‘Apa hubungan Eleanor dengan semua ini? Kenapa sampai ada orang yang mencarinya seperti ini? Apa dia melakukan hal buruk? Atau dia terlibat dengan orang-orang jahat? Oh, eleanor…..aku baru saja pulang ke Indonesia setelah empat belas tahun malah langsung dihadang orang yang tidak kukenal.’
‘Kamu terlibat masalah apaan sih Ele?’ gumamnya lagi didalam hati.
“Baiklah kalau Nona menolak untuk ikut dengan kami maka saya tidak punya pilihan lain. Kami terpaksa melakukannya secara paksa!” ujar pria itu lagi yang kini mulai terlihat tidak seramah tadi.
“Ja---jangan macam-macam atau saya akan berteriak!” ancam Emily dengan meninggikan suaranya. Jujur saja dia sudah mulai merasa panik dan ketakutan. “Saya pergi. Permisi.”
Emily tidak langsung berbalik begitu saja tapi berjalan mundur beberapa langkah dengan curiga. Setelah memastikan kalau lelaki berjas itu tidak mengejarnya atau berbuat sesuatu padanya dia baru berbalik.
Tapi disaat yang sama tiba-tiba ada pria lain yang merangkul pundaknya dan bersikap seolah mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Sikap pria ini tampak akrab dan eskpresi wajahnya terlihat ramah.
“Ap—apa-apaan ish? Lepas!” seru emily spontan berusaha melepaskan diri.
“Beb, kamu kenapa? Masih marah?” balas lelaki itu dengan senyuman tanpa dosa.
“Hah?” Emily semakin bingung melihat pria berusia sekitar tiga puluh tahun. Badannya tinggi dengan rambut sedikit gondrong tapi yang membuat Emily terpana adalah warna matanya yang berbeda. Yang satu hijau dan yang satu lagi berwarna amber.
“Kamu ini siapa? Jangan seenaknya ya peluk-peluk orang!” hardik Emily merasa kesal karena dia tidak berhasil melepaskan diri. Dia berjengit saat pria itu tiba-tiba menunduk kearahnya.
“Diamlah,” bisiknya ditelinga Emily, “Jadilah gadis manis dan menurutlah. Beliau sudah menunggumu Nona Eleanor.”
“Ap—Tung---Hei Lepaskan aku!” Emily merasa panik tapi pria itu ternyata satu komplotan dengan lelaki berjas tadi. Dan yang lebih parahnya lagi sekarang dia bertingkah seolah mereka sepasanga kekasih yang sedang bertengkar. Hal itu tentunya agar tidak menarik perhatian orang lain di bandara.
“Maaf Pak. Pacar saya ini sedang ngambek karena saya telat menjemputnya tadi,” ujar pria itu berbohong saat ada petugas keamanan yang mendekat.
“Bukan pak! Saya buk---ahhhh!” Emily meringis merasakan sakit ditengkuk kirinya.
“Makanya diam aja,” bisik pria itu langsung menyeret Emily masuk kedalam mobil mewah yang sudah menunggunya.
“Lepasin! Kalian ini siapa? Kenapa seenaknya saja membawaku?”
Emily terus mmeberontak dan mencoba kabur tapi sayangnya pintu mobil terkunci. Kedua matanya membelalak saat lelaki itu mengeluarkan sebuah suntikan.
“Ap—apa yang kamu lakukan?” jeritnya histeris, memandang jarum suntik itu dengan penuh ketakutan. “Tolong! Tolong”! Teriak emily sambil memukul-mukul kaca mobil.
“Ini terpaksa aku lakukan karena kamu tuh berisik banget!” ujar pria itu menarik paksa tangan Emily lalu menyuntiknya.
“Jangan! Aku mohon jangan suntik! Ahhhhh!” Emily sempat berontak sesaat tapi gerakannya dengan cepat semakin melemah setelah terkena suntikan. Tubuhnya terasa sangat lemas dan pandangan matanya mulai menggelap. Emily jatuh pingsan. Mobil mewah itu melaju meninggalkan bandara, menerobos padatnya jalanan ibukota menuju kesebuah bangunan megah.
“Dimana aku harus membaringkannya?”
Pria dengan dua warna mata itu berada disebuah ruang kerja dengan menggendong Emily yang masih belum sadarkan diri. Sementara didalam ruangan itu sudah ada seseorang pria lain yang sudah menunggunya. Pria yang ditanya itu hanya diam tidak menjawab, dia hanya mengedikkan dagunya menunjuk kearah sebuah sofa bed.
“Thank Evan!” ujar pria itu sambil menggoyangkan gelas berisi martini yang ada ditangannya. Setelah membaringkan Emily dengan hati-hati, Cain lelaki dengan dua warna mata menjawab, “Nggak masalah. Toh bukan hal yang sulit untuk menangkapnya.”
Lawan bicaranya mengangguk lalu menjulurkan tangan hendak meraih botol minuman untuk mengisi ulang gelasnya.
“Biar kubantu,” Evan menawarkan segera setelah melihat lawan bicaranya meraba-raba.
“Ngomong-ngomong, apa benar dia gadis yang kamu cari?”
“Apa maksudmu?”
Evan memandangi Emily yang terbaring selama beberapa saat, sebelum menjawab, “Entahlah! Kesannya seikit berbeda dari yang kamu ceritakan.”
Terdengar bunyi es batu berdenting saat gelas diisi minuman itu kembali bergoyang. Merasa kalau lawan bicaranya hanya diam dan tidak merespin, Evan memutuskan kembali berbicara. “Bukankah katamu Eleanor adalah tipe gadis penggoda? Yang sekali lihat saja sudah akan langsung ketahuan?”
“Lalu?”
“Aku nggak nemuin kesan itu digadis ini.” jawab Evan.
“Apa sebenarnya maksudmu?”
Evan mengusap tengkuknya berpikir bagaimana caranya menjelaskan masalah ini ke lawan bicaranya itu. “Yah,” dia berdehem, “Mulai dari penampilannya saja sudah beda. Katamu Eleanor menyukai gaya sensual dengan dandanan yang penuh.
Tapi gadis ini terlihat jauh lebih sederhana. Baik dari pakaian yang dikenakannya maupun dandanannya. Dia bahkan tidak memakai riasan apapun diawajahnya.”
Kedua mata Evan menelusuri lekuk tubuh Emily, mulai dari kaki yang mulus, perut rata, sepasang aset yang menggunung, tulang belikat dan leher jenjangnya serta rambutnya yang ikal. Belum lagi wajahnya dengan mata abu bulat, hidung mancung dan bibir warna pink tidak ada yang bisa menyangkal kecantikannya.
“Evan?”
Evan menelan ludah, rasanya dia bisa membayangkan saat dia menenggelamkan kepalanya dileher jenjang itu, menciumi setiap inci kulit bersihnya lalu meninggalkan beberapa tanda merah disana.
“Evan? Kamu masih disini kan?”
Evan tak merespon, dia masih sibuk dengan pikiran kotornya memandangi Emily yang masih pingsan. Belum lagi bibir seksinya, “Ah pasti manis sekali saat aku menciumnya.” gumam Evan tanpa sadar menjilat bibirnya sendiri.
“Apa?”
“Oh!” Evan mengerjap segera tersadar, “Bukan apa-apa.” sambungnya membuang pandangannya dari Emily. Kalau saja ini bukan permintaan dari sepupunya itu, pasti dia sudah mengambil gadis ini sebagai miliknya sendiri.
“Damn!”
“Evan!”
“Iya, aku masih disini kok.” Evan mencoba bersikap tenang dan biasa saja menyadari lawan bicaranya sekarang sedang mengamati.
“Baiklah! Apa hanya itu? Sudah kukatakan kan, kalau dia itu gadis yang licik. Siapa tahu dia memang sengaja merubah penampilannya?”
“Namanya Emily.”
“Ya?”
“Aku memeriksa paspornya, visa atau kartu identitas lain, semua atas nama Emily Vionetta.”
“Evan! Kamu tahu kan betapa mudahnya membuat identitas palsu.”
Evan menghela napas dan menyadari kalau pembicaraan ini tidak ada gunanya. “Ya, baiklah.” ujarnya sambil mengangkat bahu. “Kalau kamu sudah yakin itu memang Eleanor, maka aku tidak akan menyelidiki lagi soal Emily Vionetta.”
“Oh iya,” Evan berbalik menghentikan langkahnya, “Ini!” ujarnya melemparkan sesuatu yang dengan sigap ditangkap sepupunya. “Aku belum sempat mengecek isi hpnya. Jadi kuberikan saja padamu.”
Tidak ada respon bahkan sampai dia keluar dan menutup pintu. Evan mendengus, menyadari bawah memang seperti itulah sifat sepupunya.
“Dasar pria dingin!” decaknya. “Ya memang apa lagi sih yang bisa diharapkan dari seorang Jaysen Avshalom?” sambil bersiul Evan melangkah pergi.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments