"Apa kamu tau? Rama Amarta adalah teman kuliahku." ucap Samir dan lagi-lagi itu membuat Kian terkejut.
"Apa?"
"Kenapa dunia ini jadi terasa sempit sekali," pikir Kian.
"Iya. Jadi Rama adalah teman kuliahku di tahun pertama kami kuliah. Tapi memasuki tahun kedua dia harus pindah kuliah ke luar negeri. Dan sejak saat itu kami benar-benar tak bisa berkomunikasi sama sekali. Dan saat aku melamar bekerja ke perusahaan Amarta's Group, aku baru tau kalau dia sekarang sudah menjadi CEO di perusahaan itu," jelas Samir. Kian mengangguk-angguk sambil meminum kembali minumannya untuk menetralisir rasa terkejutnya.
"Kalau memang kamu adalah teman Rama kenapa tidak hadir di acara pernikahannya?" tanya Kian lagi.
"Aku bekerja di cabang dan bagian lapangan. Pada saat Rama dan Lian menikah, aku sedang meninjau proyek di luar pulau. Jadi aku hanya bisa dapat kabarnya saja."
"Tapi, setidaknya kamu bisa kan menghubungi aku?"
"Kenapa? Kamu kangen sama aku?" tanya Samir menggoda lagi.
"Hmm…" gumam Kian. Samir tersenyum.
"Saat aku pindah keluar kota untuk melanjutkan kuliah, aku sempat mengalami kecelakaan," ujar Samir.
"Apa? Kecelakaan apa? Tapi kamu baik-baik aja kan?" tanya Kian panik. Samir malah tersenyum lagi.
"Kamu benar-benar mengkhawatirkan aku ya?" ucap Samir di sela tawanya.
"Tentu saja. Kenapa hal begini saja harus kamu tanya?" ucap Kian agak memanyunkan bibirnya.
Hubungan di antara Samir dengan Kian memang sangat dekat, berbeda dengan hubungan Samir dengan Lian. Sifat Kian yang baik, ramah, lembut dan juga perasa, membuat cinta di hati Samir terus tumbuh untuk gadis itu.
"Aku baik-baik saja. Hanya kecelakaan motor," jawab Samir tenang.
"Kecelakaan motor?"
"Iya. Motorku mencium mobil di depan hahahahha," ucap Samir lalu tertawa karena merasa lucu menggunakan istilah "mencium". Berbeda dengan Kian yang mengerucutkan bibirnya.
"Iya motorku menabrak mobil. Dan aku sempat dirawat beberapa minggu. Kamu tau apa yang paling aku sesali dari kecelakaan itu? Ponselku hancur bersama simcard di dalamnya. Itulah sebabnya aku tidak bisa menghubungimu, menghubungi Lian, ataupun juga Rama. Aku kehilangan nomor ponsel kalian semua."
Kian akhirnya mengerti kenapa di lima tahun terakhir ini dia sampai kehilangan komunikasi dengan sahabat dekatnya tersebut. Gadis itu terus menatap wajah Samir yang sedang meminum minumannya. Hatinya merasa ngilu membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi kepada laki-laki itu.
Dia tau kalau Samir memiliki rasa kepadanya, akan tetapi bagi Kian sendiri, Samir sudah dia anggap seperti seorang kakak. Segala perhatian yang Kian berikan kepada laki-laki itu semata-mata hanya bentuk kasih sayang seorang adik kepada kakaknya sendiri. Tapi Kian juga tidak mau menjauh dari laki-laki itu walaupun dia sendiri sudah mengatakan padanya kalau dia tidak bisa menerima cinta Samir untuknya. Akan tetapi dia dan Samir saling berjanji bahwa rasa itu tidak akan pernah membuat hubungan diantara mereka merenggang.
"Oh iya, bukankah kamu bilang kalau kamu bekerja di Amarta's Group? Lalu sedang apa kamu di sini di jam kerja seperti ini?" tanya Kian. Dia baru sadar kalau ini masih jam kerja bagi semua karyawan Amarta's Group. Samir melihat jam di tangannya.
"Iya kamu benar. Ini masih jam kerja. Dan aku memang sedang bekerja," jelas Samir membuat Kian mengerutkan dahinya bingung.
"Bekerja?"
"Iya. Aku baru saja selesai melihat proyek terbaru Amarta's Group disini. Tadinya aku mau langsung kembali tapi aku pikir mungkin aku akan menemui Rama terlebih dahulu. Iya, sekalian bertemu dengan Lian juga kan?"
Kian terkejut mendengar ucapan Samir. Jika Samir datang ke rumah Kakek Bimo dan bertemu dengan Rama, itu artinya dia juga akan bertemu dengannya disana dan bukan Lian. Dan Kian yakin seberapa hebatnya pun dia berakting, tetap saja dia tidak akan bisa membohongi Samir.
"Apa kamu akan berkunjung ke rumah Kakek Bimo?" tanya Kian pelan.
"Tidak. Aku tidak berani jika harus langsung datang ke rumah Rama. Mungkin lain kali. Untuk sekarang, aku akan menemui Rama di kantor utama saja," jawab Samir.
Kian menghela nafas mendengar jawaban dari sang sahabat. Setidaknya dirinya memiliki waktu untuk merangkai kata bagaimana menjelaskan semua yang sudah terjadi ini kepada Samir.
"Oh iya, mungkin kapan-kapan aku akan berkunjung ke rumah Paman Lukman. Iya, sekalian meminta izin untuk mengajakmu jalan-jalan juga. Daripada kamu jalan-jalan sendiri seperti ini kan?" goda Samir. Kian tersenyum.
"Masalah apa lagi ini? Jika Samir sampai datang ke rumah Ayah Lukman, dia akan menemukan informasi jika Kian sedang bekerja di luar kota dan tidak lagi tinggal bersama mereka. Aaaaahhh, kenapa hidupku yang jadi ribet gini sih. Sedangkan Lian malah asyik pacaran sama Vicky disana," pikir Kian.
"Baiklah sepertinya aku harus segera ke kantor Amarta's Group. Kalau tidak, Rama pasti sudah keburu pulang. Kamu mau pulang atau masih mau jalan-jalan?" tanya Samir.
"Aku mau langsung pulang saja," jawab Kian seraya melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Iya Samir benar. Suami kakak iparnya itu sebentar lagi memang akan pulang dan dia juga harus segera sampai di rumah, bukan?
"Mau aku antar pulang?"
"Tidak!!!" jawab Kian dengan nada agak tinggi membuat Samir terkejut sekaligus bingung.
"Hmm, maksud aku, aku pulang bareng sopir. Iya dengan sopir," jawab Kian kikuk.
"Oh ok. Baiklah kamu hati-hati ya!"
"Iya. Kamu juga."
Akhirnya kedua insan itu berpisah. Kian dengan segera berjalan ke arah mobilnya sedangkan Samir berjalan ke arah motornya.
***
Tepat pukul tiga sore, Samir sampai di gedung utama perusahaan Amarta's Group. Dia berjalan agak cepat sambil sesekali melihat ke arah jam di tangannya.
"Semoga saja Rama belum pulang," gumam laki-laki itu.
Berbekal kartu identitas karyawan miliknya, Samir tidak mengalami kendala untuk bisa masuk ke dalam gedung tersebut. Saat tiba di lantai paling atas dimana ruangan CEO berada, langkahnya dihentikan oleh sang sekretaris utama.
"Maaf anda mau kemana, Pak?" tanya sekretaris cantik itu.
"Maaf Bu Hana, saya ingin bertemu dengan Pak Rama," jawab Samir. Matanya melihat ke arah name tag yang dipakai wanita itu.
"Tapi Pak Rama…." ucapan sang sekretaris terpotong saat terdengar suara pintu terbuka.
Rama tampak keluar dari ruangan tersebut, bersiap akan pulang.
"Rama…" ucap Samir dan berhasil membuat laki-laki itu menoleh ke arahnya.
Rama memandang Samir dengan tajam. Pikirannya melayang sesaat sampai pada akhirnya dia pun ingat dengan laki-laki di depannya itu.
"Samir…" ucap sang CEO Amarta's Group itu.
"Waw, aku terkesan dengan daya ingatmu. Ternyata tidak pernah berkurang sedikitpun," ucap Samir sambil tersenyum.
"Sialan. Dari dulu aku memang sudah pintar tau?"
"Iya. Iya aku tau."
"Sedang apa kamu disini?" tanya Rama setelah memeluk teman masa kuliahnya itu.
"Aku ingin bertemu dengan CEO tempat aku bekerja sekarang, Pak!" jawab Samir sambil tersenyum. Pandangan Rama seketika tertarik ke arah leher laki-laki itu dimana tergantung name tag dengan keterangan Samir sebagai karyawan Amarta's Group.
"Kamu bekerja di Amarta's Group?" tanya Rama.
****
****
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments