Maya memandang John dengan dahi berkerut, tadi dia memang memberikan ijin untuk John memasuki kamar Emily untuk membangunkan putri angkatnya itu tapi jantung perempuan setengah baya itu nyaris naik ke tenggorokan saat melihat mereka bermesraan.
Meskipun John memasang tampang bersalah tapi Maya belum memaafkan pria bule itu sepenuhnya. Setelah memberi tatapan tajam penuh peringatan pada John, pandangan mata Maya beralih pada Emily dan ekspresinya berubah menjadi lembut.
“Sayang, ibumu ingin bicara denganmu,” ujar Maya akhirnya setelah memberi John pandangan penuh peringatan. Emily terdiam mematung sejenak. Sepasanga matanya menatap handphone yang disodorkan Maya padanya. “Emily! Naura menunggumu!” tegur Maya dengan suara lembut.
Emily mengerjapkan matanya memandang Maya, bibi sekaligus ibu angkatnya. Ada pertanyaan yang coba disampaikan oleh Emily lewat pandangan matanya.
Haruskah dia menerima panggilan telepon dari ibunya? Tapi wajah lembut dan senyuman Maya sudah merupakan jawaban, membuat Emily akhirnya meraih ponsel dari Maya.
“Halo, Ma.” ujarnya lirih. Belum sempat dia berkata lain, suara sentakan langsung menyahutinya.
“Kenapa lama sekali kamu Emily? Mama capek menunggumu!”
Emily hanya diam sambil menggigit bibir bawahnya memandang Maya yang hanya mengangguk menyabarkan gadis itu.
“Maaf, Ma. Aku baru bangun tidur, jad-----”
“Memangnya disana sekarang jam berapa? Jangan mentang-mentang kamu tinggal bersama Maya dan suaminya, lantas kamu enak-enakan. Sebenarnya bagaimana sih caranya si Maya mendidik? Sepertinya dia terlalu memanjakanmu!” suara Naura terdengar sangat ketus.
Ada torehan luka yang menyakitkan dirasakan oleh Emily dihatinya, kedua matanya memanas namun menyadari kehadiran Maya dan John disana membuat Emily memaksakan tersenyum.
“Ma, tadi kata mama kalau Eleanor kecelakaan ya. Bagaimana keadaannya sekarang, Ma?”
“Apa maksudmu? Eleanor adik kembarmu kecelakaan dan kamu hanya bertanya bagaimana kabarnya?” hardik Naura membuat lagi denyut sakit didada Emily.
“Seharusnya ya begitu kamu mendengar kabar tentang Eleanor kamu bergegas kemari! Ini malah nanya bagaimana kabarnya, huh!”
Deg!
“Pulang Emily! Secepatnya! Sudah menjadi kewajibanmu untuk berada disisi Eleanor disaat seperti ini. Pokoknya mama nggak mau tahu ya, kamu harus pulang!”
“Tapi, Ma! Setidaknya beritahu aku dulu soal keadaan Ele---”
“Cepat pulang dan lihat saja sendiri dengan matamu gimana keadaannya. Jangan bersikap keterlaluan sama adikmu! Cepat pulang!” suara Naura meninggi karena marah.
Bahkan tanpa repot Naura tidak menanyakan kabar Emily, melihat situasi yang sepertinya tidak menyenangkan Maya segera mengambil ponsel dari tangan Emily dan mematikan telepon itu begitu saja. Maya merasa kesal dengan sikap Naura pada putrinya.
Rupanya kabar sang putri kandung yang sudah hidup terpisah selama empat belas tahun bukanlah hal penting baginya. “A—aku mau mandi dulu,” ujar Emily dengan suara tercekat. “Tolong,” sambungnya saat John hendak mendekat.
Wajah Emily menunduk, dia tidak sanggup bertatapan dengan siapapun saat ini. Namun setelah kedua orang itu keluar dan pintu kamarnya ditutup, dia luruh ketempat tidur dengan arimata yang sedari tadi ditahannya akhirnya tumpah.
Berapa kalipun Emily berpikir, dia tidak pernah mengerti kenapa perlakuan kedua orangtuanya sangat berbeda antara dia dan Eleanor. Bagi mereka, Emily seolah tidak ada dan hanya ada Eleanor dan sama sekali tidak ada tempat bagi Emily. Mereka kembar tapi diperlakukan sangat jauh berbeda.
Bahkan saat Maya keguguran dulu, lalu meminta salah satu antara Emily dan Eleanor yang bisa diasuhnya sebagai pancingan, mereka langsung setuju menyerahkan Emily.
Sejak itu pula Daniel Valencia suaminya Maya selalu mengirimkan sejumlah uang secara rutin untuk kedua orang tuanya. Apa memang dia dibuang? Atau sengaja dijual demi uang bulanan yang Emily tahu jumlahnya tidak sedikit itu? Tapi kenapa?
“Sebenarnya apa salahku pada mama dan papa sampai-sampai mereka tidak pernah menyayangiku?” isak Emily. Rasa sakit yang tertimbun didalam hati atas perlakuan kedua orang tuanya sejak lama kini menyeruak dan dilepaskan dalam isak tangisnya. Lalu Emily berdiri didepan cermin dan menatap dirinya dengan mata sembabnya mengamati pantulan dirinya didepan cermin besar itu.
Rambut kecoklatan yang berkilau sewarna madu, hidung mancung dan kulit kuning langsat mulus dan sepasang bibir berwarna merah muda. Secara keseluruhan penampilannya sama persis seperti Eleanor.
Satu-satunya yang membedakan hanyalah warna mata mereka. Mata Eleanor berwarna hitam sedangkan mata Emily berwarna abu-abu cerah nyaris seperti warna perak.
Dengan penampilan yang sangat serupa lalu kenapa kedua orang tuanya sangat memperlakukan mereka berdua berbeda? Emily memiliki rambut panjang bergelombang indah dan rambut Eleanor lurus, Emily menghela napas berat.
Tentu saja dia merasa cemas soal kecelakaan yang menimpa Eleanor tapi disatu sisi untuk pulang ke Indonesia dan tinggal bersama kedua orang tuanya membuat Emily ragu.
Respon Naura di telepon tadi saja masih seperti itu, ketus dan dingin lalu bagaimana dengan ayahnya? Tubuh Emily bergidik membayangkan bagaimana nanti disana bahkan sekedar teringat bayangan sang ayah saja sudah membuat gadis itu ketakutan.
“Apa aku harus pulang?” Pikiran dan hati Emily bergejolak antara memutuskan pulang atau tidak, banyak hal yang membuatnya merasa enggan untuk kembali ke Indonesia.
Tapi, jika dia tidak pulang maka kemarahan dan kebencian yang semakin besar akan diterimanya dari kedua orang tuanya. Sedangkan Tante Maya pasti merasa kurang senang meskipun wanita itu tidak akan mengatakan apapun pada Emily.
Tapi dia tahu pasti tantenya itu merasa tidak enak hati pada kedua orang tuanya, bagaimana pun mereka masih saudara.
Memikirkan semuanya, Emily yang tak ingin hubungan antara Maya dan Naura rusak diakibatkan oleh Emily dan dia juga tidak mau jika wanita yang sudah begitu menyayangi dan membesarkannya selama ini akan dituduh yang tidak-tidak dan dikecam oleh orang taunya karena dianggap menahan dan menghalangi Emily untuk pulang ke Indonesia.
Akhirnya dia pun memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Setelah membicarakan masalah itu dengan Maya dan suaminya, Emily pun membeli tiket penerbangan untuk besok.
Keesokan harinya. Pukul delapan pagi dan suasana di John F. Kennedy International Airport di New York sudah sedemikian ramainya. Sebagai salah satu bandara terbesar dan paling sibuk didunia.
Suasana airport pagi ini dipenuhi orang-orang yang berjalan dengan koper-koper mereka. Suara pengumuman tak henti-hentinya memenuhi gedung besar seiring dengan pemandangan orang-orang yang berlarian mengejar penerbangan mereka.
Suasana ramai dan sibuk di bandara itu sama sekali tidak membuat suasana hati Emily membaik, justru sebaliknya dia merasa dadanya semakin sesak. Tapi dia sudah tidak punya pilihan lain, andai saja dia bisa mengubah semuanya.
Dia akan lebih memilih untuk tinggal di New York dan tidak pernah kembali ke Indonesia selamanya. Emily berdiri didepan gate keberangkatan dan tidak berdaya dalam pelukan Maya yang masih sangat berat mengizinkannya pulang.
“Sesampainya di Indonesia kamu harus segera telepon mama ya,” ujar Maya dengan suara sengau karena menahan tangis, “Naura dan Titus, mereka akan menjemputmu kan?”
Emily tersenyum, jawabannya adalah tidak. Tanpa perlu bertanya pun dia sudah tahu kalau kedua orang tuanya itu tidak akan mau repot-repot untuk menjemputnya di bandara.
“Keterlaluan sekali mereka itu! Dari dulu mama heran dengan perlakuan pilih kasih mereka terhadapmu!” geram Maya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments