"Eh ... Ada tamu rupanya." ucap pak Gilang sambil menarik bangku yang berseberangan meja denganku.
"Iya, Mama sengaja undang Terry, dan om Reihan kesini. Biar rame." ucap tante Namira girang.
"Ehm." pak Gilang mengangguk dan terlihat cuek-cuek saja. Namun matanya masih menatapku lekat.
"Terry, mas Reihan ayo silahkan dimakan." ucap tante Namira ramah.
Aku sama sekali tak berani mengangkat kepalaku saat makan malam berlangsung. Entah kenapa aku tak berani menatap mata pak Gilang. Ada gemuruh yang terus terasa mendebar di jantungku, saat mataku dan mata pak Gilang saling bertautan.
"Guntur kemana ini?" tanya Ayah membuka pembicaraan.
"Biasalah, Guntur itu kalau malam libur begini, haduuuhhh. Gak pernah ada di rumah." ucap Tante Namira sambil menepuk dahinya.
Aku hanya tersenyum dan menggeleng pasrah, Tante Namira memang sedikit kocak. Seperti sifatnya dan pak Gilang sangat jauh berbeda.
"Terry, kenapa gak pernah keluar jalan?" kini Om Ridwan bertanya padaku.
"Terry kurang nyaman di luar, Om." ucapku tanpa mengangkat wajahku, malu.
"Sekali-kali keluar dong. Ajak Gilang itu, dia juga udah lama gak punya pacar." ucap tante Namira yang membuat aku sedikit tersipu malu.
"Ma ... Mulai deh." ucap pak Gilang sambil melihat kearahku.
"Lagian kamu Gilang, Guntur aja yang masih semester dua udah punya calon. Kamu tunggu apalagi?" ucap mbak Gita memanasi.
"Nanti kalau udah waktunya kan datang sendiri." jawab pak Gilang datar.
"Kapan waktunya? umur sudah berapa? Gilang kalau gak gerak cepat bakalan kalah sama anak SMP."
"Iya, anak SMP sekarang ganas loh, Lang." sambung om Ridwan yang membuat rona wajah pak Gilang menjadi tak menentu.
"Lang, lagian kan kamu gak jelek-jelek banget, nih. Apa gak ada mahasiswi kamu yang jatuh cinta sama kamu, gitu?"
"Apa an sih, Kak? aku disana ngajar, bukan cari jodoh." ucap pak Gilang malas.
"Kan sekalian jalan, Lang. Atau jangan-jangan kamu ini dosen killer, ya?" tanya om Ridwan yang semakin membuat pak Gilang salah tingkah.
Ku dengar helaan nafas pak Gilang yang terdengar sedikit malas. Pak Gilang menggeleng pasrah saat dirinya mulai di pojokan.
"Atau gak, gimana kalau sama Terry saja?" ucap Tante Namira riang.
"Uhuuuuk." dengan cepat pak Gilang meraih gelas minumnya, perkataan tante Namira yang spontan membuat pak Gilang tersedak.
Setelah menenggak air, pak Gilang menatapku dengan ekspresi bingung. Kembali aku menundukan pandanganku, setelah aku mendongakkannya secara tiba-tiba karena terkejut ucapan tante Namira.
"Gimana mas Reihan?" tanya tante Namira, kali ini mengarah pada Ayah.
"Ya, kalau saya terserah sama Terry, saja. Kalau Terry dan Gilangnya mau, ya gak masalah."
Aku memalingkan wajahku kearah Ayah. Seperti tak setuju pada penuturan Ayah.
"Mama apaan sih. Gak baik begitu, jangan suka memaksakan kehendak sama anak orang lain." jawab pak Gilang yang seakan mengerti arti dari tatapan pandanganku ke Ayah.
"Ya kan mana tahu kalian berdua jodoh, lagian Terry gak ada pacar, kan?"
Aku menggeleng pasrah menjawab pertanyaan tante Namira. Apa makan malam ini hanya modus Ayah sama tante Namira saja?
"Ck ... Mama apaan sih? mulai deh, jangan suka begitu Ma." kini pak Gilang bangkit dari kursi nya dan mengajak Leo bermain di halaman belakang rumahnya.
"Haduuuh, Gilang itu, apa gak bisa dia lupain cinta pertamanya? sudah lama pun masih saja kaku banget." ucap Tante Namira sambil memegang dahinya.
Jadi Pak Gilang juga terluka karena cinta pertamanya, ya ternyata, bukan hanya aku saja yang terus berada pada lingkaran ini. Masih ada banyak orang yang berada dalam posisi sama denganku.
Ayah bangkit dan menjauh saat teleponnya berdering. Aku hanya melihat punggung Ayah yang sedang menelpon serius dengan seseorang di seberang sana. Setelah menutup teleponnya Ayah memandangku dengan wajah sendu, menghela nafas lalu mendekat kearahku.
"Ayah ada masalah genting, Terry. Harus pergi sekarang, mungkin akan sampai pagi. Ayah khawatir harus meninggalkan kamu sendiri dirumah, Ayah juga gak sempat antar kamu tempat Bunda."
"Gak apa-apa Ayah. Terry berani kok sendiri dirumah," jawabku menenangkan.
"Ayah yang gak berani ninggalin kamu sendiri dirumah! Ayah takut kamu kenapa-napa karena sendiri."
"Yasudah, Mas. Terry kan bisa nginap disini malam ini. Nanti bisa pakai kamar Gilang, Gilang bisa tidur sama Guntur."
"Gak ngerepoti ini, Nam?" tanya Ayah sungkan.
"Gak lah, Mas."
"Yasudah, kalau gitu Ayah pamit ya, Ter. Namira titip Terry ya."
Ayah pamit dan berlalu pergi, bagaimana ini? masak aku tidur di kamar lelaki sih? mana itu kamar dosen aku lagi.
"Emh. Tante. Terry pulang saja, gak apa-apa Tante, Terry biasa dirumah sendiri." pintaku pada tante Namira.
"Ih ... Jangan Terry, bahaya kalau kamu sendiri, kamu disini saja, gak masalah. Pasti Gilang juga gak keberatan pinjami kamarnya sama kamu."
"Tapi saya gak enak Tante, Pak Gilang kan dosen saya. Saya gak enak hati."
"Kalau kamu tidur sama aku, takutnya istirahat kamu terganggu Ter. Bayi aku suka bangun tengah malam." sambung mbak Gita sambil memberi susu formula pada bayinya.
"Gak mungkin juga tante pinjami kamar Gunutur. Kamarnya jorok, berantakan, bau gitu. Sudah gak apa-apa ya Ter. Kasian Ayah kamu nanti kalau kamu kenapa-kenapa." bujuk Tante Namira lembut.
Ku hela nafas panjang, ku lihat wajah cantik tante Namira dengan binar mata sendu.
"Baiklah, Tante." ucapku mengalah.
Aku membantu tante Namira membereskan sisa-sisa makan malam. Sebenarnya berada di tengah keluarga asing, membuat aku tak nyaman. Sedari tadi aku terus mengeluarkan keringat dingin.
Ku sapu kedua tanganku untuk kesekian kalinya, tanganku terus mengeluarkan keringat dingin.
Kembali ku hela nafas, sekedar untuk mencairkan ketegangan yang kurasakan.
"Terry, lelah ya? lihat dahi kamu gak berhenti mengeluarkan keringat. Sudah sana, susul Gilang di taman belakang, biar ada udara segar."
"Gak usah Tante, Terry biasa kok ngelakuin ini." tolakku lembut.
"Sudah sana." tante Namira mendorong badanku keluar dari dapur, tante Namira berhenti mendorongku saat aku berada di balik pintu dapur menuju taman belakang.
Ku hela nafas panjang dan ku hembuskan perlahan sebelum membuka pintu dapur.
Aku melemparkan bokongku di bibir keramik teras belakang rumah ini. Ku lihat pak Gilang dan dua keponakannya sedang bermain bola sepak.
Aku sedikit tersenyum melihat pak Gilang yang begitu akrab dengan anak kecil. Seperti asyik menikmati permainan, pak Gilang tak terlihat kesal sama sekali saat harus bolak balik mengambil bola yang keluar jalur.
Di balik sikap tegas pak Gilang di kampus, ternyata pak Gilang mempunyai sisi yang seperti ini. Mungkin pak Gilang ini calon Ayah yang baik untuk anak-anak nya kelak.
Mungkin pak Gilang juga calon suami yang baik, sikapnya sopan dan juga ramah. Pantas saja Ayah sangat menyukainya.
Tunggu dulu, Terry ... Apa yang sedang kamu pikirkan?
Apa aku sudah gila? memikirkan pak Gilang sampai seperti itu.
Kalau bukan karena percakapan Ayah dan Tante Namira tadi, aku tidak akan memikirkan hal seperti ini. Aku sepertinya harus berani bicara sama Ayah untuk tidak lagi menjodohkan aku dengan Pak Gilang.
Apalagi pak Gilang itu dosenku, bagaimana jika pak Gilang itu tak suka dengan aku. Bisa kaku hubungan aku dan pak Gilang kedepannya.
Aku menggeleng dan tersenyum getir sendiri. Kenapa aku ini konyol sekali?
Bugh
Sebuah bola menghantam wajahku, tidak sakit memang. Tapi itu cukup membuat aku takut dan memejamkan kedua kelopak mataku.
"Libra, jangan seperti itu mainnya!" ucap pak Gilang sedikit menekan.
"Maaf, Om. Aku gak sengaja." ucap gadis kecil dengan baju pink di sudut taman.
"Terry, kamu gak apa-apa?" tanya pak Gilang mendekatiku.
Aku hanya tersenyum dan menggelang pasrah.
"Libra, Leo, ayo sini!" panggil pak Gilang kepada dua bocah itu.
Dengan wajah bersalah dua bocah itu berjalan sambil menundukan wajahnya jauh kedalaam. Berhenti tepat di depan aku dan pak Gilang duduk.
"Minta maaf, sama kak Terry." perintah pak Gilang tegas.
"Maafkan aku, kak Terry. Aku yang tadi tendang bolanya." ucap Libra bersalah.
Aku tersenyum dan meraih pipi Libra, imut sekali gadis kecil ini. Mirip seperti om nya. Eh ... apa?
"Gak masalah, Sayang. Kakak gak apa-apa kok." ucapku yang mampu mengembalikan rona wajah Libra jadi ceria kembali.
"Yasudah, main berdua dulu ya. Om mau lihat luka kak Terry dulu."
Kedua anak kecil itu kembali bermain dengan ceria. Ku pandangi dua bocah kecil itu, seperti aku dan Percy dahulu. Aku menggulum senyumku saat mengingat masa kecil kami.
Mengingat Percy, aku jadi sangat rindu pada gadis berambut pirang itu. Kenapa gadis itu berubah nakal saat ini?
"Ter, kamu benaran gak apa-apa?" pertanyaan pak Gilang membuyarkan lamunanku.
Aku hanya menggeleng perlahan.
"Tapi dahi kamu kotor loh." ucap pak Gilang sambil menunjuk dahiku.
"Oh..." aku mengelap sudut dahiku.
"Bukan disitu," ucap pak Gilang sambil mengubah posisi duduknya agar lebih merapat kepadaku.
"Tapi di sebelah sini." pak Gilang mengelap sudut kanan dahiku dengan ujung lengan kaus yang ia gunakan.
Seketika aku melihat wajah serius pak Gilang yang sedang terfokus pada dahiku. Melihat pak Gilang dari jarak sedekat ini kembali membuat wajahku kembali hangat. Kenapa saat ini hatiku malah mulai bergetar saat menatap wajah pak Gilang.
Apa yang salah denganmu, Terry?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Yanti
wkwkwk ini gak tau harus pilih yg mana Gilang apa yudha ya,... semua asik dech kek nya.. 😁😁
2023-07-28
1
Nunasoraya
Gilang yeeeessss 🤗
2020-04-22
1
Jingga Annida
jngan gilang dong.... sama Yudha aja.... sakit tau thor terpisah dgn cinta pertama.... hihihiii... pengalaman aku... 😁😁
2020-04-11
0