Gian mengedarkan pandangan ke seluruh kamar dengan dahi yang berkerut. Saat dia melihat kearah sudut kamar, tersembunyi diantara lemari dan dinding. “Ele?” sapa Gian keheranan melihat gadis yang dikenalnya sekarang meringkuk dibalik selimut dengan tubuh gemetaran. “Eleanor?” panggilnya lalu berjalan menghampiri dengan langkah pelan-pelan.
“Ele? Ngapain kamu disitu?” Gian berjalan perlahan mendekat lalu mengulurkan tangannya tapi gerakannya terhenti karena melihat reaksi terkejut gadis itu. “Ele? Ini aku, dokter gian. Kamu masih ingat aku kan?”
Dia semakin bingung dan mengerutkan dahinya karena melihat ekspresi ketakutan Emily saat melihatnya. Ini benar-benar aneh, kenapa dia seperti tidak mengenali Gian?
“Ja---jangan mendekat!” ujar Emily dengan suara lirih hampir tidak terdengar. Dia menarik selimutnya agar menutupi seluruh tubuhnya. “Jangan mendekat! Jangan sentuh aku.”
Gian semakin bingung dengan reaksi Emily yang dia pikir adalah Eleanor. Gadis itu terlihat semakin ketakutan dan kondisi Emily itu yang membuat Gian semakin putus asa.
Tadi Jaysen yang melarangnya agar tidak mendekat dan menyentuh Emily dan sekarang malah gadis itu yang meminta hal yang sama darinya. ‘Mereka ini sekongkol atau apa sih?’ keluhnya didalam hati.
“Ele, aku datang untuk mengobatimu. Kata Jaysen kalau kamu sedang sakit.” ujar Gian dengan nada selembut mungkin agar tidak menakuti Emily. Sikap Gian seperti sedang membujuk kucing kecil yang ketakutan. Reaksi gadis itu saat dia menyebutkan nama Jaysen membuat dahi gian semakin berkerut.
Jelas terlihat kalau gadis yang dikiranya sebagai Eleanor itu ketakutan. “Ele, hei...hei...Apa aku boleh kesitu? Aku harus memeriksamu.” ujar Gian mencoba mendapatkan izin dari Emily agar bisa mendekatinya.
Gian tidak mau membuat gadis itu histeris saat mencoba mendekat. Tetapi tidak ada sahutan dari Emily, dia masih saja meringkuk diam dalam balutan selimut yang rapat menutupi tubuhnya.
“Baiklah.” Gian merasa kalau Emily hanya akan menolak kalau dia terus memaksa, akhirnya memilih untuk duduk di karpet. “Bagaimana kalau aku menunggu disini saja dan kamu bisa memutuskan apakah aku berbahaya untukmu atau tidak?”
Di balik selimutnya Emily menggigit bibirnya, rasa nyeri disekujur tubuhnya terasa semakin berdenyut terlebih lagi pergelangan tangan yang sekarang tambah bengkak.
Dengan ragu-ragu dia mengangkat sedikit selimutnya dan mengintip.
“Tenanglah. Dia tidak ada disini. Hanya ada aku dan kamu. Dia yang memintaku datang kesini untuk memeriksamu karena katanya kamu sakit.”
Emily mengerjapkan matanya. Sedangkan Gian seolah tahu kalau dia ingin memastikan jika Jaysen ada atau tidak disana. Emily tidak mau melihat pria buta yang kejam dan mengerikan itu,
Perlahan Emily menurunkan selimutnya dan menyampirkannya sebatas bahu. Sepasang matanya tanpa sengaja bertatapan dengan seorang pria yang mengenakan baju kemeja putih dan celana bahan warna khakki.
Emily memiringkan kepalanya mencoba mengingat nama lelaki yang berada dihadapannya ini. Tadi dia mendengar pria itu menyebutkan nama, setelah memindainya sesaat dia berkata, “Gi—Gian?”
tanyanya dengan takut-takut.
Gian menahan napas menatap gadis didepannya yang menatapnya dengan serius. Sepasang mata berwarna abu-abu itu seolah menghipnotisnya. “Ya Tuhan…..”
‘Apa yang sudah terjadi disini?’ bisiknya didalam hati. Gian melihat beberapa luka lebam yang membiru dileher dan beberapa bagian tubuhnya. Dan yang lebih parah adalah pergelangan tangan.
BRAAKKK
“Gian!” seru Jaysen begitu pintu kamar terbuka, “Kenapa lama se----”
“Jay! Apa kamu sudah gila, hah?” potong Gian langsung mencengkeram kerah baju lelaki buta itu dengan penuh amarah. Ingin rasanya dia memukuli lelaki buta itu dan menghabisinya.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Kamu masih bertanya apa yang kulakukan, heh?”
Sepasanga alis Jaysen mengerut karena merasa heran dengan tingkah Gian yang tiba-tiba menyerangnya dengan penuh emosi.
“Lepaskan dulu bajuku! Aku tidak paham maksudmu.” sergah Jaysen setelah dia berhasil melepaskan cengkeraman tangan Gian.
“Apa yang sudah kamu lakukan pada gadis itu?”
“Apa maksudmu bertanya begitu Gian?”
Gian yang sedang emosi menghela napas beberapa kali, dia berusaha untuk menenangkan diri. “Ada beberapa luka lebam ditubuhnya. Dilehernya juga ada bekas cekikan dan yang paling parah adalah pergelangan tangan kirinya yang retak dan juga kakinya.”
“Ap—apa?”
“Jaysen Avshallom Wisesa! Aku tahu kamu itu orang yang seperti apa. Tapi apapun yang kamu lakukan pada gadis itu sudah sangat keterlaluan! Aku tidak tahu kamu ini masih manusia atau apa?”
Tak ada suara apapun, suasana dikamar itu sunyi sesaat dan tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Jaysen. Dia sedang mencerna semua perkataan Gian barusan tentang kondisi gadis itu.
“Retak?” bisiknya tidak percaya.
“Iya! Apa kamu pernah mendorongnya sampai terjatuh atau mencengkeram tangan atau kakinya kuat-kuat? Dan ada lagi, aku melihat bekas cekikan dilehernya yang sudah membiru dan tampak mengerikan!” Gian menarik napas sesaat sedikit demi sedikit meredam amarahnya. “Jaysen! Apa kamu berniat membunuh gadis itu, hah?”
Jaysen mengerutkan dahinya, semalam dia memang mencekik lehernya dan mendorong Eleanor dan mencengkeram pergelangan tangannya dan juga kakinya saat gadis itu ingin melarikan diri.
Meskipun gadis itu sudah meronta dan menjerit kesakitan tapi Jaysen bersikap seolah tidak peduli sama sekali. Belum lagi perlakuan Evan yang juga pasti memperlakukannya kasar saat dia ingin memperkosa Eleanor. “Bahkan setelah itu aku masih ingin menidurinya. Ta---.” gumam Jaysen.
“APA? Apa kamu bilang barusan? Kamu masih ingin apa dengannya semalam?” Gian berteriak tak percaya hingga dia mengulang kalimatnya.
“A—aku. Ehem….jangan memikirkan yang aneh-aneh, Gian! Semalam memang kami hampir melakukannya tapi tidak jadi karena dia...eh..dia pingsan.”
Gian menatap pria buta didepannya itu dengan tatapan tidak percaya. “Oke, jadi semalam dia pingsan. Lalu setelah itu apa kamu ada mengeceknya? Memastikan dia tidur dengan baik?” Gian masih mencoba bicara dengan tenang dan sabar menahan emosinya.
“Eh? I—itu ak--.” jawabannya adalah tidak karena semalam setelah dia mengetahui Eleanor sudah pingsan, Jaysen malah meninggalkan gadis itu begitu saja tanpa mempedulikannya. Hanya tadi pagi saat dia memerintahkan pelayan untuk memindahkan gadis yang sebenarnya adalah Emily itu ke salah satu kamar tidur. Tidak ada jawaban yang sanggup diucapkan oleh Jaysen, tapi Gian sudah bisa menduga apa yang mungkin terjadi.
Gian mengggeram, tanpa bisa menahan emosinya lagi yang sudah memuncak, Gian melayangkan pukulan pada Jaysen. Seharusnya Gian tidak melakukan itu, dia tahu siapa dan bagaimana seorang Jaysen Avshallom Wisesa. Namun sepasang mata abu-abu itu begitu memikat sehingga membuat Gian sangat ingin melindunginya.
Kedua pria itupun saling pukul, setelah Gian memukulnya balik Jaysen yang memukul Gian sekuat tenaga. Seolah melupakan keadaan Jaysen yang buta dan konsekuensi yang mungkin akan diterima oleh Gian atas sikapnya.
Sedangkan Jaysen yang kini marah karena Gian sudah berani memukulnya pun tidak tinggal diam. Meskipun dia sekarang buta bukan berarti dia kehilangan kemampuan bertarungnya. Kedua pria itupun saling memukul hingga babak belur.
Gian sudah babak belur dihajar oleh Jaysen tanpa ampun. “Jangan kamu datang lagi kesini kecuali aku yang memanggilmu!” bentak Jaysen saat Gian diseret keluar oleh para pengawalnya.
“Jangan perlakukan dia seenaknya Jaysen!” balas Gian tak mau kalah masih ingin menantang Jaysen meskipun kondisinya sudah babak belur. “Asal kamu tahu saja dia, gadis itu bagai seekor kucing kecil yang selalu ketakutan setiap kali mendengar namamu!” teriak Gian lagi.
“Memangnya kenapa hah? Kucing kecil itu milikku! Jadi terserah aku mau kuperlakukan dia seperti apa! Dia milikku! Ingat itu!” hardik Jaysen yang hendak memukul Gian lagi.
“Dasar lelaki gila! Arogan dan nggak berperasaan!” teriak Gian saking kesalnya memaki Jaysen.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments