Setelah kepergian Jaysen, Emily menangis. Tadi dia memang sudah tidur tapi tubuhnya yang sensitif jika sudah ada lelaki buta yang kejam itu sehingga dia terbangun dan mendengar semua ucapannya.
Dia sangat ketakutan tadi dengan kehadiran lelaki buta itu dikamarnya. Membuatnya tak sadar untuk semakin waspada terhadapnya. Bahkan sekedar kedatangan dan suara orang itu saja sudah membuat Emily gemetar ketakutan.
Dia tak habis pikir mengapa adik kembarnya bisa berhubungan dengan lelaki itu. “Mama!” isaknya mengusap dahinya yang tadi dicium oleh Jaysen seakan-akan dia merasa jijik.
Dia tidak menyukai semua sentuhan yang dilakukan lelaki itu padanya. Sekedar mengingatnya saja sudah membuatnya jijik dan bergidik ngeri. “Mama….Emily mau pulang.”
“John….” airmatanya semakin mengucur deras saat teringat kekasihnya itu. Dia merasa sangat kotor karen disentuh lelaki lain. Meskipun dia sudah menggosok dahinya brulang kali tapi sentuhan dan ciuman lelaki itu masih juga terasa sehingga membuatnya meremang. Sambil menghapus airmatanya Emily terdiam kaku, saat ini dia merasa seperti jatuh ke neraka sejak datang kesini.
“Tenang Emi….tenanglah. Cobalah berpikir bagaimana caranya bisa keluar dari tempat ini?”
Pertama-tama dia harus tahu dimana posisinya sekarang. Dia juga tidak tahu sama sekali mengenai tempat itu karena dia pingsan saat dibawa kesana jadi dia tak tahu pasti dimana dia berada saat ini. Dia bahkan tidak pernah keluar dari kamar, kondisi rumah itu pun dia tidak tahu.
Andai saja dia memiliki ponsel, Emily pasti sudah menghubungi Maya. Bibi sekaligus ibu angkatnya itu pasti sudah sangat mengkhawatirkannya setengah mati karena sudah dua hari berlalu tanpa ada kabar darinya. “Ibu? Apa ibu juga mengkhawatirkan aku juga?” gumamnya teringat pada ibu kandungnya. Wajah gadis itu menjadi muram, dia tersadar jika masih ada Eleanor.
Ayah dan ibunya tidak akan pernah mempedulikannya selama masih ada Eleanor. “Eleanor…..” sepasanga alisnya bertaut saat teringat adik kembarnya itu.
Semua penderitaan yang dialaminya dimulai dari penculikan sesaat setelah dia berada di bandara sampai rentetan peristiwa menakutkan yang membuatnya ketakutan setengah mati dan trauma. Semua orang-orang itu telah salah paham mengira kalau dia adalah Eleanor.
Tak eduli berapa kali dia berusaha menyakinkan orang-orang kalau mereka salah dan dia bukanlah Eleanor tapi dia adalah Emily. Tapi usahanya selalu sia-sia tak ada seorangpun yang mempercayainya malah mereka menganggapnya menipu agar bisa terbebas.
Emily benar-benar merasa menyesal, penyesalan yang tiada akhir. Andai ibunya tidak meneleponnya dan memintanya pulang, semua ini tidak akan pernah menimpanya.
Entah perbuatan apa yang sudah dilakukan oleh adik kembarnya Eleanor sehingga membuat semua ornag marah. Dia hanya pernah mendengar kalau Eleanor berselingkuh dari Jayse, tapi kalau hanya karena berselingkuh kenapa bisa sampai seperti ini?
Emily tidak bisa membayangkan bagaimana bisa adiknya berhubungan dengan pria kejam itu. Atau, jangan-jangan karena pria itu kejam makanya Eleanor selingkuh? Tak peduli apapun itu, tidak seharusnya Emily yang menanggung semuanya.
Emily kembali meneteskan airmata, dia teringat pada kehidupannya yang tenang dan damai di Amerika. Dia teringat pada kekasihnya John dan juga sahabatnya Amber.
Dia merindukan mereka semua dan satu hal yang dia tidak tahu adalah kedua orang itu telah mengkhianatinya. Ya, John dan Amber berkhianat dibelakang Emily. Tanpa sepengetahuan Emily selama ini John dan Amber saling berhubungan dan bercinta kapan saja mereka mau dan punya waktu.
Seandainya dia benar-benar bisa menyakinkan kalau dia adalah Emily bukan Eleanor pasti urusannya akan jauh lebih mudah dan dia tak perlu melalui semua penderitaan ini.
“Masalahnya tidak ada yang percaya padaku. Apalagi lelaki iblis itu! Dia keras kepala sekali dan terus saja ngotot kalau aku ini pura-pura? Pura-pura darimana? Apa mereka itu semua kumpulan orang bodoh?” geramnya.
“Kenapa tidak ada seorangpun yang mencoba mencari tahu kebenarannya dan menghubungi orang tuaku. Atau mereka bisa pergi kerumah sakit untuk mengecek Eleanor!” dia memukul-mukul selimutnya karena kesal.
Dia teringat sudah beberapa kali mengatakan siapa dia sebenarnya tapi lelaki itu tetap saja tak mau tahu dan menertawakannya.
“Dasar laki-laki brengsek arogan! Berhati dingin, nggak punya hati nurani! Suka semaunya sendiri, dasar bajingan tengil! Aku ini Emily Vionetta! Eleanor sedang berada dirumah sakit!” teriaknya menumpahkan semua unek-unek dan kemarahannya sambil *******-***** selimut dengan geram. “Dasar laki-laki iblis!”
“Apa kamu memakiku? Kamu menyebutku laki-laki iblis hem?”
DEG!
Emily langsung terdiam dan membeku ditempat. Mungkin karena terlalu sibuk dengan pemikirannya, dia sampai tidak menyadari kedatangan peia itu. ‘Mati aku.’ keluhnya.
Dia tak dapat berkata-kata dan kembali ketakutan melihat pria buta itu sudah berada ditepi tempat tidurnya. Tapi ada yang berbeda dari biasa, kali ini pria buta itu tidak marah-marah atau membentaknya.
Sikapnya juga tidak garang seperti biasanya. Dia duduk di tepi ranjang dan bicara dengan suara lembut pada Emily.
...*********...
Emily mengerjapkan matanya dan tanpa sadar dia mencubit tangannya sendiri hingga ia meringis kesakitan. Tidak! Rupanya dia tidak jadi mati dan ini nyata bukan mimpi. Belum, lebih tepatnya belum mati atau memang belum waktunya dia mati ditangan pria itu. Tapi bukan berarti egalanya berubah menjadi masuk akal bagi gadis itu.
Tadi, nyaris bersamaan dengan kedatangan jaysen, seorang lelaki paruh baya dengan setelan jas hitam datang dan berdiri diambang pintu kamarnya. Sesaat setelah kedatangan pria yang tak dikenal oleh Emily itu, Jaysen segera menghampiri pria itu dan entah apa yang mereka bicarakan.
Hanya saja saat lelaki paruh baya itu berpamitan, Emily tanpa sengaja bertatapan dengannya. Gadis itu segera sadar dan menyadari bahwa itu adalah lelaki yang sama dengan yang dulu menghampirinya dibandara.
Gadis itu mengeryitkan dahinya dan sudah sangat jelas kalau dalang penculikannya memang benar adalah lelaki buta bernama Jaysen itu. Lalu saat ini, Emily pun berdiri diam seperti orang kebingungan.
“Ele, Apa yang kamu lakukan disitu? Kemarilah.” panggil Jaysen.
Gadis itu masih ketakutan dan menatap seorang pelayan perempuan yang juga sedang menatapnya.
Tatapan keduanya bertautan dan sama-sama bingung, lalu Emily perlahan berjalan mendekati Jaysen.
“Tanganmu, Ele.” ujar Jaysen dengan suara lembut.
“Ap---apa?”
“Berikan tanganmu. Aku ingin bergandengan tangan denganmu.” jawab Jaysen.
Emily semakin kebingungan dengan tingkah Jaysen yang berubah menjadi lembut dan nada bicaranya juga berubah tanpa intonasi tinggi.
Jaysen tidak marah setelah mendengar makian Emily tadi, tetapi dia malah memanggil beberapa pelayan wanita untuk membantunya bersiap-siap dan mereka berjalan-jalan di taman rumahnya.
Lalu sekarang, dia meminta mereka berjalan sambil bergandengan tangan? Apa dia sudah gila? Pikir Emily didalam hatinya yang tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi pada pria buta itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments