Perlahan ponsel yang kutempelkan di telinga kiri terlepas sendiri. Napasku terasa sangat sesak, aku ingat suara ini, suara ini milik Yudha.
"Terry ...!" Suara melengking seorang wanita muda mengejutkanku.
"Percy, kenapa jerit-jerit sih?"
"Kamu kenapa? Ponsel kamu lepas kok gak sadar? Kalau sampai gak aku tangkap tadi gimana?"
Kurebut ponsel dari tangan Percy dan memutuskan panggilan itu. Melemparnya ke atas kasur dan kembali tersenyum sendu.
"Ayo, sarapan. Aku sudah masak tadi," ucapku sambil berjalan menuruni anak tangga.
"Ada apa sih, Ter?" tanya Percy bawel.
"Gak ada apa-apa, Per."
"Kalau gak ada apa-apa, kenapa kamu bengong begitu?"
"Percy, bawel ah," ucapku lembut.
Kutarik kursi di salah satu meja itu dan mulai menyendoki nasi goreng yang kusiapkan tadi. Kenapa Yudha selalu muncul di saat aku yang belum siap akan kehadirannya kembali.
"Ter, kok bengong aja? Gak suka ya tinggal sama Ayah?" tanya Ayah yang mungkin sedari tadi memperhatikan aku.
"Apa sih, Ayah?" jawabku lembut. "Terry gak mungkin berpikir begitu," sambungku dengan menyungging sebuah senyuman.
"Ter, tolong tuangin air, dong!" perintah Percy yang saat ini duduk di sebelahku.
"Percy, berapa kali Bunda bilang, jangan panggil kakak kamu dengan namanya saja."
"Gak apalah, Bunda. Lagian Terry juga gak marah, kan."
"Percy, hormati Terry sebagai kakak kamu!" sambung Ayah tegas.
"Sudahlah, Ayah, Bunda. Biarin saja, suka hati Percy saja. Yang penting dia bahagia." Kuraih rambut helaian blonde milik gadis muda itu, mengelusnya lembut.
Rindu sekali dengan gadis ini, kami jarang sekali bertemu dan tidur di ranjang yang sama. Semenjak orang tua kami berpisah, kami jarang menghabiskan waktu berdua.
Percy memang sangat berbeda denganku, dia tumbuh dengan segala ekspresi yang bebas ia keluarkan. Sifat periang dan cerianya kadang terlalu berlebihan. Sampai Ayah dan Bunda kewalahan menghadapi tingkah Percy.
"Ayah, boleh gak Terry di sini sehari lagi. Terry rindu sama Percy."
"Ya sudah, besok pagi Ayah jemput kamu, ya."
"Ehm, gak usah Ayah. Terry bisa naik bis ke sana."
"Ya sudah terserah kamu saja, Ter," jawab Ayah mengalah.
Setelah sarapan Ayah pamit pulang dan bersamaan dengan Bunda yang berangkat ke toko bungan. Setelah berpisah dengan Ayah, Bunda membangun toko bunga sendiri. Tak terlalu besar memang. Namun, dengan penghasilan itulah Bunda mampu membiayai aku dan Percy.
Memang masih sedikit dibantu dengan Ayah. Namun, Bunda juga berusaha keras untuk kami berdua.
"Percy, aku dengar kamu buat masalah lagi, ya?" tanyaku saat Bunda dan Ayah sudah berangkat dari rumah.
"Haduh, Ter. Kalau cuma mau ceramahi aku kenapa pake alasan kangen segala, sih?" tanya Percy ketus.
"Percy, jangan begini Dek. Kasian Ayah sama Bunda. Kelimpungan sama tingkah kamu."
"Apa mereka kasian sama kita berdua, Ter?" tanya Percy mulai keras.
"Aku tahu ini berat buat kamu, kamu masih terlalu kecil saat mereka berdua pisah. Tapi kalau kamu terus bertingkah seperti ini, kelak kamu hanya akan menghancurkan dirimu sendiri, Percy."
"Ter, gue bosen diceramahi terus!" bentak Percy sambil berlalu menaiki anak tangga menuju lantai dua.
"Per, dengerin aku. Bukan cuma kamu yang ngerasai, aku juga terluka, Percy. Cobalah untuk belajar berpikir dewasa, Percy."
"Apa gue harus kayak elu? Jadi seseorang yang introvert dan selalu senyum. Mau disakiti ataupun dibuat marah juga harus senyum gitu? Terr, gue berhak bahagia, gue sama sekali gak suka hidup begini!"
Braak ....
Percy menutup daun pintu kamar dengan sangat keras. Kuturuni anak tangga itu satu demi satu. Menjatuhkan bokongku di ujung anak tangga terakhir.
Kuhela napas dengan sedikit berat, menyandarkan kepala ke pagar pembatas tangga. Ada sesak yang mulai memasuki rongga dada. Kubiarkan rasa ini semakin menyiksa.
"Aku juga gak bahagia, Per. Tapi harus bagaimana? Kita terjebak oleh situasi ini."
Kembali aku menghela napas panjang. Sebenarnya aku ini kenapa? Kenapa sulit sekali untuk menunjukan ekspresiku pada orang-orang.
Kenyataan ini juga membuat aku menderita, berontak juga tidak bisa. Menahannya juga terlalu menyiksa. Tak ada siapa pun yang mampu menjelaskan. Hanya rasa luka yang terus mendera. Membuat hati-hati yang pernah saling mencinta menjadi patah.
Kubuka pintu depan rumah Bunda dan mencoba mengalihkan perhatian pada tanaman mawar yang ditanam oleh Bunda. Beberapa jenis dan juga warna yang berbeda, membuat suasana di sini menjadi sangat indah, namun, keindahan itu tidak pernah sempurna karena pemiliknya tidak pernah bahagia.
Kusentuh kelopak bunga mawar berwarna putih itu, aroma harum menyeruak menembus kerongga hidung. Dengan membungkukkan badan aku mencoba menikmati harum kelopak itu.
Memejamkan kedua mata untuk menikmati aroma segar dari bunga ini. Sekilas bayangan wajah Yudha kembali merasuki pikiran. Kenapa di saat-saat seperti ini, Yudha selalu muncul menemani anganku. Menikmati suguhan masa depan dengan luka dari masa lalu.
Oh ... Yudha, sebenarnya aku tak pernah benar-benar bisa melepaskan bayanganmu dari dalam angan. Pun tak pernah benar-benar bisa mengusirmu dari mimpi dan juga harapan masa depan.
Kamu masih selalu menemani hari-hariku, bermain bersama anganku, menjadi candu yang selalu kurindui di setiap waktu.
Mungkinkah jika aku mendengarkan penjelasanmu kembali, aku mampu melepaskanmu? Merelakanmu pergi meninggalkan harapanku?
"Terry!" Percy berteriak dari atas balkon lantai dua rumah Bunda.
"Bunda bilang kamu harus ke toko, Bunda ada urusan di luar sebentar " sambungnya dengan suara yang lebih lantang.
"Iya," jawabku lembut.
Kukeluarkan sepeda dari garasi yang dulunya diisi oleh mobil Ayah. Kini hanya ada dua sepeda, milikku dan juga Percy. Tapi mungkin Percy tak akan mau memakainya lagi.
Percy lebih menikmati hidup di rumah Ayah. Ayah adalah salah satu karyawan di Bank Swasta. Jabatan Ayah yang terbilang lumayan baik, membuat kehidupan Ayah lebih baik dari pada Bunda.
Kukayuh sepeda menuju toko bunga milik Bunda. Berjarak satu kilo meter dari rumah sederhana itu. Memarkirkan sepeda di samping toko bunga Bunda, tanpa menginjak tanaman bunga di halaman toko bunga ini.
Mataku teralih pada plang nama toko bunga Bunda yang mulai usang dihantam hujan dan panas matahari. Kasihan Bunda, pasti sibuk sekali mengurus semua ini sendiri.
Pintu kaca toko bunga Bunda terbuka, aku mendekati Bunda yang sedang memberikan arahan ke dua orang karyawannya.
"Ter, kamu sudah datang?" tanya Bunda lembut.
"Ada apa, Bunda?" tanyaku saat melihat ekspresi Bunda yang agak mencurigakan.
"Gak ada apa-apa, Sayang. Bunda pamit dulu, ya."
Ku perhatikan punggung Bunda yang pergi menjauh dari toko bunga. Sesaat aku memalingkan pandangan, menatap ke arah dua orang karyawan Bunda.
"Ada apa sih, Mbak?" tanyaku pada mereka berdua.
"Gak ada apa-apa kok, Ter," jawab mbak Rini, karyawan yang menemani Bunda selama empat tahun ini.
"Gak mungkin gak ada apa-apa, tapi wajah Bunda terlihat sedih."
Aku menajamkan tatapan, terlihat keringat mulai membanjiri pelipis mata mereka.
"Itu, Ter. Sebenarnya toko beberapa minggu ini sepi, dan Bu Nadia bingung untuk bayar sewa toko dan keperluan lainnya," sambung mbak Rini.
Kuhela napas berat, menjatuhkan bokongku ke deretan kursi di tengah toko Bunda. Ya ampun Bunda, kenapa gak pernah bilang sama aku sih?
Kenapa Bunda tak pernah ingin mengucapkan apa pun pada kami. Menahan semuanya sendiri, dan akhirnya kebingungan sendiri.
Kutumpuhkan siku di atas meja stainles yang biasa dipakai untuk merangkai bunga. Melihat ke arah jajaran bunga-bunga segar yang tersusun rapi di depan kaca atas display.
Bagaimana aku harus membantu Bunda? Aku tak tega saat melihat Bunda kesulitan seperti ini.
Memang setelah beberapa waktu aku di sini, toko terlihat sepi. Tak ada satu pun yang singgah setelah sejam berlalu.
"Mbak Rini, mbak Eva. Tolong rangkai bunga dalam buket-buket kecil, deh." Akhirnya aku mencoba, melakukan ide yang terlintas begitu saja.
"Mau bunga apa, Ter?" tanya mbak Eva.
"Rangkai apa aja yang cantik. Kombinasi beberapa warna yang menarik."
"Buat apa, Ter?" tanya Mbak Rini penasaran.
"Aku akan jual keliling, Mbak."
"Jangan, Ter, nanti kalau Bu Nadia tahu bisa marah."
"Sudah. Kalau Bunda marah, biar aku yang jelasin."
"Tapi, Ter."
"Mbak."
Gadis yang lebih dari tua dariku itu menghela napas, ia mengalah dan menganggukan kepala.
Dua gadis itu mulai membuat beberapa buket bunga dengan kombinasi warna yang menarik. Kuambil semua buket itu dan memasukan ke keranjang sepeda
Aku mulai mengkayuh pedal itu perlahan, sesekali suara serak ini kupaksa keluar, menjeritkan dagangan. Berhenti di bibir taman dan kembali berteriak lantang.
Berjam-jam aku berdiri di pinggir taman, namun, satu buket pun belum terjual. Ternyata, sesulit inikah mencari rupiah?
Punggung tangan menghapus peluh keringat di dahi, beberapa kali menghela napas panjang karena lelah dan juga putus asa.
Jika mengingat Bunda, bagaimana wajahnya yang kebingungan tadi. Aku tidak tega, kenapa Bunda? Bunda menahan semuanya sendiri?
"Mbak, satu buket bunga, ya," pinta seseorang dari arah belakang. Seketika senyumku melebar, sedikit titik terang mulai ada.
"Iya, mau yang mana, Mas?" tanyaku semangat, tanpa melihat siapa pemilik suara itu.
"Terry."
Kupalingkan mata saat lelaki itu memanggil namaku dengan sangat lembut. Aku tersenyum kaku, kenapa bisa bertemu dia di sini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Yanti
pasti yudha dech, pembeli bunga itu.. 🤔🤔
2023-07-28
0
Nelwi Guswarni
bokong terus
2020-06-10
1
Anna Bundanya ALsyakiyaa
😭😭
2020-02-03
0