06

"Maaf aku gak jadi buat plang disini." ucapku sambil berjalan keluar dari toko itu.

"Ter, tunggu." Yudha mengejarku dan memegang setang sepedaku untuk tidak pergi menjauh.

"Kamu jangan terus lari saat bertemu denganku, Terry." ucap Yudha sendu.

"Kamu lari saat melihat aku. Aku tahu aku salah, tapi aku mohon Terry, kasih aku satu kali kesempatan untuk jelasin ke kamu."

Ku hela nafas panjang dan ku tatap wajah Yudha.

"Yudha, aku mohon. Lepasin aku."

"Terry, kenapa kamu sama sekali gak mau kasih aku kesempatan untuk jelasi?"

"Buat apa? buat apa lagi di jelasin? sudah berlalu kan? yasudah!" nadaku sedikit meninggi saat berbicara dengan Yudha.

Entah kenapa, lagi-lagi Yudha yang mampu mencairkan hatiku. Saat bersamanya ada perasaan ingin marah dan melepaskan segala ekpresiku.

"Yasudah, kalau gitu jangan batalin orderan ya. Ini pekerjaan aku, nanti aku bisa kena penalti kalau kamu batalin orderan."

"Maaf, Yudha."

"Terry ... Terry, aku mohon, kamu yang bilang anggap saja kita tak saling kenal. Kalau begitu sekarang kamu datang sebagai costumer aku, kan."

Ku tatap wajah Yudha yang menampilkan wajah penuh harapnya. Lagian ini juga sudah malam, kalau aku mau pindah tempat, aku harus menunggu besok.

Besok aku sudah harus ketempat Ayah. Huft ... Ku hela nafas panjang dan ku lihat lagi wajah Yudha.

Aku mengangguk dan kembali masuk.

Aku duduk di sebelah Yudha untuk menjelaskan rincinya. Yudha menatapku serius dengan mata tajamnya itu, sesaat mata kami saling bertemu.

Entah kenapa, saat melihat mata Yudha getaran dalam hatiku kembali hidup. Ada rasa hangat yang kembali muncul saat memandang Yudha dari jarak dekat.

Ku tulis nama untuk toko bunga Bunda, dan ku catat beberapa permintaanku. Terasa tangan Yudha menyentuh kulit tanganku, ku geser perlahan tanganku yang bersebelahan dengan jemari Yudha yang saat ini memegang mouse komputer.

Ku lirik jam di tanganku, ini sudah hampir satu jam. Lebih dari ini Bunda akan khawatir. Aku memutuskan untuk kembali, meminta Yudha untuk mengirim hasil akhir desainnya sebelum benar-benar di buat.

Ku dorong sepedaku, menjauh dari parkiran toko percetakan itu.

"Terry." Yudha menyusulku dengan sedikit berlari

Ku lihat rambut Yudha yang sedikit panjang jatuh menutupi sudut matanya. Kembali aku menundukan pandanganku, sedikit tersipu aku melihat wajah Yudha yang saat ini sudah menjadi dewasa.

"Aku antar, ya?"

"Gak perlu, aku bawa sepeda."

"Aku bisa ikuti kamu dari belakang."

"Gak perlu, Yudha." ucapku ketus.

Yudha hanya mengangguk dan menampilkan ekspresi sendu. Namun tangannya belum melepaskan pegangannya pada jok sepedaku.

"Kalau gitu naik, biar aku antar kamu naik sepeda." Yudha menaiki jok sepedaku. Badan besarnya yang bidang terlihat lucu saat menaiki sepeda milikku.

"Ayo naik." perintah Yudha.

Aku berjalan melewati sepedaku, jika dia mau silahkan bawa pulang.

Yudha mengkayuh sepedanya, menyamaiku dan menarik pergelangan tanganku.

"Suka banget sih ninggalin barang ke orang."

"Kalau kamu suka, ambil saja!"

"Terry." ucap Yudha lembut. "Aku cuma niat anterin kamu."

"Yudha aku mohon..." ku lihat Yudha menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Ku hela nafas panjang.

"Tapi janji jangan bahas apapun tentang masa lalu."

"Siap, Boss." ucap Yudha sambil membuat tangannya hormat.

Ku naiki boncengan sepeda itu, ku genggam kedua ujung baju Yudha. Perlahan wajahku kembali memerah muda, untuk sekian lamanya, kini rasa itu kembali muncul.

"Bukannya kamu harus kerja ya, Yud?" tanyaku saat Yudha mulai mengkayuh sepedaku perlahan.

"Sekarang aku bekerja sebagai supir kamu, ini sedang bekerja."

Aku tersenyum dan menggelengkan kepalaku, Yudha menarik satu tanganku agar melingkari pinggangnya. Dengan cepat aku menarik tanganku.

"Aku mau ngebut, kamu nanti jatuh, loh." ucap Yudha sambil mengkayuh pedal sepeda kuat-kuat.

Modus banget sih, sekencangnya sepeda seperti apa sih? tak mungkin secepat pesawat, apalagi sepeda ini di naiki berdua.

Kembali Yudha menarik tanganku, kini jemarinya menggenggam jemariku. Memaksa aku agar melingkari pinggannya.

"Stop..." ucapku ketus.

"Baiklah." ucap Yudha sambil melepaskan genggamannya.

Jemariku kembali menggenggam ujung baju Yudha. Sebenarnya agak ngerih juga, namun aku tak ingin rasa ini kembali menumbuh dengan subur.

Jujur saat ini aku sangat merasa bahagia, saat ini sama persis seperti lima tahun yang lalu. Saat aku dan Yudha bolos berdua, kala itu Yudha memakai sepeda BMX dan aku berdiri di pijakan belakang.

Memegang bahu Yudha erat agar tak jatuh ke belakang. Andai waktu itu kembali terulang, Yudha.

Ku lihat punggung bahu Yudha yang saat ini lebih besar dari dulu. Badannya menjadi bidang dengan tinggi badan yang proposional.

Bolehkah aku kembali mencintaimu, Yudha? bolehkah aku kembali merasakan kisah itu terulang kembali?

Tanpa sadar aku tersenyum kembali, kini senyumku melebar sampai membuat kedua mataku menyipit. Getaran itu kembali hidup dalam diriku. Hawa hangat mulai menjalar bersama dengan peredaran darahku.

Sungguh Yudha, kehadiranmu membuat benteng pertahananku hancur. Aku melewati ribuan malam untuk melupakanmu, tapi kenapa? hanya satu malam saja aku kembali pada angan tentangmu.

Baru setengah perjalanan, ku dengar suara nafas Yudha yang mulai terengah-engah. Bagaimana tidak, sepeda ini terlalu pendek untuk dinaiki nya.

"Lelah?" tanyaku meledek.

"Tidak selelah saat aku mengejarmu, Terry." jawab Yudha dengan nafas terengahnya.

Aku hanya kembali tersenyum dan merona. Kenapa kamu begitu curang Yudha? kenapa kamu tak membiarkan aku untuk tetap menyimpanmu hanya dalam hatiku saja.

"Terry..."

"Hem."

"Kamu berubah."

"Setiap orang harus berubah, Yudha."

"Tapi hatiku tak pernah berubah, Terry."

"Yudha, aku mohon."

"Aku tidak membahas masa lalu Terry, aku membahas saat ini."

"Yudha." ucapku menekan.

"Kamu bukan Terry yang ku kenal dulu, kamu Terry yang berbeda."

"Yudha, berhenti." perintahku keras.

"Jika bukan sekarang kapan lagi? kapan lagi aku bisa bertemu dan sedekat ini dengan kamu, Ter?" ucap Yudha sedikit berteriak.

"Aku mengejarmu, namun kamu terus berlari menjauh." sambungnya kembali lembut.

"Aku kembali kesini untukmu, Terry."

"Aku tak pernah ingin melihat kamu kembali, Yudha."

Sejenak kami saling terdiam, ku lihat Yudha menundukan wajahnya. Kayuhannya mulai melemah, mungkin lelah atau mungkin kakinya lemas karena ucapanku.

"Kirei..."

"Yudha, jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi."

"Kirei, aku akan tetap memanggilmu dengan nama itu sampai kapanpun."

"Stop, Yudha. Ku bilang berhenti!" ucapku sedikit berteriak.

Namun seperti tak mendengar ucapanku, Yudha masih terus mengkayuh sepedaku. Karena sepeda tak berjalan dengan kencang. Aku memberanikan diri untuk melompat.

Tak ku kira, heels sepatuku miring dan membuatku oleng.

Brugh

Aku mendarat di aspal kasar.

"Kirei..." Yudha membanting sepedaku dan mendekat kearahku.

Memapah badanku dan mendudukan aku di kursi panjang yang berada di bibir jalan.

Yudha berlutut di hadapanku dan memerika lututku yang berdarah karena bergesekan dengan aspal.

"Aku cari obat dulu ya, aku mohon tunggulah disini." ucap Yudha panik.

Yudha berlari ke ujung jalan, kenapa aku bisa seceroboh ini. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan, namun sepertinya pergelangan kakiku terkilir.

Terpaksa aku kembali duduk, karena nyeri di pergelangan kakiku sangat menyakitkan. Menunggu Yudha dengan sabar.

Yudha, dia tumbuh menjadi lelaki dewasa dan semakin hangat saat ini. Yudha memang tak pernah berubah, masih sama seperti dulu. Keras kepala pada keinginannya, lembut namun kadang sangat tegas, dan satu yang selalu aku ingat.

Yudha seorang lelaki yang sangat mengerti isi hatiku. Aku gak pernah menceritakan apapun, namun Yudha seperti bisa membaca situasiku. Karena itu aku sama sekali tak bisa menggantikan Yudha.

Tak ada lelaki yang mampu memahami hatiku lebih dari Yudha.

Tak lama Yudha kembali, bersama peluh keringat yang membanjiri dahinya. Seperti tak peduli pada lelahnya, Yudha langsung berlutut di hadapanku dan membersihkan luka di salah satu lututku.

"Tangan kamu gak apa-apa, Kirei?" tanyanya sambil membolak-balik telapak tanganku.

Yudha membuka plaster dan menempelkannya pada lututku. Ku lihat pucuk kepala Yudha yang saat ini sedang menunduk untuk memngobati kakiku.

Tanpa sadar aku meraih rambut hitam lebat milik Yudha, mengelusnya lembut. Rindu sekali, rindu sekali pada rambut ini.

"Kirei..." panggil Yudha lembut.

"Kamu juga masih sangat merindukan aku kan?"

Terpopuler

Comments

Yanti

Yanti

iiihhh bahagianya..... seneng dech mereka kembali lagi

2023-07-28

0

Jingga Annida

Jingga Annida

oh noo....

2020-04-10

0

Senja Restami

Senja Restami

yudha

2019-11-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!