PRANG…..
Suara gelas pecah terdengar nyaring menggema di salah satu kamar di rumah Kakek Bimo. Pagi itu, Kian yang melihat Rama sibuk dengan pekerjaannya sejak dari subuh hari, berinisiatif untuk membuatkan secangkir kopi. Dengan semangat dia berjalan ke arah dapur. Berbekal info yang dia dapatkan dari pelayan di sana tentang bagaimana takaran kopi untuk Rama, Kian pun mulai menggerakkan tangannya.
Sebuah senyum mengiringi perjalanan dirinya menuju ke arah kamar dimana Rama berada. Kian berharap dengan segelas kopi ini bisa menjadi awal yang baik bagi hubungan mereka. Walaupun Kian tau mungkin itu akan sulit karena melihat sikap Rama yang dingin, akan tetapi dirinya tak pernah berputus asa. Dia yakin jika suatu hari nanti dirinya dan Rama akan memiliki sebuah hubungan yang hangat. Sehangat kopi yang kini ada di tangannya kini.
"Mas kopinya…"
Dengan pelan Kian meletakkan kopi itu di meja dekat dengan Rama. Akan tetapi disaat yang bersamaan, tangan Rama ternyata terangkat untuk mengambil berkas yang ada di depannya. Alhasil tangan mereka pun bertabrakan dan kopi yang dibawa oleh Kian tumpah membasahi beberapa berkas yang sudah rapi di atas meja.
"Ma.. ma.. maaf Mas. A… aku.. aku gak sengaja," Kian bicara dengan gelagapan. Tangannya meraih tisu di atas nakas dan lalu mengelap meja yang basah dengan kopi tersebut. Lalu dia kembali lagi mengambil tisu saat kedua matanya melihat kalau ada sebagian kopi tersebut yang jatuh ke atas kemeja putih milik Rama.
"Hentikan… Apa yang sudah kamu lakukan?" Rama membentak. Dia berdiri lalu merebut tisu yang masih berada di tangan Kian dan mengusapkannya ke kemeja yang dia pakai.
Amarah laki-laki itu semakin menjadi saat dirinya melihat bahwa air kopi itu membasahi semua file penting miliknya.
"Lihat apa yang sudah kamu lakukan? Apa kamu sengaja ingin menghancurkan perusahaanku?" ucap Rama sambil melotot ke arah Kian. Membuat gadis itu tertunduk dengan tubuh yang gemetar.
"Apa kamu tau kalau ini adalah berkas yang sangat penting. Semalaman aku menyiapkan ini semua karena akan aku gunakan untuk rapat bersama kakek dan para klien hari ini. Dan kamu dengan mudahnya menghancurkannya begitu saja," bentak Rama.
"Tapi.. aku.. aku benar-benar gak sengaja Mas. Tadi tangan mas naik dan…." ucapan Kian terpotong.
"Oh jadi kamu menyalahkan aku? Begitu?"
"Bukan itu maksud aku, Mas."
Kian sudah semakin ketakutan. Tatapan melotot Rama, bentakan dari laki-laki itu benar-benar membuat dirinya ingin menangis. Bahkan kini bulir-bulir air sudah mulai turun di sudut matanya.
"Ini adalah hari kedua kamu tinggal di rumah Kakek dan kamu sudah menghancurkan pekerjaanku. Apa kamu tidak waras?"
Rama terus berbicara dengan nada tinggi. Dia tidak peduli dengan wanita di depannya yang sudah banjir air mata akibat ulahnya.
"Aku minta maaf, Mas. Tadi aku hanya ingin memberikanmu kopi. Itu saja," ucap Kian di sela tangisnya.
"Tapi aku tidak pernah memintamu untuk membuatkanku kopi bukan?"
"Aku hanya…."
"Dan berhentilah berlaga seperti seorang istri. Aku tidak suka," teriak Rama dan kini berhasil membuat Kian mendongakkan wajahnya melihat ke arah Rama.
"Tapi.. tapi aku memang istrimu, Mas?" ucap Kian dengan memelas. Iya, setidaknya di mata dunia mereka memang suami istri kan?
Rama mencengkram kedua lengan Kian dan meremasnya kuat-kuat. Dia menatap tajam ke arah netra wanita itu lalu berbicara dengan tenang namun penuh penekanan.
"Dengar! Kamu hanya menjadi cucu menantu dari Kakek Bimo. Tapi bukan istriku!"
DEG…
Jantung Kian terasa berhenti saat mendengar ungkapan dari laki-laki di depannya itu. Apakah dia bercanda? Tapi sorot matanya yang tajam tak menyiratkan sebuah kebohongan ataupun candaan di dalamnya. Jadi ini serius?
Pikiran Kian terus berputar mencoba mencerna kata perkata apa yang keluar dari bibir Rama. Dia tau kalau mereka sama-sama saling dijodohkan tapi dia tidak menyangka jika Rama sampai membuat dinding besar di antara mereka. Tadinya Kian berpikir, walaupun ikatan pernikahan itu tidak diawali dengan pengenalan tapi sepertinya mereka bisa saling mengenal satu sama lain setelah menikah bukan? Sekarang jika Rama sudah berkata begini, lalu apa yang harus dia lakukan?
Rama menghempaskan tubuh Kian hingga mundur beberapa langkah.
"Kakek yang sudah memaksaku untuk mengikat hubungan denganmu. Dia sama sekali tak pernah bertanya bagaimana pendapatku soal ini. Yang dia inginkan hanya aku bisa menikah dengan cucu dari sahabatnya saja. Lalu bagaimana aku bisa menerimamu sebagai bagian dalam kehidupanku jika aku saja menolak dengan pernikahan ini?"
Kian masih terdiam.
"Sejak aku bertemu dengan kalian, tak ada satupun diantara kalian yang mampu menarik perhatianku. Tidak kamu ataupun juga adikmu yang bisa membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama atau membuatku merasa bersyukur karena sudah dijodohkan oleh Kakek. Dan bahkan sampai sekarang, aku tidak pernah mengakui kalau pernikahan itu ada. Jadi jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu selayaknya seorang suami kepada istri."
Dia lalu pergi dengan membawa laptop miliknya setelah sebelumnya berganti pakaian terlebih dulu. Langkah Rama terhenti di ambang pintu.
"Sekali lagi aku tekankan padamu, jangan pernah bersikap seolah-olah kamu ini istriku. Karena aku sama sekali tidak pernah menganggap kalau kamu ada di dalam kehidupanku," ucap Rama tanpa melihat ke arah Kian. Kemudian dia pun pergi begitu saja.
Kian jatuh terperosot di lantai. Mendengar semua keluh kesah yang dirasakan oleh laki-laki itu ternyata benar-benar membuat dirinya lemas. Semua harapan dirinya untuk bisa menjalin hubungan lebih dekat dengan Rama harus pupus sebelum dimulai. Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang?
Tersirat sebuah pemikiran jahat muncul di dalam otak Kian. Apakah dia harus meminta agar hubungan ini diakhiri saja? Karena percuma hubungan ini ada jika Rama sama sekali tidak mau membuka hatinya agar dirinya bisa masuk. Dan percuma juga ikatan pernikahan ini terus ada jika Rama sendiri sudah meyakinkan dirinya jika hubungan ini tidak pernah ada. Walaupun misalnya hubungan ini akan terus berlanjut, apakah akan ada kepastian jika mereka akan bahagia?
Kian menghapus buliran air yang jatuh membasahi pipinya. Dia tau jika ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengannya. Pernikahan ini adalah pernikahan sang kakak yang sama sekali tidak akan berpengaruh kepadanya apapun yang terjadi. Akan tetapi kenapa dengan mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Rama berhasil membuat hatinya sangat sakit?
Dengan lemas, Kian mencoba untuk berdiri. Bahunya masih tampak naik turun dan isak tangis masih terdengar di sana. Saat wanita itu berbalik hendak menutup pintu, dia terkejut karena melihat Kakek Bimo sedang berdiri sambil menatapnya di sana.
"Kakek…"
****
****
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments