“Apa?” Jaysen mengeryitkan dahinya. Dia bisa merasakan kalau suhu tubuh Emily yang panas saat dia memeluknya. “Yang mana yang sakit?” tanyanya dengan khawatir dan bergegas duduk. “Ele?”
“Sakit!” Emily kembali terisak. “Badanku sakit semua Sen.”
Jaysen terpaku sebelah tangannya menempel didahi Emily untuk memeriksa suhu tubuh gadis itu.
Tapi hal yang barusan didengarnya membuat lelaki buta itu mematung. “Ele? Kamu barusan memanggilku apa?”
Emily menatap tak mengerti. Seluruh tubuhnya sakit dan pergelangan tangannya seolah mau patah tapi lelaki ini malah mempertanyakan soal nama panggilan yang barusan dia sebutkan?”
“Sen?” isaknya lagi. Dia merintih karena pergelangan tangannya semakin berdenyut nyeri. “Sakit! Aku sakit Sen!”
“Lagi!”
“A—apa?”
“Panggil aku lagi. Panggil aku seperti kamu memanggilku tadi.”
Emily ingin sekali berteriak memarahi pria iblis itu. Apa pria ini masih tidak mengerti juga? Kalau sekujur tubuhnya itu sangat sakit! “Gila! Kamu sudah tidak waras Sen!”
“Lagi!”
Emily semakin marah karena Jaysen terus-terusan menyuruhnya memanggil namanya. Dia sama sekali tidak bisa mengerti bagaimana jalan pikiran lelaki itu.
“Sen!” teriaknya kesal, dia mendorong pria didepannya itu. “Kalau kamu tidak peduli padaku paling tidak biarkan aku sendiri atau pulangkan aku!” Emily histeris karena saat dia berusaha beranjak turun dari tempat tidur, Jaysen menariknya kembali dan langsung mengungkung gadis itu diatas tempat tidur.
“Memangnya siapa yang memperbolehkanmu pergi, hem?” Jaysen mendekatkan wajahnya lalu memasang senyuman sinis.
“Tunggu disini!” ujarnya lalu mengecup sekilas bibir Emily. “Akan kupanggilkan dokter untuk memeriksamu.”
Emily jadi terpelongo saat lelaki buta itu akhirnya keluar dari kamar dan meninggalkannya sendiri. Dia tidak habis pikir jika pria itu bisa sesenang itu dipanggil namanya?
...*****...
Gian baru saja menyelesaikan sarapannya saat telepon dirumahnya berdering. “Dari siapa?” tanyanya sambil mengelap mulutnya.
“Ini, ada telepon dari kediaman Wisesa. Pak dokter diminta untuk segera datang.” jawab pelayan.
“Siapa yang sakit? Jaysen?” Gian mengerutkan alisnya. Belum sempat pelayan itu menjawab, ponsel Gian sudah berdering. Kerutan didahinya terlihat semakin dalam saat dia melihat nama si penelepon.
Orang yang baru saja dia bicarakan sudah menelepon. “Hal---”
“Apa telepon rumahmu rusak? Atau pelayanmu tidak memberitahumu pesanku?”
“Selamat pagi Tuan Jay. Bagaimana kabarmu?” sapa Gian sambil menarik napas.
“Jangan terlalu banyak basa basi Gian! Cepat datang kesini sekarang juga!”
“Apakah ada situasi darurat dirumahmu? Memangnya siapa yang sakit?”
“Tiga pulh menit Gian! Kuberi kamu waktu tiga puluh menit harus sudah sampai disini!”
“Apa?
“Kamu dengar kan apa yang barusan kukatakan padamu? Ku beri waktu tiga puluh menit untuk sampai disini! Jika sampai telat, kamu bersiap-siap saja!”
Gian menatap layar ponselnya dengan bergidik ngeri. Jarak rumahnya kerumah Jaysen paling cepat bisa ditempuh sekitar empat puluh lima menit. Tapi pria itu malah memintanya harus sampai disana dalam waktu tiga puluh menit?
“Jay! Aku baru selesai sarapan pagi. Aku bahkan belum minum saat kamu meneleponku. Lagipula mana bisa aku sampai disana dalam waktu seteng---”
“Dua puluh lima menit!”
“A—apa?”
“Dua puluh menit!”
“Oke! Fine! Dua puluh menit! Tunggu aku. Aku akan bersiap siap dulu dan segera ke san--”
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, telepon sudah dimatikan. Sambil mengomel, Gian memaki karena dia harus buru-buru bersiap dan berangkat. Dia hanya berharap jalanan tidak macet, atau dia akan mendapatkan amukan dari Jaysen.
“Dasar orang gila!” omelnya menekan pedal gas mobilnya dalam-dalam dengan harapan semoga perjalanannya lancar dan jalanan tidak macet. “Kamu memang benar-benar gila Jaysen!” omelnya.
Sesuai harapannya, jalanan tidak macet dan dia bisa menaikkan laju mobilnya menembus jalan yang agak senggang pagi ini. Tak butuh waktu lama, bahkan dia sampai dirumah Jaysen tepat waktu.
“Apa kamu sudah gila ya?” ucapan pertama Gian saat dia melihat Jaysen. Kekesalannya semakin memuncak karena lelaki muda itu hanya bersandar dengan santainya didepan pintu kamar dan tersenyum tanpa mengatakan sepatah katapun pada Gian.
“Aku memang dokter Keluarga Wisesa tapi aku bukan jin botol yang bisa langsung datang begitu mendapat panggilan!” omelnya lagi.
Jaysen hanya mendengus sebagai jawaban atas omelan Dokter Gian. Tanpa perlu melihat pun dia sudah bisa menebak seperti apa penampilan Gian saat ini. Pasti wajah dokter itu tampak kacau sekarang.
Dokter berusia tiga puluh tiga tahun itu biasanya terlihat rapi dan tampan. Tapi sekarang rambutnya acak-acakan dan bajunya ala kadarnya. Dia bahkan terlihat sangat berantakan. Jika orang yang tak mengenalnya pasti tidak akan percaya kalau dia mengatakan bahwa dia adalah seorang dokter.
“Cepat masuk dan periksa dia!” perintah Jaysen dengan nada bosan.
Gian diam seketika itu juga sambil mengamati Jaysen dengan cermat. “Bukan kamu yang sakit ya? Lalu siapa yang sakit dirumah ini?” tanyanya dengan cemas.
“Bukan aku tapi Eleanor.” jawab Jaysen pelan.
“Oh ternyata….apa? Apa kamu bilang? APA?” tanya Gian terkejut.
“Sudahlah, sana periksa saja jangan terlalu banyak pertanyaan.”
“Ta—tapi bukankah Eleanor itu sudah kabur bersama pacar gelapnya? Oh, oke….aku masuk dulu”
Gian segera menutup mulutnya, ada aura dingin dan mengerikan yang bisa dirasakannya. Kalau saja kedua mata Jaysen tidak mengalami kebutaan dan diperban, sudah pasti sepasang mata hitam itu tengah menatapnya dengan tajam.
Sangat bahaya kalau Gian sudah marah, maka itu berarti bahaya dan Gian cukup sadar diri.
“Jadi, ehem….A—apa aku sudah bisa masuk sekarang?” tanya dokter tampan itu dengan terbata-bata.
“Tunggu!”
Tangan Gian baru saja hendak meraih pegangan pintu untuk membuka pintu kamar tidur itu. Namun Jaysen malah memegang sebelah bahunya, menahan dokter muda itu.
“EH? Ada apa? Katamu tadi aku harus memeriksanya?”
Gian bertanya sambil menelan salivanya merasa tercabik antara bingung dan takut.
“Iya, tapi apa syaratnya.”
“Apa? Syarat?” Gian memasang senyuman berlagak bersikap tenang menunggu jawaban Jaysen.
“Kamu tidak boleh memandangnya lebih dari lima detik! Jangan menyentuhnya sedikitpun dan jangan terlalu dekat dengannya. Jaga jarakmu sekitar dua meter.”
Gian melongo, senyuman dan semua sikap tenang yang coba dipasangnya sejak tadi seketika hilang entah kemana. Tubuhnya geemtar dan dia berusaha dengan susah payah untuk menahan keinginan agar tidak menggetok kepala lelaki muda didepannya itu.
“Jay! Aku ini harus memeriksanya. Bagaimana ceritanya aku melakukannya kalau aku nggak boleh lihat, nggak boleh menyentuh dan bahkan harus menjaga jarak sejauh itu dari Eleanor?”
“Iya memang harus begitu! Pakai saja masker, sarung tangan dan sekalian pakai APD biar lebih aman!”
“Heh? Apa kamu pikir aku ini membawa virus covid? Ada-ada saja.” keluh Gian.
“Aku tidak mau ada pria lain yang menyentuh Eleanor! Aku juga tidak mau dia menatap wajahmu terlalu lama. Dan satu lagi ya, aku juga tidak mau bau badanmu melekat padanya! Carany….kau pikirkan sendiri!”
Gian kehilangan kata-kata dan tidak sanggup untuk menanggapi. Dengan agak linglung, dokter muda itu akhirnya membuka pintu kamar dan masuk meninggalkan Jaysen yang berjaga menunggunya.
Saat Gian memasuki kamar, dia melongo sambil mengeryitkan dahinya. Bukan apa-apa, tidak ada serangpun yang dilihatnya disana. Lalu dimana Eleanor?
Visual EVAN.....sepupu Jaysen
Visual Dokter Gian Elkana
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Meiya Lee
visual. a orang turkey semua
2023-11-26
1