19

Setelah lelah mengelilingi kota, kami berhenti di padang yang di tumbuhi ilalang. Melepaskan lelah menikmatai semilir angin di awal senja.

Ku letakan kepalaku di bahu Yudha yang saat ini duduk di sebelahku. Ku pejamkan mataku dan ku hirup oksigen yang terasa begitu hangat masuk kedalam tubuhku.

"Kirei, kenapa saat bersamamu kurasakan waktu selalu cepat berlalu?"

Aku memilih diam, tak ingin merusak momen ini dengan pembicaraan. Aku enggan membuka mata, takut saat membuka mata ini, semua rasa ini kembali menghilang dan menyisakan luka.

"Aku bahagia, saat ini kamu masih menjadi Kirei-Chan punyaku."

"Yudha, jangan bicara apapun. Aku hanya ingin menikmati binar senja bersamamu, berdua." ucapku tanpa membuka kelopak mataku.

Kurasakan kepala Yudha yang bertumpu di atas kepalaku. Getaran ini sudah ada saat pertama kali aku bertemu Yudha.

Tak ingin ku elakan lagi dan tak ingin lari lagi. Aku akan menerima rasa ini, rasa yang sempat hilang dan kini kembali menyapa.

Tidak, bukan rasa ini yang menghilang. Tapi Tuannya yang menghilang, menghilang dari pandanganku dan menghilang dari jangakauanku. Namun tak pernah menghilang dari hati dan anganku.

Ku buka mataku perlahan dan ku lihat sisa warna jingga di ufuk sana. Sesaat aku tersenyum dan merasa lega, sampai aku teringat akan Bunda.

"Ya ampun. Bunda." ucapku spontan.

"Ada apa Kirei?" tanya Yudha yang terkejut karena sikap spontanku.

"Yudha, ayo pulang. Aku harus nyiapin makan malam buat Bunda." ucapku sambil beranjak dan membereskan ransel dan bajuku.

Yudha ikut bangkit dan mengikuti langkah kakiku yang sedikit berlari. Aku berlari mengejar waktu, begitu sampai toko bunga, tak ada lagi Bunda dan juga karyawan disana.

Hanya bersisa motor Yudha yang terparkir di depan toko Bunga.

"Ya ampun, Bunda sudah pulang." ucapku bingung.

"Yasudah, biar aku antar, ayo." Yudha menaiki motornya.

Menstater motornya dan melaju dengan cepat menembus jalanan senja sore itu. Suara decitan motor Yudha terdengar saat dia mengerem motornya di depan pagar rumah Bunda.

"Yudha makasih ya. Aku masuk dulu." ucapku terburu.

Saat membuka pagar kayu, ku lihat Bunda yang membuka daun pintu rumah kayunya.

"Terry." ucap Bunda sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Membuat hatiku dag dig dug tak menentu.

Yudha ikut turun dan mengikuti langkahku memasuki halaman rumah Bunda. Ku cium tangan bunda takzim saat berhadapan langsung dengan Bunda.

Di susul Yudha yang ikut mencium tangan Bunda.

"Saya Yudha, Tante." ucap Yudha langsung setelah mencium tangan Bunda.

"Maaf, karena pergi sama saya, Terry jadi pulang kesorean." sambung Yudha, bersalah.

"Kalian sudah makan?" tanya Bunda saat melihat wajah Yudha yang sedikit kucel karena kebanyakan bermain denganku.

"Belum, Bunda." jawabku malu dan di susul gelengan kepala dari Yudha.

"Yasudah, ayo masuk. Makan dulu."

"Gak usah, Tante. Saya pamit saja, sudah senja. Tak enak, Tante." ucap Yudha sungkan.

"Karena ini sudah senja saya mau kalian masuk dulu. Tidak baik senja begini di jalan."

Yudha melemparkan pandangannya padaku. Wajahnya menampilkan ekspresi ragu. Lalu kami berdua kembali membuang pandangan ke Bunda.

"Baiklah Tante." ucap Yudha mengalah.

Aku berjalan memasuki rumah dengan debaran jantung yang tak beraturan. Takut Bunda akan marah karena kesalahanku ini.

Rasa bersalah semakin merajai hatiku saat aku melihat beberapa hidangan makan malam sudah tersaji diatas meja makan.

"Ayo, Yudha silahkan duduk. Jangan sungkan." ucap Bunda ramah.

Dengan berjalan lambat aku duduk di sebelah Bunda.

"Terima kasih, Tante." ucap Yudha kembali sungkan.

Ku perhatikan wajah Yudha yang saat ini sedang melahap masakan Bunda. Peluh keringat mengucur dari sudut dahi Yudha, Yudha melahap makanan itu dengan perasaan sungkan. Sesekali Yudha mencuri pandangannya padaku.

"Yudha, kamu tinggal dimana?" tanya Bunda memecahkan keheningan suasana canggung di meja makan malam ini.

"Saya tinggal di jalan dipenegoro, Tante. Kos disana." jawan Yudha, ragu.

"Oh, orang tua kamu tinggal dimana?"

"Orang tua saya sudah berpisah, Tante. Saat ini tinggal di dua kota yang berbeda."

Seketika Bunda melemparkan pandangannya ke aku.

"Kamu punya saudara?" tanya Bunda kembali menyelidik.

"Saya anak tunggal, Tante." jawab Yudha pasrah.

"Kamu kuliah?"

"Iya, satu kampus dengan Terry, Tante."

"Oh ... Saat libur seperti ini kenapa tidak pulang ke tempat orang tua kamu?"

"Saya tidak akrab dengan orang tua saya Tante. Dari kecil saya dirawat sama nenek dan kakek saya, yang saat ini hanya sisa nenek saja, Tante."

"Oh, maafkan Tante ya, Yudha." ucap Bunda dengan senyum penuh arti yang tak bisa aku mengerti.

Selesai melahap makan malam, aku memutuskan untuk naik dan membersihkan diri. Sementara Bunda masih mengobrol ringan dengan Yudha di kursi tamu.

Saat aku selesai mandi, ku dengar suara motor Yudha yang berjalan menjauh. Segera aku berlari keluar balkon dan melihat motor Yudha sudah jauh dari pandangan mataku.

Apa Yudha diusir sama Bunda?

Apa setelah ini Yudha tak akan menemuiku lagi.

Yudha, aku berharap hari-hariku masih bisa terisi bersama kenangan baru denganmu. Bukan lagi terisi hanya dengan angan tentangmu.

Ku baringkan badanku di ayunan jaring yang berada di balkon lantai dua. Ku tatap binar bintang yang menghiasi gelapnya malam.

Aku menganyunkan badanku perlahan, satu kakiku turun menyentuh lantai kayu balkon lantai dua rumah Bunda.

Semilir angin malam kembali menyapa wajahku dengan sejuk yang membawa kedamian dalam hatiku. Aku memejamkan mataku untuk menikmati angin yang menerpa wajahku, membawa helaian rambutku yang menerpa kulit wajahku.

Sebelah kakiku masih terus mengayun tubuhku. Bahkan saat aku menutup kelopak mataku, bayangan Yudha masih terus muncul di pelupuk mataku.

Aku masih terus merindukan sosokmu Yudha. Walaupun satu hari ini aku habiskan bersama denganmu, aku rasa itu tak cukup. Aku masih memerlukan waktu lebih banyak lagi untuk mengukir kenangan bersamamu.

Aku ingin seluruh sisa waktuku ku habiskan bersamamu. Mengukir indah kenangan kita yang akan kita ceritakan pada anak cucu kita nanti.

Bertemu kembali denganmu, menghidupkan kembali angan masa depanku bersamamu. Saat ini kita sudah sama-sama dewasa, aku harap suatu hari nanti kamulah yang berdiri mengimami aku sholat Yudha.

Kamulah lelaki yang berjabat tangan dengan Ayah di depan penghulu. Dan kamu jugalah orang yang menemani setiap malam sepiku.

Mengubah malam dingin ini menjadi hangat karena sikapmu.

"Ehm ... Terry." suara Bunda mengejutkanku.

Ku lihat Bunda sudah berdiri diambang pintu, menyenderkan sebelah bahunyanya di daun pintu dan menyilangkan kedua tangannya di dada.

Bunda pasti marah, Bunda pasti kecewa sama aku. Raut wajah Bunda yang lembut kini menjadi garang.

Ampun Bunda, aku tak akan mengulangi lagi.

"Terry, Bunda rasa..."

"Bunda, maafkan aku. Aku gak akan mengulangi ini lagi." ucapku sambil menundukan pandanganku kebawah.

Ku lihat sepasang kaki Bunda berdiri dihadapanku. Ku dongakan kepalaku, dan ku lihat wajah Bunda yang mulai menggarang.

Terpopuler

Comments

Sriwarni Ponjong

Sriwarni Ponjong

yudha wae pleas

2020-10-04

0

lisa'oOh

lisa'oOh

Pilihan yng sulit yaaa... 🤭

2020-05-04

0

Anna Bundanya ALsyakiyaa

Anna Bundanya ALsyakiyaa

terry please jangan PHPin pak gilang😥

2020-02-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!