Setelah menunggu beberapa saat akhirnya dokter keluarga mereka datang. Walaupun jam sudah menunjukkan tengah malam akan tetapi jika Kakek Bimo yang menghubungi maka siapapun pasti akan langsung siap bergerak.
Kepala Rama kini sudah dibalut perban. Beruntung luka yang dialami laki-laki itu tidak terlalu parah sehingga dia tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Kian masih duduk di sofa yang terletak di depan tempat tidur. Saat itu dirinya sudah berganti pakaian setelah sebelumnya diingatkan oleh sang kakek. Tangannya masih terus menyeka air matanya yang sesekali masih keluar. Di dalam hatinya, Kian merasa sangat menyesal atas apa yang sudah dia lakukan kepada laki-laki itu. Memang benar niat Kian hanya untuk melindungi diri akan tetapi tidak sedikitpun dia menyangka akan menyakiti laki-laki itu.
Kakek Bimo masih berdiri di samping sang cucu yang duduk di atas tempat tidurnya. Sesekali matanya melirik ke arah Kian yang sepertinya sedang melamun.
"Ini ada beberapa obat yang harus diminum oleh Pak Rama," ucap dokter tersebut sambil memberikan selembar kertas kecil bertuliskan resep obat.
"Baik dokter," jawab Kakek Bimo.
Setelah selesai dengan segala urusannya akhirnya dokter itu pun pamit undur diri. Kakek Bimo berjalan keluar kamar untuk mengantarkan sang dokter sampai ke pintu depan.
Rama masih menatap tajam ke arah Kian yang posisinya ada di depannya. Amarah di dalam hatinya untuk wanita itu semakin menjadi apalagi setelah apa yang sudah wanita itu lakukan kepadanya.
"Aku benar-benar membencinya. Sangat membencinya," gerutu Rama dalam hati.
Kian sadar jika sedari tadi laki-laki di depannya ini sedang menatapnya dengan intens. Itu sebabnya dia tidak berani untuk melihat ke arah depan dimana pandangan mereka bisa saja saling bertemu. Rasa bimbang kini menyelimuti hati Kian. Di satu sisi dia ingin sekali bergerak maju mendekati Rama dan meminta maaf kepadanya, akan tetapi di sisi lain dia masih takut dengan laki-laki di depannya itu.
Kian memejamkan matanya, menghirup nafas dalam, mencoba untuk menenangkan hatinya. Satu keputusan harus dia ambil dan pada akhirnya dia pun memilih untuk meminta maaf saja. Perlahan Kian berdiri dari sofa. Pandangannya mulai naik sedikit demi sedikit hingga pada akhirnya kedua pasang netra itu saling bertemu.
"Mas.. aku…"
Perkataan Kian dan juga langkahnya terhenti ketika Rama mengangkat tangannya. Gerakan itu lagi. Isyarat dimana Kian harus diam dan tidak perlu melanjutkan apapun yang ingin dia katakan atau dia lakukan. Isyarat bahwa Rama tidak mau tau apapun yang akan dilakukan oleh wanita itu.
Seperti biasa, jika Rama sudah melakukan hal itu, Kian seolah berubah menjadi patung yang hanya diam tak bergerak. Semua kata-kata yang sudah dia siapkan di dalam hati, yang dengan semangat dia berencana akan mengungkapkannya kepada Rama, namun nyatanya hanya dengan satu gerakan tangan saja, membuat semuanya sirna.
Sesak.. Hanya itu yang Kian rasakan sekarang. Dia harus kembali menekan emosi yang ada di dalam hatinya.. semangat yang sudah menggebu-gebu harus dia redam sekuat tenaga.
"Baiklah, mungkin memang belum saatnya kita bicara serius," batin Kian berkata.
***
Siang hari di rumah keluarga Kakek Dul. Sebuah rumah yang cukup besar, walaupun tak sebesar rumah Kakek Bimo. Seperti halnya Kakek Bimo, Kakek Dul juga memiliki usaha keluarga turun temurun yang kali ini masih menjadi tanggung jawab dirinya dan juga sang anak, Lukman.
Semua orang sedang berkumpul di ruang keluarga. Ada kakek Dul, ayah Lukman, Ibu Araya, dan tentu saja Lian yang menyamar menjadi Kian. Semua orang disana terdiam dan saling memandang sesaat kemudian semua mata tertuju kepada Lian.
"Apa kamu yakin, Kian?" tanya ayah Lukman.
"Iya Ayah. Aku sudah memikirkan hal ini sejak jauh-jauh hari. Aku bahkan sudah lama melamar pekerjaan disana dan kemarin malam aku mendapat email balasan dari perusahaan itu, katanya aku diterima kerja disana," ucap Lian dengan semangat.
"Tapi Nak, itu kan di luar kota. Lagipula jika kamu memang ingin bekerja, kenapa harus bekerja di perusahaan orang lain? Bukankah kamu bisa bekerja di perusahaan keluarga kita?" tanya Kakek Dul.
"Justru itu Kek. Aku gak mau kalau pekerjaanku dipengaruhi oleh statusku. Aku tau kalau aku bisa saja bekerja di perusahaan keluarga kita. Bahkan kakek bisa memposisikan aku dimanapun yang aku mau. Tapi aku tidak mau hal itu, Kek. Aku ingin bekerja atas usahaku sendiri," jelas Lian.
"Apa itu artinya kamu akan tinggal disana, Nak?" Kini Ibu Araya yang berucap.
"Iya Bu. Aku akan menyewa rumah disana. Soalnya kalau bolak-balik, aku capek. Lagipula ibu, ayah, dan juga kakek gak usah khawatir. Aku disana bareng temen-temen kok. Dan aku bisa jamin kalau mereka adalah anak-anak yang baik," ucap Lian sambil tersenyum.
"Iya, ayah percaya sama kamu. Pergaulanmu tidak seperti pergaulan kakakmu Lian. Tapi ini adalah pertama kalinya kamu tinggal jauh dari kami. Dan tentu saja kami khawatir," ucap Ayah Lukman lagi.
Lian sedikit memanyunkan bibirnya saat mendengar sang ayah berkata jika pergaulannya tidak baik.
"Tapi Ayah, ini adalah kesempatan emas bagiku. Sudah sejak lama aku bermimpi ingin bekerja di perusahaan itu. Dan inilah saatnya. Aku mohon ayah, tolong ijinkan aku untuk pergi kesana. Aku mohon."
Lian menyatukan kedua tangannya di depan dada. Ayah Lukman, Ibu Araya dan juga Kakek Dul kembali saling menatap. Ini untuk pertama kalinya Kian bersikeras meminta izin kepada mereka. Padahal biasanya dia selalu mendiskusikan terlebih dahulu dengan mereka sebelum mengambil keputusan. Tapi sekarang? Apakah pekerjaan itu memang sangat penting bagi Kian? Itulah pemikiran ketiga orang itu.
"Bagaimana?" Lian kembali berucap.
Walaupun ragu namun pada akhirnya mereka bertiga pun mengangguk. Hal itu tentu saja membuat Lian sangat senang. Rencana yang sudah dia susun bersama sang kekasih ternyata berhasil tanpa ada kendala yang berarti. Iya, tentu saja mereka tidak mempersulit karena pada kenyataannya yang mereka bertiga tau adalah Kianlah yang sudah meminta izin. Jika saja mereka tau jika yang berbicara adalah Lian, maka sudah bisa dipastikan kalau mereka tidak akan mengizinkannya pergi.
Semalam Vicky memang sudah merencanakan hal ini agar dia dan Lian bisa terus bertemu setiap malam. Kondisi Lian yang tinggal bersama orang tuanya adalah kendala utama mereka tidak bisa bertemu setiap saat. Itu sebabnya Vicky meminta sang kekasih untuk berbohong kepada keluarganya dan Lian pun setuju.
Lian memeluk sang ayah, ibu, dan juga kakek Dul secara bergantian. Dia sangat senang dan mengucapkan terima kasih kepada mereka, bukan karena mereka telah mengijinkannya pergi, akan tetapi karena mereka terlalu bodoh untuk menyadari semua sandiwaranya sehingga semua rencananya bisa berjalan dengan sangat lancar, pikir Lian.
****
****
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments