"Apa kabar Terry?" ucapnya sambil menyungging senyum di bibir tipisnya.
Kuat, kutarik pergelangan tangan, berlari menjauh dari gerbang. Sesekali aku melihat kebelakang. Meninggalkan Yudha yang hanya terpaku melihatku berlari semakin menjauh.
Buughh
Badanku menghantam kuat badan seseorang.
"Aduh ... Terry, kenapa lari-lari sih?" tanya Tantri kesal.
"Maaf, ya," ucapku bersalah.
Aku berjongkok, memungut buku-buku milik Tantri yang jatuh karena tabrakan tadi.
"Kenapa sih? Pakai lari-lari segala?" tanya Tantri kesal.
"Hem ... itu." Aku menggaruk kelopak mata. "Aku takut telat masuk kelas." Aku menyengir kuda.
"Kemana saja? Aku tungguin dari tadi."
"Aku nunggu kamu di depan gerbang loh, Tant."
"Kan aku sudah kirim pesan ke kamu, aku mau ketemu Dosen pagi ini."
"Yah ... ponsel aku ketinggalan," ucapku sambil menggaruk kepala.
"Ya sudah, ayo masuk!"
Aku kembali menoleh ke belakang saat berjalan masuk menuju koridor. Tak kulihat lagi Yudha berada disana.
Memang seharusnya begitu, seharusnya kamu tak lagi menampakan wajah manismu di hadapanku Yudha.
Mencoba berusaha untuk memfokuskan diri pada materi yang diberikan oleh Dosen muda di hadapanku ini. Namun sayang, pikiranku kembali tersita oleh bayangan Yudha.
Yudha, kembali ia membawa ingatanku pada masa-masa itu. Entah berapa banyak waktu yang sudah aku habiskan untuk melupakanmu.
Aku tak pernah bisa, kamu masih terus menyita segala pikiranku. Seribu malam telah aku tempuh, namun bayangmu tak sedikitpun semu.
Apa yang harus aku lakukan Yudha? Aku tak pernah berpikir bagaimana menghadapimu jika suatu saat nanti kita bertemu.
Karena aku tak pernah berharap pertemuan ini kembali terjadi. Ada luka yang tak pernah mengering, aku masih begitu sakit. Jika aku terlalu melow, mungkin iya.
Karena kamulah yang telah membawa rasa itu padaku. Rasa hangat dalam setiap katamu, rasa sendu dari setiap senyummu.
Aku tak pernah bisa lepas dari jerat yang kau ciptakan. Separah itukah luka yang telah kau buat?
Tidak, aku yang terlalu dalam jatuh pada hatimu.
Bel istirahat berbunyi, aku membereskan meja dan memasukan beberapa buku kedalam tas. Dengan santai berjalan melewati pintu.
"Terry." Kupalingkan wajah saat mendengar panggilan itu.
"Iya, Pak," jawabku lembut saat melihat Pak Gilang datang mendekatiku.
"Apa ada masalah? Saya lihat, kamu banyak melamun waktu kelas tadi."
"Oh ... maafkan saya, Pak. Saya tidak akan mengulangi lagi," ucapku sambil menundukan pandangan.
"Pft .... " Pak Gilang menangkupkan telapak tangannya di depan mulut.
"Kenapa Bapak tertawa?" tanyaku bingung.
"Kamu lucu, Terry. Kamu ini, tak ada mahasiswi seumuran kamu yang begitu polos," ucap Pak Gilang dengan seulas senyum manis.
Pak Gilang adalah Dosen jurusan Biologi, ia salah satu Dosen muda di sini. Wajahnya tak terlalu tampan, ya bisa di bilang dia manis. Ada tahi lalat di bawah sudut mata kanannya, wajahnya cukup menarik untuk para mahasiswi di jurusan Biologi.
"Maaf, Pak. Kalau tidak ada yang dibicarakan, saya permisi," ucapku sambil berjalan cepat.
Aku tak biasa berbicara dengan lelaki secara intim. Apalagi dengan Dosen, aku berusaha menghindar setiap kali bertemu berdua dengan pak Gilang.
Kujatuhkan bokong di atas kursi ujung koridor, sedikit menghela napas panjang. Kenapa hanya memikirkan Yudha saja begitu membuat aku lelah?
"Hey ... Ter." Seorang lelaki menjatuhkan bokongnya tepat di sebelahku.
"Hey, Za," ucapku sambil tersenyum.
"Tantri mana? Tumben sendiri?"
"Lagi ke ruang Dosen," balasku sambil membuang pandangan kosong ke depan.
Reza, aku lumayan bisa mengobrol dengannya. Karena aku dan Reza sudah kenal dari semenjak SMA. Selain Reza aku tak pernah mau diajak duduk berdua begini, risih dan juga sedikit trauma.
Trauma akan rasa sakit yang terlalu membekas ini.
"Makan, yuk! kamu gak lapar, Yang?" tanya Reza asal.
"Duluan deh, aku masih mau nunggu Tantri."
"Sudah, tunggu Tantri di kantin saja yuk. Aku lapar, Yang," ucap Reza ngeyel.
"Reza," panggilku lembut.
"Iya," jawabnya tak kalah lembut.
Aku tersenyum dan menggeleng pasrah, sama sekali tak bisa marah dengan lelaki di sampingku ini.
"Jangan panggil aku begitu," ucapku lembut.
"Kenapa, Yang?"
"Nanti kalau ada yang salah paham gimana?"
"Aku sih berharapnya dari kesalah pahaman itu, menjadi kesalahan yang indah, Yang."
Kunaikan sebelah alis mata, lalu dahi ini berkerut. Apa maksud lelaki bocor ini?
Seperti mengerti maksud dari pertanyaanku, Reza mengacak rambutnya dan menghela napasnya berat.
"Aku masih benar-benar jatuh cinta sama kamu, Ter," ucap Reza serius.
"Modus," balasku sambil tersenyum pahit.
"Modus itu nilai tengah, kan, Yang?"
"Reza."
"Oke, oke. No more Yang-Yang-an."
Aku menggeleng pasrah.
"Tapi Baby saja, ya."
Aku menggaruk kelopak mata yang tak gatal. Pusing dengan tingkah lelaki yang satu ini. Modusnya kadang buat aku risih. Mana mungkin dia masih jatuh cinta sama aku.
Selama kuliah saja, entah sudah berapa banyak wanita yang menjadi mantannya. Terlepas itu, Reza cukup baik untuk menjadi seorang teman. Dia cukup sopan dan tahu batasan, karena itu, sedikit banyaknya aku merasa nyaman dengannya.
"Ter, kantin yuk!" Tantri menepuk sebelah bahuku.
"Eh ... playboy cap biawak. Ngapain lu di sini? Pasti godain Terry lagi, kan?"
"Weits ... Tant. Lu itu ngomong gak disaring, ya. Wah parah lu jadi perempuan," ucap Reza ketus.
"Emang elu jadi laki gak parah? Semua wanita dicobain, parah lu Za."
"We ... kalau ngomong jangan suka ngasal, ya. Jangan jatuhi image gue di depan Terry."
"Elah ... emang nyatanya gitu," ucap Tantri sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
Reza bangkit dan berdiri sejajar dengan Tantri. Ia menumpuhkan satu lengan tangannya di pundak Tantri.
"Jangan bilang lu cemburu karena gue gak pernah deketi elu," balas Reza songong.
Dengan cepat Tantri menghempaskan tangan Reza yang ia tumpuhkan di bahu wanita itu.
"Gak waras lu, gue sama elu?" Tantri menepuk jidat Reza kasar. "Gak level!" sambungnya ketus.
"Pantes lu jadi jomblo akut, Tant. Kasar banget jadi betina. Lu contoh tu Terry, lembut, kalem, senyumnya, waahhh banget."
Aku tersenyum geli mendengar ucapan Reza. Melihat mereka berdua gak akan ada habisnya.
"Sudah, katanya mau makan, ayo ke kantin," ucapku menengahi.
"Sayang ..., " panggil seorang cewek di ujung koridor.
"Wah gawat, gue duluan ya gaes," pamit Reza sambil berlari, menghilang secepat kilat.
"Heran aku lihat tuh anak. Gak bosen-bosen ngejar kamu dari SMA, padahal cewek yang dia pacari cantik-cantik," ucap Tantri kesal.
"Sudah, gak usah bahas dia," jawabku sembari menggandeng tangan Tantri menuju kantin kampus.
Kami memesan dua piring siomay untuk mengganjal perut. Kukeluarkan sebuah novel untuk menemani makan siang kami.
"Hobi kamu gak pernah hilang ya, Ter."
Kualihkan pandangan ke arah Tantri dan hanya tersenyum, kembali bola mata ini membulat secara sempurna ketika melihat wajah lelaki yang duduk di belakang Tantri.
Sepasang mata elang itu menatapku lekat, begitu banyak makna yang tidak bisa aku artikan dari pandangannya tersebut. Sampai akhirnya, bibir tipis itu mengulas senyuman.
Tanpa sengaja aku menyenggol gelas jus milik Tantri dan membuat bajunya kotor.
"Ya ampun Ter, makannya kalau lagi makan jangan sambil baca!" ucap Tantri kesal.
"Maaf, ya, Tant. Aku gak sengaja." Aku mengerutkan dahi, menatap wajah Tantri dengan binar mata sedih.
"Sudah gak usah pasang wajah seperti itu, aku tidak akan bisa marah kalau lihat wajah itu."
Tantri berjalan menuju toilet yang terletak di belakang. Kulihat punggung Tantri yang berjalan menjauh dari meja.
Ketika kembali memutar pandangan, jantungku hampir berhenti berdetak saat melihat Yudha duduk di kursi Tantri tadi. Tepat di hadapanku, hanya berbatas sebuah meja kayu.
Kutundukan pandangan, membalik lembaran novel yang saat ini aku baca. Satu tangan yang lain kubiarkan kosong di atas meja.
Menikmati debaran jantung yang kembali hidup setelah sekian lama mati. Terasa nyata, sama nyatanya ketika aku melihat lelaki yang saat ini ada di depanku.
"Terry," panggilnya lembut.
Aku hanya menunduk, menelan saliva yang terasa memahit. Sepahit kisah masa lalu kita yang coba untuk kembali dibuka.
Kurasakan sebuah jemari menyentuh punggung tangan. Perlahan, aku menarik tanganku, melirik Yudha yang ada di hadapanku sinis.
"Terry, masih marah sama aku?" tanyanya kembali, suara itu terdengar begitu lembut. Membawa kenangan kembali mengawan.
"Ter, lihat aku dong," sambungnya kembali. Tak ingin menjawab, apalagi menatapnya. Sungguh, luka ini tak pernah hilang, Yudha.
"Terry." Yudha menarik novel yang aku baca. "Aku di sini! Tolong kasih kesempatan aku jelasin."
Aku mencoba mengambil novel milikku yang kini berada di tangan Yudha. Namun, cepat ia mengelakannya.
"Ter, dengerin aku!" ucap Yudha sedikit menekan.
Kurapikan tas, dan mulai bangkit dari kursi. Kembali badan Yudha menghadang langkahku. Kutatap wajah itu dengan sinis. Akan tetapi, lelaki itu bergeming. Tak ingin menghindar dari hadapan.
"Terry." Tantri menyenggol lengan tangan.
Kupalingkan wajah ke arah Tantri. Secepat kilat, lelaki itu kembali menghilang dari pandangan, membawa serta novelku bersamanya.
Kupandangi punggung dengan balutan kemeja berwarna dongker itu berlalu pergi. Jauh, dan semakin menjauh.
Sekarang kamu sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa Yudha. Banyak yang berubah dari dirimu, akan tetapi, mengapa? Aku tak mampu merubah hati ini, agar tak lagi berharap pada hatimu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Yanti
😔😔😔sediiihh banget😔😔😔😭😭
2023-07-28
0
raswi winara
membuat ku melow
2020-04-30
0
Anna Bundanya ALsyakiyaa
❤🥰
2020-02-02
0