Suasana hening menyelimuti malam hari itu. Di dalam kamar yang berukuran tidak terlalu besar namun nyaman, tampak seorang pria paruh baya sedang duduk di atas kasur. Matanya terfokus pada deretan foto di dalam album yang beberapa tampak berserakan di sana. Sesaat laki-laki itu menyeka air matanya yang basah.
Jari-jari tangannya yang sudah mulai tampak tanda-tanda keriput, terus mengusap foto dua gadis kembar yang masih kecil. Mereka tampak lucu sekali dengan pakaian yang sama dan senyum yang ceria.
Sesaat kemudian, seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamar itu. Dia menyimpan gelas dan teko berisi air di atas nakas lalu ikut naik ke atas tempat tidur. Duduk di samping sang suami.
"Lagi apa, Yah?" tanya Ibu Araya. Dia menyandarkan kepalanya di bahu sang suami dan melingkarkan tangannya di lengan laki-laki itu. Sang suami menoleh ke arah sang istri dan mencium puncak kepala istrinya tersebut.
"Ayah sedang melihat foto kedua anak gadis kita. Tidak terasa ya, waktu berlalu begitu cepat," jawab ayah Lukman sambil terus mengusap foto Kian dan juga Lian yang masih kecil.
"Ayah merindukan mereka?" tanya ibu Araya. Dia menegakkan kepalanya dan lalu menatap sang suami.
"Ayah merindukan masa kecil mereka," jawab Ayah Lukman.
"Hmm," gumam sang istri.
"Ayah ingat waktu pertama kali dokter mengatakan kalau kamu hamil anak kembar, rasanya seperti ayah ingin terbang saja saking senangnya. Apalagi saat mereka lahir. Wajah mereka yang begitu imut, begitu cantik, dan begitu mirip membuat ayah sampai tak bisa berkata apa-apa lagi," ucap ayah Lukman sambil tersenyum mengingat masa lalunya.
"Iya. Dan kita tidak pernah melewatkan perkembangan mereka, bukan? Meskipun ayah bekerja tapi ayah tidak pernah mengurangi rasa perhatian dan rasa sayang ayah kepada mereka. Ayah selalu memberikan apapun yang mereka mau. Ayah bahkan rela begadang semalaman untuk menemani mereka bermain walaupun saat itu kondisi ayah sedang sangat lelah setelah bekerja seharian," jelas sang istri.
"Iya Bu. Mau bagaimana lagi. Setiap pagi sampai sore ayah selalu berada di kantor. Dan kalau malam tiba, mereka sudah terlelap. Jadi ketika mereka tiba-tiba saja sama-sama tidak bisa tidur, itu adalah kesempatan ayah meluangkan waktu untuk mereka," jelas ayah Lukman.
Ayah Lukman menutup album foto di tangannya. Merapikan semua album yang berserakan di atas kasur lalu membersihkannya tempat tidur itu secara perlahan. Dia tidak ingin ada debu dari album yang menempel di sana. Setelah selesai, ayah Lukman kembali baik ke atas tempat tidur lalu membaringkan tubuhnya. Diikuti sang istri yang langsung menghambur memeluknya. Sehingga kini kepala ibu Araya berada di dada ayah Lukman. Dan tangan wanita itu melingkar di atas perut sang suami.
"Sekarang semuanya sudah berakhir. Semuanya sudah berubah," sambung ayah Lukman. Ibu Araya terdiam tanpa mau berkomentar.
"Kedua anak kecil kita, sekarang sudah berubah menjadi dewasa. Mereka sudah tidak bisa kita atur lagi karena mereka sudah punya keinginan sendiri-sendiri yang tak jarang bertentangan dengan keinginan kita. Sekarang mereka sudah bisa mengambil keputusan sendiri walaupun tak jarang juga mereka mengambil keputusan yang salah. Dan kita sebagai orang tuanya masih punya kewajiban untuk membimbing mereka, bukan?" tanya Ayah Lukman. Ibu Araya mendongakkan wajahnya menatap sang suami.
"Ayah sedang membicarakan Lian?" tanya Ibu Araya.
"Iya tentu saja. Bahkan sampai sekarang ayah masih tidak bisa berpikir, bagaimana bisa dia tergoda kepada anak berandalan itu? Lian bahkan sudah berhubungan lebih dari satu tahun dan kita sama-sama tidak mengetahui hal itu," sambung ayah Lukman.
"Mereka ada di masa puber, Yah. Dimana mereka lebih memilih mementingkan ego daripada pikiran yang jernih. Ibu juga kecewa kenapa Lian sampai berbuat seperti itu. Dia bahkan selalu membangkang jika kita memberikannya pengertian. Tapi ibu juga tidak sepenuhnya menyalahkan anak itu. Karena bagaimanapun masanya Kian dan Lian sekarang adalah masa dimana mereka selalu memberontak jika apa yang mereka inginkan tidak diberikan atau tidak dimengerti oleh orang tua mereka," jelas ibu Araya.
"Tapi Kian tidak begitu," ucap ayah Lukman membandingkan kedua anaknya.
"Bukankah dari sejak kecil sifat Kian memang berbeda dengan kakaknya, Lian? Dari sejak kecil, kita selalu melihat kalau Kian selalu mengalah kepada Lian. Sebuah hubungan dimana biasanya sang kakak yang selalu mengalah kepada sang adik tapi itu tidak dialami oleh mereka. Kian sebagai seorang adik justru lebih banyak mengalah kepada Lian," jelas Ibu Araya lagi. Ayah Lukman mengangguk.
"Iya. Beruntung kita sudah menikahkan Lian dengan Rama. Kalau tidak, ayah tidak tau apa yang akan dilakukan oleh Lian bersama laki-laki berandalan itu."
Ibu Araya mengangkat tubuhnya dan kembali duduk di samping sang suami dan menghadapkan wajahnya kepada laki-laki itu.
"Tapi ayah, apa keputusan kita menikahkan Lian dengan Rama itu benar?" tanya Ibu Araya.
"Memangnya kenapa?"
"Lian menerima pernikahan ini adalah karena paksaan dan ancaman dari ayah. Dia tidak mencintai suaminya. Bahkan hatinya masih dimiliki orang lain. Apakah pernikahan mereka akan bahagia terutama bagi anak kita?" tanya ibu Araya.
"Tentu saja ini adalah keputusan yang tepat. Rama adalah cucu dari Tuan Bimo, seorang pengusaha kaya raya di negeri ini."
"Maksud ayah? Jadi ayah sengaja menikahkan Lian dengan Rama karena keluarga mereka yang kaya?" tanya ibu Araya. Sang suami malah terkekeh.
Ayah Lukman bangun dari tidurnya dan kini mereka duduk saling berhadapan di atas kasur. Tangan ayah Lukman mengusap kepala sang istri.
"Bukan begitu sayang. Kamu tau sendiri kan jika Rama adalah cucu dari Tuan Bimo. Sedangkan tuan Bimo sendiri adalah sahabat ayah Dul. Jika ayah Dul saja setuju untuk kita menjalin hubungan dengan keluarga mereka, lalu kenapa aku harus ragu. Setidaknya Lian akan mendapatkan kucuran kasih sayang di rumah itu. Sekarang tinggal bagaimana Lian saja yang sudah harus menentukan sikap."
Ayah Lukman memutar tubuhnya dan mengambil ponsel dari atas nakas. Sekejap dia menggunakan ponsel tersebut lalu menyimpannya kembali ke atas nakas.
"Apa yang Ayah lakukan?" tanya sang istri yang bingung.
"Ayah baru ingat kalau ayah belum mentransfer uang untuk bekal Kian di sana. Jadi ayah langsung transfer barusan," jelas ayah Lukman.
"Ayah masih mengirim Kian uang? Tapi bukankah dia di sana sedang bekerja juga ya? Lalu kenapa Ayah masih mengirim dia uang?" tanya ibu Araya tidak mengerti.
"Bu, walaupun Kian sudah bekerja akan tetapi dia belum memiliki pasangan yang siap bertanggung jawab untuk mengurus lahir dan batinnya. Ayah tidak khawatir dengan Lian karena sekarang dia sudah menjadi tanggung jawab Rama suaminya. Sedangkan Kian, selama dia belum menikah maka segala tanggung jawab tentang kehidupannya masih menjadi tanggung jawab Ayah, bukan?" Jelas Ayah Lukman.
"Iya juga sih." Sang istri mengangguk-anggukan kepalanya.
"Sudahlah tak apa. Lagipula ayah selalu percaya pada Kian. Dia tidak mungkin menyalahgunakan semua fasilitas yang ayah berikan kepadanya. Apalagi melakukan sesuatu sampai merusak nama baik keluarga."
"Karena Kian berbeda dengan Lian, ya?"
"Nah itu ibu mengerti." ucap Ayah Lukman sambil terkekeh.
"Baiklah ini sudah malam. Sebaiknya kita segera tidur," kata ayah Lukman sambil memposisikan sang istri untuk kembali berbaring.
"Atau apa ibu mau kita bikin adik untuk Lian dan Kian? Siapa tau bisa dapat kembar lagi?" ucap ayah Lukman sambil menggoda sang istri.
****
****
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments