"Apa ini ada hubungannya dengan Vicky?" tanya Kian. Lian tak menjawab. Dia bahkan tersenyum mendengar pertanyaan dari sang adik.
"Gak usah bohong lagi, Lian. Aku tau semuanya. Aku bahkan tau jika semalam kalian… kalian…" Kian menjeda kalimatnya. Dia merasa begitu malu jika mengingat apa yang dikatakan oleh Rama semalam. Bisa-bisanya sang kakak melakukan hal seperti itu di depan umum.
"Kenapa? Memangnya apa yang kamu tau?" tanya Lian dingin.
"Aku… aku tau kalau semalam.. semalam kalian…" ucap Kian masih terbata-bata.
"Semalam? Oh jadi semalam kamu ngeliat aku sedang pacaran dengan Vicky di club? Sedang apa kamu disana? Kenapa tidak menyapaku?" tanya Lian begitu tenang. Tidak ada sedikitpun raut kaget di wajah Lian selayaknya orang yang baru saja ketahuan melakukan kesalahan.
"Bukan aku tapi Mas Rama," jawab Kian lirih.
"Ooh jadi suamiku tercinta yang melihat istrinya berselingkuh, hahahaha," Lian tertawa dan itu membuat Kian bingung.
"Apanya yang lucu?" tanya Kian.
"Tentu saja lucu. Seorang suami memergoki istri sah nya selingkuh tapi dia diam saja karena dia menganggap gadis itu adalah orang lain. Hahaha. Tapi ngomong-ngomong sedang apa suami kaya rayaku itu di club malam-malam? Apa kalian bertengkar?" tanya Lian di sela tawanya.
Kian terdiam. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada sang kakak. Apalagi mengatakan kejadian setelahnya. Dimana dirinya dan suami dari sang kakak hampir saja melakukan hubungan suami istri.
"Sudahlah tidak perlu kamu jawab. Lagipula aku tidak peduli dengan apapun yang terjadi dengan suamiku itu," ucap Lian mengibas-ngibaskan tangannya.
"Jadi??" tanya Kian lagi.
"Apanya?"
"Kemana kamu akan pergi?"
Lian membuang nafas kasar.
"Kenapa kamu ingin sekali tau urusan pribadiku, Kian?"
"Karena sejak awal, kamu yang sudah menarikku untuk masuk ke dalam kehidupan pribadimu. Dan satu hal lagi yang harus kamu ingat. Sekarang kamu adalah aku. Semua keluarga tau jika kamu adalah aku. Dan kamu pergi sebagai Kian, bukan Lian. Kamu pergi dengan membawa namaku, bukan namamu," jelas Kian panjang lebar.
"Iya… iya… aku beritahu.. dasar cerewet."
Kian masih menunggu sang kakak berbicara.
"Aku akan tinggal di rumah sewa dekat kosan Vicky," ucap Lian tenang.
"Apa? Tapi kenapa?" tanya Kian. Dia benar-benar kaget dengar rencana sang kakak kembarnya itu. Memilih untuk pergi dari rumah, hanya untuk tinggal berdekatan dengan sang kekasih. Ayolah, Lian itu bukan anak remaja yang labil. Dia bahkan sudah menikah. Tapi kenapa dia masih bisa berpikir hal kekanak-kanakan seperti itu?
"Aku yakin kamu pasti sudah tau apa alasannya. Tinggal di rumah menjadi seorang Kian itu sangat membosankan. Aku tidak mengerti bagaimana kamu bisa dengan tenang seharian penuh tinggal di rumah. Lagipula selama aku menjadi dirimu, aku jadi tidak bisa bertemu dengan Vicky. Bahkan untuk bertemu seminggu sekali di malam minggu saja sangat sulit sekali. Terlalu banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh ayah jika aku akan pergi malam," jelas Lian.
"Karena aku tidak suka keluar malam hari."
"Nah, itu kamu tau. Jadi aku dan Vicky merencanakan hal ini. Tapi kamu tidak usah khawatir. Rumah yang aku sewa masih berada di kota ini, tidak sampai keluar kota. Jadi kita masih bisa saling berhubungan," ucap Lian lagi.
"Tapi Lian, bagaimana jika ayah tau?"
"Tidak akan. Kamu tau sendiri kalau permainanku sangat rapi. Lihatlah. Bahkan sampai sekarang tidak ada seorangpun yang curiga kalau kita sudah bertukar tempat."
"Tapi…." Kata-kata Kian terhenti saat dengan cepat Lian memotongnya.
"Sudahlah. Aku datang kemari hanya untuk memberitahumu dan berpamitan dengan semua orang disini. Bukan untuk berdiskusi denganmu apalagi meminta pendapatmu. Sebaiknya kita kembali sekarang karena aku harus segera pergi menemui Vicky."
Lian melenggang pergi meninggalkan Kian yang masih berdiri mematung di sana. Otaknya masih terus berpikir apa lagi yang akan terjadi kedepannya. Dia harus terjebak di dalam pernikahan sang kakak, sedangkan Lian malah semakin menggila dengan tinggal berdekatan dengan sang kekasih. Sejenak dia ingin sekali mengakhiri semua permainan ini. Dia benar-benar sangat menyesal karena sudah mengikuti keinginan Lian. Tapi ancaman Lian selalu saja menjadi senjata yang dapat membuat Kian tidak berkutik.
Kian berjalan mengikuti Lian dari belakang.
"Kalian sudah selesai mengobrolnya? Ayo Kian, kita harus segera menyiapkan segala kebutuhanmu. Bukankah kamu bilang jika besok ingin pergi bersama teman-temanmu saja?" tanya ayah Lukman. Lian tersenyum dan mengangguk. Gadis itu dengan cepat melangkah mendekati sang ayah. Sedangkan Kian berjalan pelan mendekati Rama.
"Baiklah Bim, sepertinya kami harus segera pergi," pamit Kakek Dul.
"Iya Dul. Hati-hati!" jawab Kakek Bimo. Lalu dia menoleh ke arah Lian.
"Kian, kamu hati-hati disana ya! Jika terjadi sesuatu kepadamu disana, kamu bisa menghubungi kakek. Kakek akan dengan senang hati membantumu," tambah Kakek Bimo. Lian mengangguk. Mereka bertiga pun akhirnya pergi meninggalkan rumah kakek Bimo.
"Kakek heran, kenapa adikmu itu lebih memilih bekerja di perusahaan orang lain. Padahal perusahaan milik keluarganya juga lumayan. Atau kalau dia mau, kakek juga bisa memasukkan dia ke perusahaan kakek. Bukan begitu, Ram?" ucap sang Kakek setelah keluarga dari sang sahabat pergi. Rama mengangguk.
"Aku tidak tau, Kek," jawab Kian lirih. Pikirannya masih belum terlepas dari kata-kata Lian tadi.
"Apa kamu juga mau bekerja, Lian?" tanya sang kakek setelah beberapa saat terdiam. Kian dan Rama menoleh ke arah sang kakek bersamaan.
"Apa?" ucap pasangan itu bersamaan. Membuat Kakek Bimo tersenyum.
"Kalian ini sudah sehati rupanya. Sampai berbicara pun bisa bersamaan seperti itu," canda sang kakek. Namun kedua insan di depannya hanya terdiam.
"Kakek pikir karena adikmu Kian bekerja, jadi kamu juga pasti punya cita-cita ingin bekerja juga, bukan?" tanya sang kakek.
"Jika kamu mau, kakek bisa memasukkan kamu ke perusahaan kakek. Atau kalau kamu mau bekerja di perusahaan keluargamu juga, kakek izinkan. Lagipula sebelum kamu menikah dengan Rama, kakek sempat melihat jenjang pendidikanmu. Bahkan kakek juga berpikir, jika saja kamu mau bekerja, mungkin jabatanmu akan setara dengan Rama. Atau kalau tidak, hanya satu tingkat di bawahnya. Atau mau jadi sekretaris pribadi Rama juga bisa. Bagaimana?" lanjut sang Kakek.
Kian melirik ke arah Rama yang memalingkan wajahnya ke tempat lain. Kedua tangannya malah tampak mengepal dengan sangat kuat. Kian mengerti jika Rama tidak ingin dirinya bekerja. Walaupun bekerja di perusahaan keluarga adalah salah satu cita-citanya, akan tetapi dia tidak bisa egois, bukan?
"Bagaimana?" tanya sang kakek lagi.
"Aku ingin Lian di rumah saja!" ucap Rama pada akhirnya. Membuat sang kakek mengalihkan pandangannya kepada sang cucu.
"Kenapa?" tanyanya.
"Aku…"
"Apa kamu takut jika istrimu ini bisa menjadi saingan terberatmu? Atau kamu takut jika dia pulang dan kalian tidak bisa bermesraan di kantor lagi?"
"Dia?" Kian bergumam dalam hati.
****
****
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Ika Ika
semangat kian
2023-06-05
1