"Kok kamu di sini? Jualan bunga?" tanya lelaki berpakaian rapi itu.
Aku hanya tersenyum getir, menggaruk sudut dahi yang tidak gatal. Lelaki itu berjalan mendekat, berdiri bersisian denganku.
"Terry, kamu lagi apa? Ayah kamu tahu?" tanyanya lagi.
Kuremat kedua tangan dengan erat, gelisah, bagaimana jika lelaki ini mengatakan pada Ayah dan Bunda?
"Terry?"
"Pak Gilang, tolong jangan bilang sama Ayah saya, ya," pintaku lembut.
"Berarti Ayah kamu gak tahu?" tanyanya menyelidik.
Aku hanya menunduk dan mengangguk pelan. Terdengar suara helaan napas panjang dari lelaki berkemeja abu-abu itu.
"Kenapa kamu jualan bunga, Terry?"
"Saya cuma ingin bantuin Bunda, Pak. Tapi Bunda juga gak tahu. Bapak janji ya jangan bilang sama Ayah, dan Bunda." pintaku sembari menundukan wajah. Memohon pada lelaki yang terkenal tegas ini.
"Ya sudah, saya gak akan bilang."
Seketika aku mendongakkan wajah, mengembangkan seulas senyuman.
"Makasih, Pak. Bapak mau bunga yang mana? Ambil saja, saya kasih gratis," ucapku sambil memberikan satu buket bunga lily berwarna putih.
"Kamu pikir saya gak mampu bayar?" tanya Pak Gilang datar.
Aku menggeleng dengan cepat, tangan yang sempat terulur kutarik kembali.
"Saya bantu kamu jualan ya," sambungnya lembut.
Kutatap wajahnya yang terlihat begitu sendu. Senyuman terukir indah di wajah lelaki bermata sipit itu.
"Gak perlu, Pak. Saya gak enak merepotkan, Bapak," tolakku halus.
"Gak repot kok, kamu kan mahasiswi saya, jangan lupa Senin nanti ada kuis. Saya gak mau salah satu mahasiswi saya gak masuk karena kelelahan berjualan," ucap Pak Gilang datar.
"Makasih, Pak. Tapi, benaran gak usah, lagian besok juga masih hari Minggu. Saya Masih bisa istirahat besok."
"Ya sudah ... kalau gitu saya bilangi sama Ayah kamu!" ancam Pak Gilang sambil berjalan menjauh.
Kupejamkan mata, mengusap wajah dengan sedikit kasar. Ancamannya itu, membuat aku lemah.
"Pak," panggilku lembut.
"Ada apa?"
"Terima kasih," ucapku sembari menunduk.
***
Sepasang sepatu casual itu berjalan sembari mendorong sepeda milikku mengitari taman. Sesekali ia berteriak dan menepikan sepeda di depan beberapa pengunjung. Sementara aku, hanya berjalan mengikuti langkah kaki besarnya.
Sebenarnya apa yang ingin pak Gilang lakukan? Tak mungkin hanya karena aku ini mahasiswinya dia mau panas-panasan berjualan denganke seperni ini.
Kupandangi lekat punggung yang berbalut kemeja polos berwarna grey itu berjalan santai mendorong sepeda milikku. Melihat senyumnya yang begitu tulus saat menawarkan buket-buket itu.
Berjam-jam kami berjalan melewati trotoar jalan dan singgah ke beberapa taman. Namun, buket yang kubawa masih menyisa.
Kuputuskan untuk duduk di helte bis yang ada di pinggir kota. Pandanganku teralih pada buket bunga yang mulai layu karena panas matahari.
"Nih, buat kamu." Sebotol air mineral terulur ke depan wajahku.
Kuraih botol itu dan membalasnya dengan senyuman yang biasa dipakai di sepenjang hari-hariku. Palsu, senyum yang begitu teduh menyembunyikan semua duka dan juga luka.
Perlahan jari memutar penutupnya, meminum sekadar membasahi bibir.
"Kamu kenapa lakuin ini?" tanya pak Gilang sambil menjatuhkan bokongnya di sebelahku.
"Bantuin promosi toko Bunda, Pak."
"Kenapa dari tadi panggil Pak terus sih? saya belum setua itu kan, Terry?"
"Tapi kan Bapak itu dosen saya," ucapku lembut.
"Tapi kan ini gak lagi di kampus, Terry."
Aku bergeming, hanya memandang kosong ke arah jalanan. Melihat padatnya jalan raya di sore hari. Membiarkan suara deru kendaraan mengisi keheningan suasana ini.
"Panggil saya Kakak atau Mas saja, Terry. Jangan terlalu kaku kalau bertemu di luar."
"Tapi saya gak terbiasa, Pak. Sudah terbiasa manggil begitu."
"Terserah kamu saja," ucap Pak Gilang mengalah.
"Kamu belum makan, kan? Kita mampir di cafe dulu, ya."
"Gak usah, Pak. Ini sudah sore, pasti Bunda lagi cariin saya," tolakku lembut.
Aku bangkit dan berjalan mendekati sepeda, meraih sebuah buket yang tersisa dan memberikan kepada pak Gilang.
"Maaf, Pak. Bunganya sudah layu, tadi Bapak mau beli, kan, ini saya berikan sebagai ucapan terima kasih. Bukan menganggap Bapak gak mampu bayar," ucapku tertunduk. Tanganku sedikit bergetar saat memberikan buket bunga itu pada lelaki dewasa di depanku.
Tangan kekar itu meraihnya, ia membuka dompet. Cepat aku mengambil sepeda dan mengkayuh dengan dengan kencang. meninggalkan pak Gilang sendiri di sana.
Entahlah, aku tak nyaman saat duduk berdua dengan Dosen muda itu, trauma pada lelaki dan juga tak nyaman berada di samping lelaki. Aku selalu menarik diri dan ingin segera berlari saat berdua dengan lelaki.
Kuparkirkan sepeda di depan toko bunga milik Bunda. Melihat Bunda yang menatapku dengan sedikit amarah menghiasi binar matanya. Menahan dengan mendekap kedua lengannya sendiri.
"Assalamuailaikum, Bunda." Kudekati Bunda dan mencium punggung tangannya takzim.
"Bunda gak suka kamu melakukan ini, Terry," ucap Bunda tegas.
"Maafin Terry, Bunda," jawabku bersalah.
"Jangan lakuin ini lagi, kalau Ayah kamu tahu bagaimana? Ayah kamu bisa gak balikin kamu sama Bunda, Sayang." Bunda menjewer telingaku.
"Tapi Terry sayang lihat, Bunda."
"Bunda bisa mengatasi ini, jangan kamu pikiri. Ini jadi urusan Bunda!"
"Maafin Terry, Bunda. Bunda jangan marah sama Terry."
Terdengar suara helaan napas dari bibir wanita itu. Bunda mengelus pucuk kepalaku dengan lembut.
"Ya sudah, pulang gih. Kasihan Percy di rumah sendiri."
Kucium punggung tangan Bunda dan kembali mengkayuh sepeda untuk kembali ke rumah. Menjejaki anak tangga menuju lantai dua, mengguyur badan dengannair, sekadar menyegarkan badan lelah ini.
Keluar dari kamar mandi, tanganku langsung meraih ponsel yang sedari tadi tertinggal di rumah. Mengecek panggilan yang masuk dan beberapa pesan. Termasuk pesan dari Yudha. Kuhapus pesan itu sebelum sempat membacanya.
Aku sama sekali tak ingin mendengar apa pun lagi. Tak ingin membaca apa yang pernah terjadi. Kalau bisa, aku juga tak ingin melihat wajahnya lagi.
"Percy, ayo bangun." Kugoyang badan Percy yang sedang tertidur pulas.
"Percy!" Kugoyang kembali badan Percy, kali ini sedikit lebih keras. Ia mulai menggeliat malas. Mengucek matanya yang sama sekali tak ingin terbuka.
"Ini sudah mau senja, Dek. Sebentar lagi Bunda pulang, ayo bangun!" Kutarik badan Percy agar ia duduk.
"Ganggu saja sih, Ter," ucap Percy malas, badannya ingin kembali tertidur. Namun, dengan cepat aku tahan. Kugeret tangannya untuk masuk ke kamar mandi.
"Jangan tidur di kamar mandi, cepat mandi dan bantu aku siapkan makan malam."
"Hem," jawabnua malas seraya menutup daun pintu kamar mandi.
Sembari menanti Percy selesai, aku memeriksa tabungan, sisa uang saku yang kusimpan rapi di dalam kotak kaleng mainan dulu. Kuhitung jumlahnya, memang tak terlalu banyak. Namun, mungkin ini cukup untuk mengganti plang nama toko bunga Bunda.
Lembaran itu kususun dengan rapi dan memasukan kedalam sling bag. Tak banyak membuang waktu, segera aku menyiapkan makan malam sebelum Bunda pulang.
Percy, dia memang tak bisa diharapkan, entah bagaimana Bunda harus menangani tingkah laku Percy yang semakin menjadi setiap harinya.
"Assalamualaikum anak gadis Bunda." Suara wanita itu riang memasuki rumah.
Terdengar suara langkah kaki yang berlari dari lantai dua, dengan tergesa Percy menuruni anak tangga.
"Percy, jangan lari-lari, dong," ucap Bunda lembut.
"Bunda, ayo makan," ajakku sembari menata menu makan malam.
Bunda menatap Percy dengan wajah marah, sementara Percy hanya tersenyum kuda.
"Percy, kamu harus bantuin kakak kamu, dong." Bunda menggeleng dan menarik salah satu kursi.
"Bunda, Terry izin keluar, ya," pintaku lembut.
"Ikut dong, Ter," sanggah Percy di tengah percakapanku.
"Mau kemana?" tanya Bunda lembut.
"Aku ada tugas, Bunda. Mau ke percetakan," jelasku berkelit. Maaf Bunda, kalau Bunda tahu, pasti Bunda gak izini.
"Yah, kirain mau jalan," ucap Percy sambil melahap makanannya.
"Kamu sendiri saja, Ter? Bunda khawatir."
"Terry gak lama kok, Bunda. Kalau sudah selesai, Terry langsung pulang."
"Ya sudah, kamu hati-hati ya, Ter."
"Makasih, Bunda." Kugulum senyum, memandangi wajah Bunda.
"Percy, coba berbicara seperti Kakakmu, lembut, jangan seperti itu jadi wanita," ucap Bunda sembari menjewer telinga Percy.
"Aduh ... Bunda! sakit!" teriak Percy kesal.
Setelah makan malam, aku langsung mengkayuh sepeda melewati gelap malam.
Tak terlalu jauh dari toko bunga Bunda ada sebuah percetakan di sana. Kuparkirkan sepeda dan memasuki pintu kaca toko percetakan itu.
"Permisi, Mas," sapaku kepada lelaki di balik konter kaca.
"Iya, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?"
"Saya mau buat plang nama untuk toko bunga, bisa?"
"Oh ... bisa, Mbak. Tapi tunggu sebentar ya, desain grafisnya sedang keluar."
Aku hanya mengangguk dan duduk di kursi yang memang disediakan oleh toko ini. Sembari menanti, aku mengeluarkan ponsel dan memainkan sekadar melepas suntuk. Tak lama, sepasang sepatu berdiri di hadapanku.
Seketika mataku mendelik, melihat wajah pemilik sepatu tersebut.
"Terry."
"Yudha."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Yanti
wow sosweet 😍😍😍😍
2023-07-28
0
alone
yuda lg ...penasaran alasanny..
2020-03-19
0
Anna Bundanya ALsyakiyaa
😘❤
2020-02-03
0