"Terry, mau kemana?"
"Mau ke tempat, Ayah."
"Kok malah jalan kaki sih? kemarin bilangnya mau berangkat sendiri naik bis. Ayo naik."
Aku membuka pintu mobil Ayah. Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan Ayah. Tak mungkin aku bilang kalau aku kehabisan uang. Aku tak enak hati bilangnya.
"Kenapa jalan kaki? kalau Ayah gak nyusulin kamu tadi bagaimana?" tanya Ayah membuka percakapan.
"Masih pagi, Ayah. Sekalian olahraga." jawabku lembut.
"Ayah tadi mau ajakin kamu sama adik kamu jalan-jalan. Mumpung lagi libur, karena sudah ketemu kamu, kita langsung jalan-jalan saja, ya."
"Tapi Percy masih dirumah Ayah."
"Percy sudah sering jalan-jalan. Ayah jarang sekali lihat kamu keluar dan jalan-jalan. Jadi hari ini Ayah mau kamu puasin jalan-jalan ya."
"Gak usah, Ayah. Terry gak perlu jalan-jalan." tolakku lembut.
"Kenapa, Terry?"
"Terry gak suka keramaian Ayah. Kalau Ayah mau jalan-jalan, bisa ajak Percy saja."
"Percy sudah sering, Nak. Hampir tiap minggu dia jalan, sama temannya kadang sama pacarnya."
"Kita pulang saja ya Ayah. Terry lebih suka dirumah."
Terdengar helaan nafas dari Ayah, Ayah menatap wajahku sendu. Sesaat suasana di dalam mobil terasa hening.
"Terry." panggil Ayah lembut.
"Iya, Ayah."
"Kamu berubah, Nak. Ayah rindu Terry yang lama."
Aku hanya tersenyum dan menundukan kepalaku. Tak lama aku membuang pandanganku ke luar jendela.
"Dulu kamu gadis kecil yang ceria dan periang, Terry, entah sejak kapan anak sulung Ayah berubah jadi pendiam dan tertutup."
"Itu dulu, Ayah. Sekarang Terry sudah dewasa. Terry nyaman seperti ini."
Kembali Ayah menghela nafas panjang. Ayah hanya diam di sisa perjalan menuju rumah yang baru ia beli setahun lalu ini.
Perumahan di salah satu komplek mewah. Dulu Ayah tinggal di rumah dinas, karena rumah dinas terbilang lumayan jauh dari kampusku dan juga sekolah Percy, Ayah memutuskan untuk membeli rumah disini.
Ayah memarkirkan mobilnya di bibir jalan depan istananya. Ku gendong tas ranselku yang berisi buku-buku kuliahku.
"Terry, biar Ayah bantu." ucap Ayah sambil menarik tasku.
"Gak apa-apa Ayah. Ini gak berat." tolakku lembut.
"Biarkan Ayah melakukan tugas sebagai seorang Ayah, Terry."
Ku hela nafasku dan mengangguk pasrah. Ku buka pintu mobil dan berjalan memasuki teras rumah Ayah.
"Selamat pagi, Om." ku dengar suara seorang lelaki menyapa Ayah.
Tanpa menghentikan langkah kakiku, aku langsung menuju kamarku yang berada di lantai dua.
Ku buka jendela kamarku, ku lihat Ayah sedang mengobrol ringan dengan seorang pria.
Sesekali mata pria itu melihat kearahku, di susul mata Ayah yang juga ikut mengarah ke arahku.
Aku melemparkan senyum dan menarik kain gorden kamarku.
****
"Pagi, Terry." ucap Ayah sambil menarik kursi di meja makan.
"Pagi, Ayah. Sarapan Ayah? Terry sudah selesai masak."
"Wah ... Kalau jadwal kamu tinggal sama Ayah, cacing di perut Ayah bakalan merdeka ini. Gak kayak tinggal sama Percy, setiap hari makan makanan cepat saji."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Ayah. Entah kenapa Ayah tak memakai jasa asisten rumah tangga. Mungkin karena Ayah seorang duda, jadi Ayah tak memakai jasa asisten rumah tangga untuk tinggal disini.
Ada seseorang yang di pakai Ayah untuk mencuci pakaian. Itupun hanya datang dua atau tiga hari sekali.
"Aku pamit ya, Ayah." ku ambil tangan Ayah takzim dan berlalu dengan cepat, sementara Ayah masih duduk di atas meja membaca berita yang tertulis di koran.
Dengan sedikit terpincang aku berjalan keluar dari rumah Ayah.
"Terry, mau pergi kuliah?" tanya pak Gilang dari balik kaca helm motornya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum kaku. Pak Gilang menyerahkan helmnya padaku, dengan sedikit bingung aku menerimanya. Lalu pak Gilang menatap lurus kedepan, tanpa mengucapkan apapun.
Sejenak aku hanya diam di posisi berdiriku, pak Gilang tak lagi berbicara apapun. Ia masih diam di atas motor sport nya.
"Kok diam saja sih?" akhirnya pak Gilang membuka suara.
"Jadi saya harus ngapain, Pak?"
Pak Gilang membuka helmnya dan tertawa terpingkal.
"Ayo, naik! masa iya kamu mau jalan kaki pakai helm, sih."
Mendengar ucapan pak Gilang, aku kembali menyodorkan helmnya kearah pak Gilang. Pak Gilang menaiki sebelah alis matanya dan memandangku heran.
"Kenapa? kan tujuannya sama."
"Saya biasa naik bis, Pak. Makasih sebelumnya." tolakku halus.
Iya, pak Gilang adalah tetangga di depan rumah Ayah. Karena itu pak Gilang kenal dengan Ayah dan juga Bunda.
"Dari pada naik bis, kan sekalian bareng saya bisa. Tenang saja, gratis kok." ucap pak Gilang lembut.
"Gak usah, Pak. Gak enak kalau di lihat mahasiswi yang lain."
"Terry, Gilang! kok ngobrol di luar sih?" suara barito Ayah dari belakang.
"Gak lagi ngobrol, Om. Saya niat mau ngajakin Terry berangkat bareng, tapi Terry gak mau, Om."
"Oh, iya. Terry memang begitu. Yasudah makasih buat niat baik kamu ya Gilang. Biar Terry berangkat sama Om saja."
"Yasudah, kalau gitu, saya duluan ya, Om."
"Iya, Hati-hati Gilang."
Aku memasuki mobil Ayah, sebenarnya aku tak mau juga di antar Ayah. Tapi demi menolak tawaran pak Gilang, aku mengikuti keinginan Ayah.
"Gilang lelaki yang baik dan sopan ya, Terry." Ayah membuka percakapan di dalam mobil.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Ku buang pandanganku ke luar jendela.
"Kamu gak berpikir untuk mencoba menjalin hubungan dengan Gilang, Ter? sepertinya Gilang sangat tertarik padamu."
Ku hela nafas panjang dan ku lempar pandanganku ke arah Ayah.
"Pak Gilang itu dosen Terry, Yah. Dia begitu karena Terry salah satu mahasiswi dia."
Ayah hanya mengangguk dan kembali fokus pada jalanan yang di lalui mobilnya. Ayah memarkirkan mobilnya di depan gerbang kampus. Sebelum aku turun, Ayah menarik pergelangan tanganku.
"Apa kamu trauma sama laki-laki karena Ayah, Terry?"
Aku tersenyum dan menggeleng, walaupun Ayah dan Bunda berpisah tanpa aku tahu alasannya. Tapi aku memperhatikan kehancuran yang Bunda alami.
"Maafkan Ayah, Sayang. Ayah membuat kebahagiaan kalian bertiga hancur." ucap Ayah sedih.
"Ayah ..." ku sentuh ujung tangan Ayah lembut.
"Walaupun Terry gak tahu alasan di balik perpisahan Ayah dan Bunda. Tapi Terry tahu, inilah keputusan yang terbaik untuk Ayah dan Bunda."
"Gara-gara Ayah sekarang Percy jadi nakal seperti itu. Gara-gara Ayah kamu jadi gadis yang sangat tertutup Terry. Ayah merasa buruk jadi seorang Ayah."
"Sudahlah Ayah, memang sudah ini pilihan Terry."
"Terry, jangan pendam semuanya sendiri. Terry bisa ceritain ke Ayah kalau Terry merasakan apapun. Seperti dulu, saat Ayah masih jadi lelaki pertama yang Terry sayangi."
"Sampai sekarang pun Ayah masih jadi lelaki yang paling Terry sayangi, Ayah."
"Terry,"
"Ayah, kelas akan di mulai, Terry pamit ya." ku ambil tangan Ayah dan mencium tangannya.
Ku percepat langkahku untuk menjauh dari mobil Ayah.
"Terry..." panggil Ayah kembali.
Ayah berlari mengejar aku yang saat ini sudah jauh dari mobil Ayah.
"Ini uang saku kamu, Nak." Ayah menyerahkan lembaran uang kepadaku.
"Terry masih ada uang saku, Ayah." tolakku lembut.
"Ayah tahu, Bunda kamu pasti mencukupi hidup kamu. Tapi ini tanggung jawab Ayah juga Terry. Kenapa kamu selalu menolak, Ayah?"
"Terima kasih, Ayah." ku ambil uang yang Ayah berikan tadi.
Aku sebenarnya tak tahu kenapa, namun saat ini pun aku merasa gak nyaman saat dekat dengan Ayah.
Aku rasa Ayah adalah orang yang menyebabkan perpisahan Bunda terjadi. Aku melihat Ayah pergi dari rumah dengan wajah sedih, saat itu Bunda menangis. Tapi Bunda bilang, Bunda yang salah.
Entahlah, mereka berdua saling menyalahkan diri masing-masing. Tak tahu apa yang terjadi.
Ku jejaki koridor yang mulai sepi, kelas mungkin sudah di mulai. Karena percakapan dengan Ayah aku jadi telat. Dengan sedikit berlari aku menjejaki koridor menuju kelasku.
Bugh
Ku tabrak punggung lelaki yang saat ini berada di depanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Kiki Aja
sad
2020-06-23
0
Jingga Annida
sediiihhh...
2020-04-11
0
alone
apa sih yg jd penyebab ortuny pisah...
2020-03-26
0