"Kasih kesempatan aku, Kirei. Buat menebus kekecawaan yang kamu rasakan karena aku." ucap Yudha serius.
"Sekali saja, kasih kesempatan buat aku jalan sama kamu." pinta Yudha sambil meraih kedua tanganku.
Aku tersenyum dan mengangguk. Seperti ada kepuasan yang tergambar dari wajah Yudha.
"Tapi bunganya bagaimana, Yudha?" tanyaku saat melihat buket bunga yang masih di pegang oleh Yudha.
"Buat kamu saja."
Aku tersenyum dan terkekeh mendengar ucapan Yudha.
"Gak salah, bunga itu di beli dari toko aku, loh."
"Terus kalau penjual bunga gak boleh di kasih bunga?"
"Bukan begitu? kamu gak takut bunga itu aku jual?" godaku pada Yudha.
"Aku lebih takut saat melihat senyum itu memudar dari wajahmu, Kirei."
Sesaat perkataan Yudha membuat aku tersipu malu, getaran dalam hatiku mulai kembali terasa. Menatap wajah Yudha dari jarak yang sedekat ini membuat suhu tubuhku menghangat.
Kami berjalan menyusuri jalanan yang saat ini padat lalu lalang kendaraan. Yudha meninggalkan motornya di depan toko bunga Bunda dan memilih jalan kaki bersamaku.
"Kirei, kamu tahu banyak jenis bunga?"
"Ya, sedikit."
"Bunga yang paling cantik, bunga apa?"
"Hem." aku memutar bola mataku mengingat jenis-jenis bunga di toko bunda.
"Menurut aku semua bunga punya ciri khas dan keindahannya masing-masing, Yud. Bunga di ciptakan dengan maknanya tersendiri."
"Tapi menurut aku bunga yang paling indah itu, bunga dari Jepang."
"Sakura?" tanyaku sambil melihat kearah Yudha.
"Bukan."
"Jadi?"
"Kamu," ucap Yudha sambil memberhentikan langkahnya dan memutar badannya menatap kearahku.
"Bunga yang paling indah itu kamu, Kirei-Chan."
Seperti ada sesuatu yang membuat bibir ku terus melengkung lebar saat mendengar ucapan Yudha. Tersipu malu dan merona merah, wajahku seperti tak mengenal waktu, setiap saat yang ku lalui bersama Yudha membuat wajahku memerah muda.
Yudha meraih jemariku dan mengenggamnya erat. Lalu dia tersenyum dan melanjutkan perjalanan dengan menggandeng tanganku.
"Seperti kata kamu, bunga di ciptakan dengan keindahannya masing-masing." sambung Yudha sambil berjalan santai. Satu tangannya yang kosong dimasukan kedalam kantung jeans nya.
"Dengan maknanya tersendiri. Seperti kamu yang membawa makna yang berarti dalam hidup aku Kirei-Chan."
Ku cubit kulit pinggang Yudha. Untuk menutupi rasa maluku dan juga grogi yang timbul karena getaran dalam hatiku.
"Aww, sakit banget. Kamu masih piara itu kepiting ya, Kirei?"
Aku hanya melepaskan tawaku saat mendengar ucapan Yudha.
"Mau es krim?" tanya Yudha sambil menunjuk gerobak es krim yang berada di seberang jalan.
"Boleh." jawabku santai
"Sebentar ya." Yudha melepaskan genggamannya dan berlari kesebarang jalan.
Aku menunggu Yudha di seberang jalan, semilir angin membawa helaian rambutku terbang terbawa angin.
Tak lama Yudha kembali dengan dua cone es krim.
"Vanilla, stroberi." ucapnya sambil menyerahkan cone es krim dua rasa favorit aku.
Tak ku sangka Yudha masih mengingat rasa kesukaanku.
"Yudha, kamu kok bisa ada di kampus hari itu?" tanyaku penasaran.
"Itu kan kampus aku juga, Kirei."
"Hah?" ucapku terkejut, menghadang langkah Yudha dan menatap wajahnya.
"Kamu kuliah disana? sejak kapan?" tanyaku bingung.
"Sejak dua tahun yang lalu." jawabnya santai
"Kok aku gak tahu?"
"Kamu itu tahunya apa?"
"Ih ... Aku serius Yudha." ku kerucutkan bibirku, malas mendengarkan basa basi Yudha lagi.
"Memang aku lagi bercanda ya?"
"Maksud aku kalau kita satu kampus, kenapa gak pernah ketemu selama ini?"
Yudha mengerdikan bahunya dan melempar bokongnya di bangku halte.
"Aku juga gak tahu, Kirei. Mungkin karena gedung jurusan kita berjauhan."
"Kamu kuliah jurusan apa?"
"Teknik" ucap Yudha sambil menggigit cone es krimnya.
"Teknik sipil tepatnya." sambungnya.
"Oh..." aku ikut duduk, mengikuti Yudha.
Pantas saja, gedung Teknik itu berada di paling akhir sisi kampus, bahkan anak jurusan Teknik memiliki gerbang mereka sendiri. Walaupun gak sebesar gerbang utama, anak-anak jurusan Teknik lebih memilih untuk masuk dari gerbang belakang.
Selain tak perlu memutar jauh, sebagian ruangan dosen juga sudah di pindah kesana. Karena itu, anak Teknik seperti terpisah oleh gedung utama.
"Kirei." panggil Yudha mengalihkan perhatianku.
"Keliling kota naik sepeda seperti jaman sekolah dulu yuk."
"Hah, apaa?" belum siap aku berbicara, Yudha sudah lebih dulu menarik tanganku.
Mendekati tempat penyewaan sepeda dan menyewa satu sepeda. Aku menaiki pijakan belakang, ku pegang kedua bahu Yudha karena sedikit ngerih.
Perlahan Yudha mengkayuh pedal sepedanya perlahan, ku pegang kuat-kuat bahu Yudha. Rasanya tegang sekali, aku sudah lama tak melakukan ini lagi.
Apalagi ukuran badan yang sudah jauh berbeda, membuat aku sedikit gamblang untuk mengimbangi laju sepeda.
"Kuat banget cengkramannya, Kirei? takut ya?"
"Aku sudah lama tidak melakukan ini, Yudha. Aku ngerih." jawabku sambil menvgncangkan pegangan di bahu Yudha.
"Tidak apa-apa. Selama ada aku, tak ku biarkan kamu terluka." ucap Yudha menambah kecepatan laju sepedanya.
Aku melingkari satu tanganku di bahu Yudha, ku tempelkan badanku di punggung bahu Yudha. Mengerihkan, tapi aku menikmati hal ini. Aku menikmati setiap detik yang berlalu saat bersama Yudha.
Perlahan keberanian itu kembali muncul, aku merentangan tanganku menikmati hembusan angin yang menerpa wajahku. Yudha tersenyum melihatku yang kembali menikmati keadaan ini.
Sampai ban sepeda Yudha menaiki gundukan di tengah jalan, membuat berdiriku gamblang dan dengan spontan aku memeluk tubuh Yudha dari belakang.
"Huuh." ucapku lirih, debaran jantungku mulai berdegub kencang.
"Maaf, ya. Aku mau bilang pegangan, lihat kamu senang banget, jadi lupa deh."
"Ha ha ha." aku hanya melepaskan tawaku.
Lucu sekali mengingat hal ini, sudah umur berapa tapi masih bermain sepeda seperti remaja.
"Aku gak pernah menyangka, hal ini akan terjadi lagi, Kirei." ucap yudha sambil menurunkan kecepatan kayuhan sepedanya.
"Aku senang melihatmu kembali tertawa seperti semula." sambungnya sambil.menolehkan pandangannya kearahku.
"Terima kasih, Yudha." balasku.
"Terima kasih, sudah mengizinkan aku menikmati kejadian ini sekali lagi." sambungku sambil tersenyum sendu.
"Aku akan selalu melakukan apapun itu yang membuatmu bahagia, Kirei. Terus lah bahagia saat bersama denganku."
Yudha kembali mengkayuh sepeda ini sekuat tenaganya, melewati jalan yang sudah kami tinggali semenjak lima tahun yang lalu.
Aku tak mengerti mengapa, namun berdiri kembali di pijakan sepeda ini membuat senyumku terus merekah selebar mungkin.
Bahkan sesekali bibirku menjerit, karena perasaan campur aduk yang aku nikmati saat ini.
Kembali menghabiskan waktu bersamamu, seperti kembali pada duniaku yang hilang.
Serpihan hatiku tak pernah menemukan pasangannya saat berjauhan denganmu Yudha, tapi saat berada di belakangmu seperti ini. Sama seperti aku mengumpulkan kembali pecahan hatiku yang hilang karena kepergianmu dulu.
Kurasakan baju kemeja Yudha yang mulai basah karena kucuran keringatnya. Dahi Yudha mulai banyak mengeluarkan peluhan keringat.
Yudha mengambil nafasnya yang terengah-engah, lelah karena mengelilingi kota dengan bersepeda.
Yudha memberhentikan laju sepedanya, mencagak sepeda itu dengan kedua kakinya.
"Lelah?" tanyaku menggoda.
"Sepertinya aku harus lebih banyak berolahraga." ucapnya sambil mengambil oksigen dengan cepat.
"Sini, gantian aku yang boncengin kamu." ucapku sambil menuruni pijakan sepeda.
"Ah ... Tidak. Aku ini lelaki Kirei."
"Terus kenapa kalau kamu lelaki?" ucapku sambil memegang setang sepeda.
"Aku yakin kamu gak akan kuat, Kirei. Badan aku tak sekurus dulu."
"Gak tahu kalau gak di coba dulu, ya kan." ku geser badan Yudha agar menjauh dari jok sepeda.
Bergantian aku yang mengambil alih kendali sepeda, kurasakan tangan Yudha memegang kedua bahuku.
Ku sapu helaian rambut yang menyapu wajahku, ku lihat Yudha yang saat ini berdiri di belakangku.
"Siap?" tanyaku sambil mendongakan pandanganku.
"Oke." jawab Yudha yakin.
Ku mulai mengkayuh sepeda BMX yang lumayan tinggi ini. Setang yang ku kemudikan mulai bergoyang saat aku mengkayuhnya pelan. Perlahan ku kayuhkan dengan sekuat tenaga, laju sepeda mulai mengencang saat menuruni jalanan menurun.
"Ahh..." aku menjerit sekuat tenaga, kemudi yang ku kendalikan mulai oleng.
Sementara Yudha hanya tertawa mengekeh, kakinya menahan ban sepeda agar laju tak sekencang tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Yanti
😍😍😍😍😚😚😚
2023-07-28
0
Sriwarni Ponjong
fizaaaaa,
2020-10-04
0
Triya Sari
jadi ikut bahagia ewy 😂😂
2020-05-02
0