Gara-gara Gara
Anak lelaki dalam balutan kaos berwarna hitam pekat yang dipadukan dengan celana pendek warna senada itu masih asyik memainkan bola basket di tangannya. Sesekali ia melempar benda bundar tersebut ke dalam ring dan tertawa lebar ketika bolanya tepat sasaran. Ia kemudian tersenyum bangga pada seorang anak lelaki yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Ia membusungkan dada seolah ia adalah orang yang hebat dalam permainan bola basket. Hal itu lalu membuat iri anak lelaki yang duduk di pinggir lapangan dan hanya bisa menjadi penonton permainannya. Kentara sekali jika anak itu ingin bergerak bebas di tengah lapangan. Men-drible bola dan memasukkan ke dalam ring.
Gara orang-orang memanggilnya. Anak yang kini memainkan bola basket pemberian sang ayah di usianya yang menginjak angka lima belas tahun tepat tiga minggu lalu. Memang cita-citanya ingin menjadi seorang atlet basket yang handal dan terkenal. Bahkan, di dalam kamar Gara, dindingnya dipenuhi poster-poster tentang bola basket. Dan hampir segala hal yang berhubungan dengan Gara tidak lepas dari salah satu olahraga favoritnya itu. Ia juga mendapatkan dukungan penuh dari Edward dan Olivia—kedua orang tuanya—untuk mengasah bakatnya. Tak hanya kedua orang tua, Gara juga selalu memiliki support system pada setiap langkah yang ingin ia ambil. Adalah anak laki-laki yang duduk di pinggir lapangan sana. Chandra Callisto Xander—sang kakak.
Suara tepuk tangan itu terdengar ketika Gara lagi-lagi berhasil memasukkan bolanya ke dalam ring. Suara itu sukses mengalihkan pandangan Gara dan menghipnotis sudut bibirnya terangkat dengan sempurna membentuk lengkungan yang indah. Lengkungan yang kemudian berpengaruh dan memunculkan sepasang lesung pipi tipis di wajahnya. Selalu saja begitu. Chan selalu mengapresiasi apa yang Gara lakukan meski hanya dengan hal-hal sederhana. Seperti hanya dengan sebuah tepuk tangan sekalipun. Namun, itu sudah cukup bagi Gara untuk merasakan dukungan dari kakak semata wayangnya yang istimewa itu.
Gara mengambil bola basket yang menggelinding di pinggir lapangan yang tentu saja luasnya tidak seluas lapangan basket pada umumnya. Lapangan yang ia tempati kini hanya lapangan kecil yang sengaja Edward buat untuk Gara di halaman depan rumah megah itu, untuk bermain dan mengasah terus bakatnya dalam permainan bola basket. Ya, sebut saja sebagai dukungan sarana untuk Gara.
Gara mendaratkan bokongnya di samping Chan. Ia kemudian memukul-mukul bola basketnya sembarangan dengan sebelah tangan. Sedang tangan lainnya ia gunakan untuk memegang botol minum dan meneguk isinya untuk membasahi tenggorokan yang kering. Setelah itu, ia menatap Chan yang hanya diam dengan tatapan menerawang lurus ke depan. Entah apa yang tengah ditatap oleh kakaknya itu.
"Kapan, ya, Dek, Abang bisa main bebas kayak Adek."
Gara tertegun mendengar suara lirih kakaknya. Terlahir menjadi anak istimewa membuat Chan harus menghabiskan waktunya hanya dengan mimpi-mimpi belaka. Takkan ada satupun mimpi Chan yang bisa terlahir menjadi nyata seperti mimpi dan cita-cita Gara. Jelas sebagai seorang adik, Gara pun merasakan kesedihan sang kakak. Namun, ia sendiri tidak punya kuasa untuk membuat Chan menjadi seperti yang kakaknya itu inginkan. Tubuh Chan tak sekuat Gara. Ruang gerak Chan tak seluas ruang gerak Gara. Semua hal menjadi terbatas dalam hidup Chan. Bahkan, lingkungan Chan pun memiliki batasan. Itu disebabkan oleh salah satu penyakit yang diderita Chan sejak lahir.
Gara merangkul pundak kakaknya. "Ini memangnya lagi ngapain? Lagi main, 'kan?" Gara tertawa garing. Ia tidak pandai membuat suasana hati Chan menjadi lebih baik. Di hadapan Chan, ia lebih sering tampak cengeng karena menangisi kondisi sang kakak. Namun, Gara selalu berusaha menjadi orang yang kuat seperti Edward. Ia selalu ingat kata Edward dan Olivia padanya. "Untuk menguatkan Abang, Adek haruslah berkali-kali lipat lebih kuat. Adek nggak boleh cengeng." Itulah kalimat yang selalu Gara pegang saat berhadapan dengan Chan. Kalimat yang menampar telak Gara ketika air matanya lolos saat melihat Chan dalam kondisi terburuk.
"Kan yang main cuma Adek. Abang cuma nonton doang," balas Chan seraya tersenyum miris.
Hening. Hanya deru angin sore yang menjadi instrumen yang menemani pasangan adik kakak itu.
Chan menoleh. "Boleh Abang main basket. Sekali saja."
Belum sempat Gara menjawab. Bola yang dipegang Gara secepat kilat berpindah tangan. Chan dengan segera bangkit sebelum Gara melarang dan mengambil alih bola tersebut dari tangannya. Lalu, Chan memainkan bola tersebut dengan sangat lincah. Seakan ia bukanlah manusia istimewa dengan segala kelemahannya. Chan tampak bugar dan sehat. Persis seperti manusia normal dan pada umumnya. Tidak terlihat seperti manusia yang ... ya penyakitan.
Gara sendiri tercengang melihat permainan Chan. Ia tahu Chan baru kali ini bergerak di lapangan. Namun, ia tidak tahu kalau kakaknya itu jago bermain bola basket. Bahkan, permainan Chan jauh lebih baik dari dirinya yang notabene bermain hampir setiap hari. Apa yang Gara saksikan saat ini membuat Gara lupa siapa kakaknya. Ia justru bertepuk tangan ketika melihat Chan berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Gara semakin bersemangat melihat permainan Chan. Bahkan, tanpa sadar ia ikut melompat kegirangan.
Namun, gerakan Gara terhenti ketiak Chan melepaskan bolanya begitu saja. Lalu, tubuhnya membungkuk dan tak lama ambruk di tengah lapangan. Tanpa ba-bi-bu Gara langsung berlari mendekati sang kakak. Ia meraih tubuh Chan yang terkulai lemas dengan keringat membasahi dengan sempurna. "Abang," panggil Gara dengan suara bergetar. Ia sedang berusaha untuk tidak menangis. Ia sedang berusaha menjadi kuat seperti yang sering dilakukan Edward.
Kelopak mata Chan terbuka perlahan. Ia kemudian tertawa kecil seraya berusaha bangkit dan duduk meski masih dibantu oleh adiknya. "Jadi, begini rasanya main basket," ujar Chan dengan nada suara lemah dan terbata diiringi deru napas yang terdengar berat. Bahkan, di setiap tarikan napas Chan terdengar bunyi "ngik" yang membuat Gara takut. "Abang suka. Abang mau main lagi nanti."
Gara menggelengkan kepala. "Nggak. Abang nggak boleh main lagi. Nanti Abang sakit."
Baru juga Gara selesai bicara. Tubuh Chan kembali ambruk ke samping dan kepalanya terbentur di dada Gara. Namun, bukan itu yang membuat Gara terlonjak dan nyaris melepaskan topangannya di tubuh Chan. Adalah suara berat yang menyerukan namanya.
"Gara!"
Gara menoleh dan mendapati tatapan nyalang itu. Tatapan mematikan dari Edward. "Papa," bisik Gara dengan nada takut. Apalagi melihat langkah lebar Edward yang mendekat ke tengah lapangan.
"Apa yang terjadi sama Abang? Kamu ngajak Abang main, hah?!" teriak Edward seraya meraih tubuh Chan yang sudah kehilangan tenaga. Ia melihat wajah pucat dan napas pendek Chan. Hal itu membuatnya murka pada Gara.
"Nggak, Pa. Tapi, Abang yang ngambil sendiri bola basket Adek," jawab Gara dengan nada takut. Ia menunduk dalam. Tak berani menatap wajah merah padam dengan tatapan nyalang milik Edward.
"Bodoh! Kalau kamu nggak ngasih, nggak mungkin abangmu akan mengambilnya." Edward menolak percaya. Karena, ia yakin Chan tidak mungkin melakukan hal itu. Chan pasti sadar dengan kondisinya.
"Adek nggak bohong, Pa."
Edward mendorong tubuh kecil Gara dengan keras hingga terjatuh. Siku anak itu lebih dulu mendarat di lapangan dan sangat menyakitkan. Gara bisa memastikan sikunya pasti akan memar atau terluka, karena benturan yang cukup keras.
"Ini semua gara-gara kamu. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan abangmu. Kamu adalah orang pertama yang akan bertanggung jawab, Gara!"
Gara bingung. Ia tidak salah apa-apa. Namun, kenapa Edward justru menyalahkannya?
Gara mengangkat pandangan menatap tubuh Edward yang perlahan menjauh dari pelupuk mata. Edward meninggalkannya bahkan di saat Gara juga butuh dibantu. Tangannya kini sakit sekali.
Pandangan Gara saling bertubrukan dengan sepasang bola mata milik seseorang yang berada di dalam gendongan Edward. Tatapan yang sangat sendu dan tak berbinar. Tatapan penuh rasa bersalah milik Chan. Namun, apa yang terjadi pada Chan memang salah Gara. Kenapa ia tidak melarang Chan? Kenapa ia justru senang dan bangga melihat permainan kakaknya? Dan hal itu kini melahirkan benci di hati Edward padanya.
Dan dari sini. Cerita tentang seorang Gara dimulai. Tentang keadilan yang sirna. Kasih sayang yang punah. Perlakuan yang berbeda. Serta sakit demi sakit yang merubah jalan hidup seorang Sagara Casildo Xander.
Dan semuanya ... Gara-gara Gara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Two Side
Aduh tuh hati pasti kayak kena sayatan, gak salah tapi disalahin
2023-04-30
1
Nonny
jangan galak-galak papah Edward, kasihan Gara
2023-04-20
1