Setelah hari itu, kalau bertemu atau berpapasan dengan pak Gilang di koridor kampus. Aku lebih sering tersenyum lalu menundukan pandanganku.
Terkadang sekilas aku melihat pak Gilang membalas senyumku. Atau saat aku berjalan bersama Tantri pak Gilang hanya menatapku tanpa tersenyum.
Tak terasa semester empat sudah memasuki penghujung akhir. Hanya tinggal menyelesaikan beberapa mata kuliah, libur panjang sudah di depan mata.
Aku menyelesaikan mata kuliah akhirku bertepatan dengan pemindahan posisi aku dan Percy. Sebulan dirumah Ayah kali ini ku lalui dengan sedikit berbeda.
Ada kesan tersendiri yang membekas di hatiku. Ku siapkan buku-bukuku dan juga buku yang di pinjami pak Gilang padaku. Saat mengambil buku tebal yang aku letakan diatas buffet. Selembar kertas jatuh dari selipan buku itu, kuraih dan ku buka kembali lembar kertas itu.
Brosur yang ada foto pak Gilang. Ku buka lembaran buku tebal itu untuk mencari tisu yang aku simpan di dalam buku yang sama. Ku raih tisu itu dan memindahkannya ke dalam buku yang lain.
Aku ingin mengembalikan buku ini, kalau sampai pak Gilang tahu aku masih menyimpan tisu ini, aku bisa mati kutu.
"Terry." suara Ayah telah memanggilku.
Ku turuni anak tangga dengan sedikit berlari. Ku selempangkan tali ranselku di salah satu bahu. Dengan menenteng buku pak Gilang di tangan, aku berjalan keluar rumah Ayah.
"Sebentar Ayah. Mau balikin buku milik pak Gilang." ucapku saat melihat Ayah berdiri di depan pintu mobil.
Ayah hanya mengangguk, aku menyeberangi aspal depan rumah dan mengetuk pintu rumah tante Namira. Seorang wanita yang tak asing berdiri di balik daun pintu.
"Eh, Terry. Ada apa, Sayang? Rindu Gilang ya, baru juga libur, sudah rindu saja." ucap Tante Namira tanpa jeda.
"Bukan, Tante. Aku cuma mau balikin buku milik pak Gilang kok, Tante." jawabku sedikit malu.
"Ya ampun, ngapain di balikin. Bawa saja, kalau bisa, buku itu di tukar sama buku yang ada gambar garudanya saja. Bagaimana?"
"Maksud Tante, raport anak SD?" tanyaku bingung.
"Ih ... Kok raport sih Terry? buku yang ada lambang garudanya nya loh, yang cuople-an sama Gilang." ucap Tante Namira.
"Mama ini ada tamu bukan disuruh masuk, malah di suruh yang aneh-aneh." sambung pak Gilang yang datang dari ruang tengah.
"Masuk, Ter." perintah pak Gilang sambil berjalan kearah kami.
"Tuh kan, Tante sampai lupa gara-gara buku garuda. Ayo masuk Ter, Tante buatin jus mau?"
"Eh ... Gak perlu Tante, Aku sudah di tunggu Ayah. Cuma mau balikin buku ini, Pak." ku ulurkan tanganku menyerahkan beberapa buku yang di pinjamkan pak Gilang tempo hari.
"Oh..." pak Gilang mengambil buku itu dari tanganku. "Mau tukar tempat ya, Terr?" tanya pak Gilang.
"Iya, Pak. Kalau begitu saya permisi ya, Pak, Tante." pamitku pada mereka.
"Terry, sering main kesini ya. Kan lagi libur, nanti Gilang kangen loh kalau gak ada kamu."
"Mama..." ucap pak Gilang malas.
"Biar bisa cepat buat buku garuda." sambung tante Namira sambil tersenyum penih makna.
"Buku garuda itu apa sih, Pak?" akhirnya aku bertanya, penasaran apa itu buku garuda.
Pak Gilang hanya menggeleng dan mengerdikan bahunya. Wajahnya memerah, entah karena apa.
"Buku garuda yang ada dua itu loh, Ter. Yang di kasih setelah akad nikah selesai." jawab tante Namira yang membuat aku dan pak Gilang salah tingkah.
Aku tersenyum memandang pak Gilang yang menggaruk tengkuk lehernya. Pantas saja dari tadi pak Gilang seperti menghindar. Ternyata maksudnya itu toh. Aku tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalaku.
"Kamu angguk-angguk, tandanya mau kan? ya kan?" ucap Tante Namira girang.
"Mama bisa gak sih jangan bocor sekali-sekali?" ucap pak Gilang malu.
"Memang Mama ember, bocor?"
"Mama lebih kayak kaleng bocor. Udah bocor, berisik lagi."
"Hey ... Gilang. Awas kamu, jangan minta Mama nanti buat lamaran Terry, ya. Lamar sendiri!"
Ucapan tante Namira semakin membuat aku tersipu malu. Aku menggeleng dan menutupi dahiku dengan telapak tanganku.
"Pak, Tante. Kalau begitu saya pamit ya. Sudah di tunggu Ayah. Assalamualaikum." ucapku langsung memutuskan percakapan ini.
Tante Namira, kenapa bisa sekocak itu sih? blak-blakan banget ngomongnya. Aku saja yang mendengarnya malu, apalagi pak Gilang yang anaknya, sekaligus dosen aku. Tapi seru juga kali ya, kalau dapat mertua seperti itu.
Ku tepuk dahiku sambil berjalan menuju mobil Ayah. Apasih yang kamu pikirkan Terry. Makin lama, kenapa makin kacau saja pikiranmu ini.
****
Ting, ting.
Lonceng yang di letakan diatas pintu kaca toko bunga Bunda berbunyi. Tanda seorang pelanggan masuk kedalam toko bunga Bunda.
Selama libur, aku banyak menghabiskan waktu di toko bunga, sekedar membantu Bunda dan juga merawat bunga-bunga di sekitaran taman toko Bunda.
"Mbak, kasih saya satu buket bunga tulip ya." ucap pelanggan itu.
Seketika pergerakan jariku yang sedang menulis buku pemasukan toko Bunda berhenti. Ku balikan badanku dan melihat pemilik suara itu.
Bibirku kembali menyungging lebar saat melihat lelaki dengan balutan jeans hitam dan kemeja kotak-kotak berwarna merah gelap itu.
"Berapa yang ini mbak?" tanya lelaki itu saat mengambil satu buket bunga tulip berwarna merah muda.
"Lima puluh ribu, Mas." ucap Mbak Eva sambil merapikan display itu kembali.
"Langsung ke kasir aja, Mas." sambung mbak Eva sambil menunjuk ke arah mbak Rini yang berada di balik meja kasir, yang posisinya berseberangan kounter denganku.
Lelaki itu berdiri tepat di sebelahku, seketika aroma dari gel rambutnya menyeruak kedalam hidungku. Lelaki itu menyerahkan selembar uang seratus ribuan.
"Terry, ada uang lima puluh ribu gak?" tanya mbak Rini padaku.
Sontak lelaki itu melihat kearahku, wajahnya bingung lalu kembali menyunging senyum.
"Terry." ucapnya riang.
"Hai, Yudha."
"Kamu disini?" tanyanya lalu berjalan kearah depan pintu kaca dan melihat plang nama toko bunga Bunda.
"Aku gak lihat itu," ucapnya sambil menunjuk plang toko bunga yang ia desain sendiri.
"Mbak, mana uangnya?" pintaku pada mbak Rini.
Aku mengambil uang seratus ribuan itu dan memberikan uang pecahan lima puluh ke mbak Rini.
"Nih, kembalian kamu, Yudha." ku serahkan uang kembalian Yudha.
"Emh, Ter. Mau keluar sama aku sebentar?" tanya Yudha saat menerima uang kembalian dariku.
Aku mengangguk dan tersenyum, mengikuti langkah kaki Yudha keluar dari toko bunga milik Bunda. Aku dan Yudha duduk di kursi yang terletak di bibir jalan dekat toko bunga Bunda.
"Mau kencan? kok beli bunga?" tanyaku membuka percakapan.
Yudha tersenyum dan menggeleng pasrah.
"Mau jenguk teman di rumah sakit."
"Emh." jawabku cuek.
Sejenak suasana menjadi hening, aku dan Yudha hanya berdiam, menikmati suasana yang terasa hangat saat aku berada di samping Yudha.
"Kirei, mau jalan-jalan?" tanya Yudha memecahkan keheningan suasana.
"Kamu kan mau kerumah sakit, Yud."
"Bisa nanti, besok, atau lusa."
"Gak baik begitu, Yud. Nanti teman kamu bisa kecewa."
"Walaupun dia kecewa dia tetap menjadi temanku, Kirei." ucap Yudha sambil menatapku serius.
"Tapi tidak baik membatalkan janji seenaknya begitu."
"Aku belum buat janji sama dia, cuma niat mau kesana karena lagi senggang saja."
Ku hela nafas dan ku gelengkan kepalaku.
"Ya, tapi tetap saja kan kamu sudah bilang mau kesana?"
"Aku cuma bilang kalau sengang, Kirei. Gak harus hari ini juga kan?"
"Tapi tetap saja dia akan kecewa, Yudha."
"Saat dia kecewa dia tidak akan pergi menghilang dari pandanganku. Tapi saat kamu yang kecewa, maka mencarimu lebih sulit dari pada mencari jarum dalam tumpukan jerami."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Yanti
mulai dech kesedihan nya..,,😔😔
2023-07-28
0
Jingga Annida
yuuhhuuuu.....
2020-04-11
0
alone
cinta segitiga....fiza emg toppp
2020-03-26
1