Ku tarik jemariku yang sedari tadi meraih rambut hitam lebat milik Yudha.
"Kenapa Kirei?" tanya Yudha kembali menyadarkan aku.
"Kamu terkejut karena ucapanku, benar kan?"
Yudha melepaskan sepatu heels boot yang aku kenakan.
"Pergelangan kaki kamu terkilir, Kirei."
"Yudha, aku mohon jangan panggil aku seperti itu."
"Kenapa? kamu masih tak mampu mengendalikan dirimu saat aku memanggilmu, Kirei?" Yudha mendongakan kepalanya, melihatku dengan mata tajamnya itu.
"Masa itu udah berlalu, Yudha. Aku mohon, jangan ingatkan aku lagi tentang masa lalu kita."
Yudha seperti tak mendengar ucapanku, ia mengurut pelan pergelangan kakiku. Sampai rasa nyeri itu sedikit berkurang.
"Kirei, kita pulang, yuk. Ini sudah malam."
Yudha melepaskan jaketnya dan memberikannya padaku.
Aku menolak jaket itu lembut, Yudha hanya menghela nafas dan menenteng jaketnya di lengan tangannyanya.
Sedikit pincang, aku berjalan menuju boncengan sepedaku. Perlahan aku menduduki boncengan, Yudha memakaikan jaketnya ke aku. Seketika aku membuang pandanganku, namun Yudha seperti tak ingin berdebat. Dia hanya membuang pandangannya, berusaha untuk tidak menatap mataku.
Perlahan Yudha mengkayuh kembali pedal sepedaku, sepatu heels boot ku di taruhnya di keranjang sepeda. Disisa perjalanan Yudha lebih banyak diam dan tak membuka suara.
"Stop." ucapku spontan.
"Ada apa Kirei?"
"Cukup, sampai disini saja." aku turun dari boncengan dan memegang setang sepedaku.
"Tapi ini masih agak jauh."
"Aku bisa pulang sendiri, makasih sudah mengantarku pulang."
"Tapi kamu lagi terluka, Kirei."
"Yudha, tolong." ucapku sedikit kesal.
"Maaf Kirei kalau aku terlalu memaksa kamu. Tapi sekali lagi, aku mohon, izinkan aku mengantar kamu sampai depan rumahmu, setelah ini aku tidak akan memaksamu lagi."
Ku hela nafasku berat, ku pandang wajah Yudha sendu. Kembali aku menaiki boncengan sepeda itu. Kali ini aku berharap bahwa Yudha serius dengan kata-katanya.
Yudha memberhentikan sepedaku di depan pagar kayu rumah Bunda. Yudha menatap rumah Bunda dengan binar mata yang sendu.
"Udah lama gak lihat rumah ini ya, Kirei."
"Kamu balik naik apa, Yudha?"
Yudha tersenyum dan mendorong sepedaku memasuki halaman rumah.
"Jangan khawatir soal aku, kamu istirahat ya." ucap Yudha sambil meraih pucuk kepalaku.
Yudha berjalan meninggalkan pagar rumahku dengan langkah besarnya.
"Yudha." panggilku lembut.
Yudha membalikan badannya dan kembali berjalan mendekat. Ku lepaskan jaket Yudha dan ku serahkan padanya.
"Gak usah, Kirei. Untuk menggantikan novelmu yang aku bawa."
"Aku gak suka jaket pria, jadi ambil saja." aku menyodorkannya ke Yudha.
Yudha kembali tersenyum, merapikan rambutku yang sedikit berantakan. Tanpa mengambil jaketnya dia berlalu pergi dengan cepat.
Ku hela nafas panjang saat melihat Yudha berjalan menjauh dari halaman rumah Bunda. Ku ambil sepatuku dari keranjang dan mulai memasuki pintu rumah Bunda.
Dengan sedikit terpincang aku menaiki anak tangga lantai dua. Ku lempar bokongku di ayunan jaring yang ada di balkon. Perlahan aku merebahkan badanku, menatap bintang-bintang dari atas balkon lantai dua.
****
"Hai ... Aku Yudha." anak lelaki itu menjulurkan tangannya saat berada bersebarangan meja denganku.
"Terry." jawabku dengan sedikit senyum kaku.
Yudha melemparkan bokongnya di kursi kosong sebelah tempat aku duduk. Ini hari pertama aku masuk ke sekolah menengah pertama. Aku malah di pasangkan dengan seorang lelaki.
"Tapi menurut aku nama kamu gak cocok deh kalau, Terry." ucapnya sambil meletakan satu siku di atas meja, wajahnya memandangku dengan senyum yang merekah lebar.
Kunaiki sebelah alis mataku, bingung dengan ucapan lelaki yang baru aku kenal ini.
"Maksud kamu?" tanyaku bingung.
"Cocoknya nama kamu, Kirei?"
"Kirei?"
"Kirei si cantik dari Jepang."
Aku menggulum senyum saat mendengar ucapan Yudha. Anak lelaki yang baru sehari memakai seragam putih biru ini sudah mulai belajar merayu.
Setelah hari itu, aku dan Yudha semakin dekat, hampir setiap saat kami berdua selalu bersama. Dimana ada aku, maka disitu juga ada Yudha.
Berawal dari sahabat karib yang berujung pada jatuh cinta dan pacaran. Ya, walaupun cinta itu hanya sekedar cinta monyet, dan gaya pacaran khas anak kecil. Terkadang saat berpegangan tangan saja pun tak berani.
Apalagi saat ketahuan teman-teman sedang bercanda berdua, di ledekin yang bikin aku malu setengah mati.
Hari-hari itu terasa sangat indah, dimana setiap saat aku bisa tertawa, aku bisa marah dan juga merajuk. Bisa nangis saat sedih.
Yudha, selain dia aku tak pernah dekat dengan teman yang lainnya. Hanya sekedar berteman saja, saat itu kehilangan Yudha seperti kehilangan seluruh duniaku.
Aku pikir, aku bisa menikmati masa putih abu-abu ku sama indahnya dengan masa putih biruku. Tapi trauma luka masa lalu itu membuat aku menjadi kaku. Dingin tak berbentuk.
Di tambah saat Ayah yang pergi meninggalkan Bunda. Seperti semuanya terasa begitu sangat menyesak di dadaku. Aku seperti takut kalau berkenalan dengan lelaki, terkadang aku grogi di saat berbicara berdua dengan lelaki.
"Terry." panggilan suara Bunda harus mengakhiri perjalan awal jumpa aku dan Yudha.
Aku beranjak dari baringanku dan ingin turun. Namun Bunda lebih dulu naik menyusulku.
"Kamu udah pulang, Sayang?"
"Iya, Bunda."
"Kaki kamu kenapa Terry?" ucap Bunda saat melihat lututku yang terplaster.
"Tadi Terry jatuh, Bun." ucapku sambil menunduk dan mengigit bibir bawahku.
"Tapi kamu gak apa-apa kan?" tanya Bunda sambil memeriksa seluruh kulitku.
Aku hanya menggeleng pasrah, Bunda memandangku dengan wajah sedihnya.
"Yaudah istirahat gih, tutup pintu balkonnya, nanti kamu masuk angin."
Bunda turun dari lantai dua, ku ikuti langkah kaki Bunda sambil masuk kekamarku. Ku lihat Percy yang asyik senyum-senyum sendiri dengan gawainya.
Ku intip sedikit layar ponselnya, Chat yang bisa di bilang mesra dengan seseorang yang berada di ujung sana.
"Echem." dehemku kuat. Percy langsung membalikan badan dan menatapku dengan tajam.
"Terry, kamu pasti lihat chat aku kan?" tanya Percy kesal.
"Lihat." ucapku sambil menyilangkan kedua tanganku di dada.
"Terry gak sopan tahu gak?" ucap Percy sedikit berteriak.
"Percy, jika kamu pacaran hanya untuk menjadikanmu nakal. Tinggalkan dia."
"Apa urusanmu, Terr? jangan karena kamu kaku, aku juga harus jadi kaku kayak kamu." ucap Percy sambil berjalan keluar kamar.
Ku hela nafas panjang dan duduk di bibir ranjang. Aku ini kenapa? hanya karena aku tak bisa melupakan cinta pertamaku, aku malah menyuruh Percy untuk melupakan cintanya.
Saat ini kamu mengatakan hidup aku kaku, Percy. Aku harap kamu tak akan kehilangan cinta yang akan merubah duniamu menjadi kaku seperti aku.
Suara rintihan burung-burung yang hinggap di pepohonan rimbun taman Bunda mulai berkiacau merdu. Aku meraih ponselku dan melihat jam yang tertera di layar ponsel.
Aku mulai bangkit dan melakukan tugas pagi yang biasa aku lakukan. Selesai sarapan aku berpamitan dengan Bunda dan Percy untuk berangkat kerumah Ayah.
Aku berjalan menuju helte bis di ujung gang. Namun akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kaki saja. Aku lupa menanyakan biaya plang semalam.
Uang yang saat ini aku pegang mungkin tidak cukup. Untuk menghemat pengeluaran, aku memilih berjalan kaki kerumah Ayah.
Minggu pagi, banyak orang-orang yang beraktifitas tanpa kendaraan bermotor. Sekedar lari pagi ataupun bersepeda. Udara terasa masih sangat segar, dengan sedikit terpincang aku berjalan santai.
Sebuah mobil berhenti di sampingku, mobil itu membuka kaca mobilnya.
"Terry, mau kemana?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Yanti
siapa ya🤔🤔
2023-07-28
0
Rahima Maryati
kenapa dulu pergi tanpa penjelasan... ngak ada kabar lg..
2019-11-26
0