gue."

Hansiel mengangguk. "Ganti baju, yuk!" ajak Hansiel mengingat setelah ini mereka harus memasuki kelas.

Gara dan Hansiel bangkit. Keduanya beranjak meninggalkan lapangan dan bertemu dengan kedua sahabat mereka yang lain—Evano dan Mazeen. Ya, memang hanya Gara dan Hansiel yang bergelut di olahraga basket. Sedangkan, Evano dan Mazeen lebih memilih olahraga voli. Namun, meski bergelut di bidang yang berbeda, ke empat remaja itu tetap saling mendukung satu sama lain.

"Lo keren banget tadi, Gar. Sumpah! Gue sampai terpesona lihat lo," puji Evano.

"Alay banget sih kayak cabe-cabean," cibir Mazeen.

"Ngiri saja terus, Zeen. Ngiri," balas Evano.

Gara dan Hansiel hanya bisa menggelengkan kepala melihat perdebatan dua manusia itu. Ya, memang begitulah Evano dan Mazeen. Mereka seperti Tom & Jerry jika sudah bertemu. Ada saja perdebatan yang mereka tercipta. Namun, kelakuan mereka itulah yang membuat hubungan pertemanan mereka terasa berwarna. Sebab, Gara dan Hansiel lebih terkesan serius. Maka, Evano dan Mazeen-lah yang kemudian berperan sebagai pencair suasana. Hingga hubungan pertemanan mereka tidak terasa hambar dan flat.

Perjalanan Gara dan ketiga sahabatnya masih menjadi pusat perhatian ketika melewati koridor. Bisik-bisik tentang pujian ketampanan Gara pun tak ayal terdengar. Bahkan, ada yang sampai terang-terangan memuji Gara. Namun, hal itu sudah terlanjur biasa bagi Gara. Begitu juga dengan ketiga temannya.

Begitu Gara hampir sampai di ruang ganti. Seseorang menabrak tubuh Gara. Tubuhnya yang masih basah dengan keringat semakin kuyup sebab tersiram oleh minuman yang sangat dingin. Gara menatap kaosnya yang sudah berganti warna. Hal itu membuat Gara semakin murka.

Gara menatap orang yang menabraknya tadi dengan tatapan nyalang. "Lo ..."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!