"Terry, itu tadi siapa?" tanya Tantri menyelidik.
Aku hanya mengendikkan bahu, tersenyum dan berjalan menjauh dari kantin.
"Ter, kamu kenal?" tanya Tantri lagi.
"Enggak, Tantri," jawabku lembut.
"Tapi yang dibawa dia tadi novel kamu, kan?"
"Iya."
"Kamu kok masih santai saja sih? Marah kek, dia kan udah ambil punya kamu."
Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Bukan itu masalahnya Tantri, bukan hanya novel saja yang diambil olehnya, namun, juga sebagian hati, dan juga sebagian kisah ini. Sebagian cinta yang berujung pada luka.
"Terry!"
"Hem."
"Kamu ini, ih ... cuma senyum aja, selain senyum wajah kamu itu tanpa ekspresi, ya, Ter. Marah senyum, sedih juga senyum. Semua senyum," ucap Tantri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sedang aku, hanya bisa kembali tersenyum dan menggeleng, memang tak ada lagi yang bisa kutunjukan selain senyum palsu ini. Segala ekspresiku telah lenyap bersama waktu, kenangan indah itu yang disulap menjadi duka tanpa warna. Membawa segala yang indah, menjadi sesuatu yang sangat menyiksa.
"Terry ...."
"Apa sih, Tantri?"
"Keluarin ekspresi lo dong. Ih ... dingin banget sih jadi cewek."
"Udah lah, Tant. Gak usah dibahas. Pulang aja yuk!"
Dengan sedikit kesal Tantri mengikuti langkah kakiku. Berjalan keluar gerbang kampus dan menunggu bis arah rumah kami datang.
Tantri melambaikan tangannya saat ia menaiki bis terlebih dahulu. Aku membalasanya, tersenyum dengan helaan napas panjang. Biarkan setiap orang hanya melihat senyum ini, aku tak ingin siapa pun tahu tentang luka ini.
Menyimpannya sendiri, menikmati setiap sayatan yang membuat luka seakan tak pernah tersudah.
Sebuah motor sport berhenti di depan halte tempat terduduk. Lelaki itu menaiki kaca helm full facenya, matanya menatap tajam ke arahku.
Tanpa melihat wajahnya, aku tahu mata elang itu milik siapa. Bersamaan dengan lelaki itu semakin mendekat, bis yang kutunggu muncul. Cepat aku berjalan menaiki bis, namun, lelaki itu menarik pergelangan tanganku.
Memaksa tubuh ini kembali turun dari ambang pintu bis.
"Yudha, sadar gak sih, kamu bahayain nyawa aku!" ucapku sedikit berteriak.
"Aku akan antar kamu, ya." Lelaki itu meraih kedua bahuku, mencoba menautkan dua binar mata ini.
"Makasih, Yudha, tapi aku bisa pulang sendiri." Aku melepaskan pegangan tangan Yudha. Berjalan menjauh agar lelaki beralis tebal itu tak lagi mendekat.
"Terry," panggil Yudha sedikit berteriak.
"Terry, dengarin aku." Yudha berlari mengejar langkahku, menarik pergelangan tangan ini.
"Terry, kasih aku kesempatan buat jelasin sama kamu." Kembali lelaki dewasa itu meraih kedua pucuk bahuku.
"Terry, aku--"
"Yudha, kisah kita hanya terjadi saat masa remaja, kan?" tanyaku memutuskan kalimatnya.
"Sekarang kita udah sama-sama dewasa. Jadi anggap kita gak saling kenal, ya." Kembali kuturunkan pegangan tangan Yudha di ujung bahu.
"Novel itu, anggap saja hadiah terakhir dari pertemuan kita," sambungku.
Perlahan aku menjauh dari tempat Yudha berdiri dan terpaku. Sebenarnya aku juga masih sangat ingin mendengarkan penjelasanmu, Yudha.
Akan tetapi, aku belum siap menerima kenyataan yang akan keluar dari dalam bibirmu. Saat ini semuanya sudah sangat buruk, jangan buat semuanya semakin memburuk.
Kustop sebuah ojek yang saat itu sedang melintas, kembali memalingkan wajah ke arah Yudha berdiri tadi. Namun, tak kulihat lagi bayangan lelaki berjaket kulit itu di sana.
Memang seperti itu kamu, Yudha. Kalau kamu ingin, kamu akan muncul. Saat kamu ingin pergi, maka kamu akan menghilang dengan segala kemisteriusan.
Kamu terlalu sulit untuk aku tebak, Yudha. Banyak pertanyaan dalam pikiran yang ingin aku ajukan padamu. Namun, seperti ada sesuatu yang terus membuat aku selalu menarik diri saat menatap matamu.
Mata yang selalu aku rindui, hangatnya tatapan mata itu kini hanya membawa getaran yang membuat seluruh tubuh ini mengigil. Terlalu banyak makna dalam matamu yang tak mampu lagi aku artikan. Sama seperti kembalinya hadirmu di hadapanku, yang tak pernah aku inginkan.
Yudha, nama itu yang selalu terukir dalam masa laluku. Walau aku pernah berharap nama itu juga yang ada di masa depanku kelak. Namun saat ini, hanya dengan menatap matamu saja membuat aku kembali pada luka masa lalu kita.
Kubuka pintu pagar kayu rumah bunda, mengucapkan salam dan langsung menaiki lantai dua rumah Bunda. Saat ini, wanita yang telah melahirkanku itu pasti sedang berada di toko bunga.
Rumah Bunda bukan rumah mewah, hanya rumah kayu bernuansa klasik. Namun, aku nyaman tinggal di sini. Banyak tanaman berbagai jenis bunga dan pepohonan hijau.
Rumah kecil di tengah hamparan warna-warni taman bunga dan hijau pepohonan. Sejuk, tenang, dan sangay nyaman.
Kulempar tas di di atas kasur, merebahkan badan ini di atas kasur. Menatap langit-langit kamar. Sejenak mataku terpejam, menghilang dibawa oleh kelelahan. Penat hati dan juga pikiran.
Sampai sebuah deringan telepon masuk kedalam ponsel. Menyadarkan dari alam bawah sadar. Kulihat layar ponsel itu, sebuah nomor tanpa nama. Asing.
Kembali aku lempar ponsel itu ke atas kasur. Lalu segera kekamar mandi.
Kusiapkan beberapa hidangan di atas meja makan sederhana ini. Sembari menunggu Bunda pulang, aku membereskan beberapa bufet yang berdebu.
"Assalamualaikum." Suara yang selalu aku dengar di penghujung senja.
"Waalaikum salam, Bunda." Aku berlari mencium tangan Bunda, takzim.
"Masak apa, Sayang? Dari aromanya saja udah buat Bunda lapar," ucap Bunda sambil mengelus pipiku.
"Ya sudah, kalau Bunda lapar, kita langsung makan, ya." Kuraih tas yang Bunda genggam dan meletakannya di kamar.
Kami saling menikmati makan malam berdua. Hening, terkadang tanpa pembahasan, pun candaan. Selalu, suasana seperti ini yang hadir di dalam rumah mungil ini. Bunda dan Ayah sudah berpisah dari empat tahun yang lalu.
Itu juga yang menjadi salah satu penyebab karakter aku terbentuk selerti ini. Menjadi seorang gadis yang introvert dan tak banyak bergaul. Selalu menghabiskan weekend di rumah dan mengurus taman.
Aku yang tanpa ekpresi, terkadang hanya menatap datar dan lebih sering mengumbar senyum palsu. Aku tak ingin Bunda terluka, aku tahu perpisahan ini bukan hanya berat untukku dan adikku. Namun juga buat Bunda.
Aku tak pernah tahu alasan kenapa Bunda berpisah, tapi saat ini Ayah dan Bunda masih sama-sama sendiri. Aku tak mengerti apa yang salah, kenapa jalan ini yang mereka ambil. Namun, di balik itu semua, aku menghormati keputusan Ayah dan Bunda.
Walau sempat sedih sampai membuat aku depresi. Perpisahan Bunda dan Ayah hampir membuat aku dan adikku kabur dari rumah.
Ayah dan Bunda tak pernah terlihat bertengkar sebelumnya, keputusan perpisahan mereka benar-benar membuat kami berdua terkejut dan berharap ini hanya mimpi buruk saja.
"Terry."
"Iya, Bunda."
"Kamu udah siap-siap, Sayang?"
"Oh iya, besok pagi Ayah jemput ya, Bunda. Terry lupa."
"Sebenarnya Bunda lebih suka kalau anak-anak Bunda di sini bersama Bunda, tapi Bunda gak boleh egois, ya."
"Hanya sebulan, Bunda," ucapku lembut.
"Adik kamu itu lebih sering buat Bunda pusing, Ter. Bunda tahu ini kesalahan Bunda dan Ayah, tapi Bunda juga ...." Bunda memegang dahinya, seperti ingin berbicara, namun, enggan.
Kuraih jemari Bunda yang ia letakan di atas meja makan. Kusungging sebuah senyuman ketika Bunda mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Bunda ... Terry tahu, Bunda sama Ayah punya alasan sendiri, kan. Walaupun Terry gak tahu apa masalahnya, tapi Terry memahami keadan Bunda sama Ayah."
"Makasih, ya, Ter, kamu anak Bunda yang paling bisa Bunda banggakan. Maafkan Bunda sama Ayah ya, Sayang," ucap Bunda sambil menghapus sudut matanya.
Kupeluk badan Bunda erat, sebenarnya aku lebih nyaman tinggal di rumah sederhana ini, di bandingkan rumah beton milik Ayah.
Akan tetapi, jika aku tak ingin bertukar tempat, maka itu tak adil buat adikku. Memang semenjak Ayah dan Bunda berpisah, aku dan adikku harus bertukar tempat sebulan sekali, agar bisa mendapatkan kasih sayang yang lengkap.
Memang tak mudah, namun, perlahan aku terbiasa. Ini semua berat buat adikku, saat dia masih berumur sebelas tahun orangtua kami berpisah.
Adikku memang tumbuh berantakan, suka buat masalah dan mencari perhatian orang lain. Namun, menurut aku, tak sepenuhnya juga ia bersalah. Ia masih terlalu kecil, sulit untuknya memahami ini semua.
Kubereskan keperluan kuliah untuk pindah besok. Karena sering berpindah begini, aku dan adikku menyimpan baju dan barang kami di dua tempat.
Kutata semangkuk besar nasi goreng, beberapa potong telur dadar dan sambal goreng di atas meja kayu sederhana milik Bunda.
Setelah tersusun rapi, kususuli Bunda yang berada di taman belakang, wanita itu sedang asyik mengurusi anggrek-anggrek miliknya.
"Bunda," panggilku lembut.
"Iya, Ter."
"Sarapan udah siap, mau sarapan?"
"Adik dan Ayahmu sudah datang, Ter?"
"Belum."
"Ya sudah, nanti saja sekalian sama mereka, ya."
"Ya sudah." Aku berlalu meninggalkan Bunda sendiri di taman anggreknya.
Kunaiki tangga lantai dua yang terbuat dari kayu. Membuka pintu balkon lantai dua untuk menghirup udara segar yang di ciptakan Bunda di rumah ini.
Suara deringan ponsel kembali terdengar. Kulangkahkan kaki menuju kamar, dan melihat nomor asing semalam kembali menelpon.
Menggeser tombol hijau setelah panggilan ketiga dari nomor yang sama berulang, dan mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum," ucapku lembut.
Namun tak ada jawaban, kulihat layar ponsel dan panggilan masih berlangsung.
"Hallo," ucapku sekali lagi.
Setelah beberapa detik menunggu tak ada sahutan di seberang sana. Kembali kulihat layar ponsel itu, masih tersambung, namun, sama sekali tak ada jawaban.
Kuputuskan untuk menekan tombol merah, sebelum benar-benar terputus, kudengar jawaban dari seberang di sana.
"Terry," panggilnya lembut.
Seketika suara itu membuat tanganku bergetar. Aku ingat suara itu, ingat kelembutan dan juga nadanya berbicara. Perlahan, embun bening melapisi netra mata. Ada desiran yang kembali terasa memasuki rongga dada.
Rindu, terbalut luka masa lalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Yanti
kasian kamu Terry, kamu kembali lagi terluka dg masa lalu mu
2023-07-28
0
Nunasoraya
Novel ini didedikasikan untuk para penikmat indahnya tautan kata
2020-04-22
1
Anna Bundanya ALsyakiyaa
❤😘
2020-02-02
0