Bukan seperti ini

Tawa Maura memudar berganti kepanikan. Jarinya tak sengaja membuka pesan masuk dari Harvey dan secara tidak langsung, pria itu tahu kalau ia masih terjaga. Suara ketukan pintu dan ponsel berdering bersamaan memanggil dirinya.

"Maura, tolong buka pintunya. Aku tahu kamu belum tidur. Beri aku kesempatan untuk kita bicara, Sayang." Maura menutup telinganya dengan bantal. Ia berusaha mengabaikan keinginan hatinya untuk membuka pintu.

"Maura, please aku janji sebentar saja," seru Harvey dari balik pintu.

Ia sungguh tak tahan lagi, pesan dari Kendra ia abaikan lalu beranjak keluar kamar dan membuka pintu untuk Harvey.

"Ada apa?" Maura mengintip dari celah pintu.

"Aku mau bicara."

"Bicara saja." Maura menahan pintu yang akan di dorong oleh Harvey.

"Aku tidak boleh masuk di dalam?"

"Ini sudah malam, Harvey aku tidak mau menimbulkan fitnah." Mata maura mengawasi sekitar apartementnya dengan gelisah.

"Tidak apa-apa, Sayang aku hanya sebentar." Harvey berusaha mendorong pintu kamar Maura. Ia berusaha lembut agar kekasihnya itu tidak takut.

Maura gadis yang lembut, jika sebelumnya ia memperlakukan kekasihnya itu bagaikan guci yang mudah retak, tapi sungguh sulit untuk saat ini. Terbiasa bergaul dengan Reva yang binal dan lebih suka diperlakukan kasar di atas ranjang, membuatnya memandang sama pada setiap wanita.

"Jangan, Harvey. Kamu mau bicara apa lagi? Bukankah kita sudah sudah selesai aku bilang?"

"Aku hanya ingin memelukmu, aku rindu."

"Gak mau. Kamu sudah menyakitiku, Harvey. Kamu meludahiku, kamu menyangkalku di depan teman-temanmu. Sakit, Harvey, cukup semua itu bagiku." Maura menangis di antara celah pintu yang hanya menampilkan wajahnya.

Harvey jatuh berlutut di depan pintu kamar, "Aku minta maaf, Sayang. Aku minta maaf, itu semua terpaksa aku lakukan agar Reva percaya kalau kita sudah tidak ada hubungan apapun. Kalau aku tidak bersikap keras seperti tadi, kamu akan lebih menderita."

"Kita sudah punya kesepakatan. Biarkan kita berjalan masing-masing dulu, kamu selesaikan urusanmu dengan wanita itu."

"Aku ga bisa, Sayang. Aku lelah menuruti semua permintaannya. Aku butuh kamu, ijinkan aku masuk sebentar, aku kangen sekali sama kamu." Harvey meratap. Ia bahkan tak segan meneteskan air matanya.

Saat Maura mulai luluh dan akan membuka pintu kamarnya, ponsel ditangannya berdering menampilkan nama Kendra di sana. Walau hanya dering telepon, ia seakan mendengarkan Kendra memintanya untuk tetap menutup pintu.

"Jangan sekarang, Harvey. Biarkan saja kita sementara seperti ini." Tangan Maura terulur mengusap air mata palsu milik Harvey.

"Siapa yang meneleponmu malam-malam begini?"

Maura hanya diam. Ia merasa seperti sedang kedapatan sedang berselingkuh.

"Laki-laki itu?" Harvey berdiri, tak sanggup berlama-lama bersandiwara sedih lagi.

"Pulanglah, Harvey."

"Sayang, bolehkah aku minta kamu jangan terlalu dekat dengan dia? Aku akan mengganti waktu yang sudah aku abaikan selama ini denganmu. Aku janji."

Harvey mengusap bibir Maura dengan jempolnya. Ia ingin merasakan kembali lembutnya bibir Maura, tapi begitu mengingat bibir itu juga pernah dicicipi oleh saudara tirinya, tanpa sadar jarinya menyakiti Maura.

"Sakit, Harvey."

"Maaf, Sayang. Aku terlalu rindu." suara Harvey melembut, "Kamu ada kelas pagi?" Maura menggangguk samar, "Kita berangkat sama-sama ya."

"Tunanganmu?"

"Jangan khawatir, aku sudah mengaturnya. Kita kembali bersama?" Harvey tersenyum memohon. Senyumnya semakin merekah saat permintaannya dijawab dengan anggukan kepala, "Sampai ketemu besok pagi, i love you, babe."

"Love you to," sahut Maura tersipu.

Harvey tersenyum puas, setidaknya ia berhasil meyakinkan kedua wanitanya sekaligus hari ini.

Di dalam kamar, Maura tidur telentang mengingat dan memilah perjalanan cintanya antara Harvey dengan dirinya selama ini. Ada rasa bahagia ketika pria itu mengucap kata wajib saat mereka mengakhiri pertemuan atau pembicaraan. Ia seperti menemukan kekasihnya kembali.

Denting pesan masuk di ponsel menyadarkannya kalau ia sudah mengabaikan pesan dan panggilan telepon dari Kendra.

'Sudah tidur? Kok masih online?'

'Tadi sudah, kebangun gara-gara kamu telepon' Maura menambahkan gambar marah pada pesannya.

'Maaf, Sayang. Tidur lagi ya.'

Panggilan Sayang dari Kendra menyadarkannya jika ada hati pria lain yang sudah ia beri harapan. Di sisi lain, ia juga membuka hatinya lagi untuk Harvey.

'Oww, Maura! Kenapa kamu jadi seperti wanita brengsek?!'

Ia hanya memandangi dan tak membalas pesan dari Kendra. Sisi hatinya masih mengharapkan Harvey, tapi sejujurnya ia masih butuh Kendra untuk menopangnya saat Harvey sewaktu-waktu kembali menyakitinya.

Pagi harinya, Harvey benar-benar menepati janjinya. Pemuda itu sudah siap di depan kamarnya dengan senyumnya yang menawan.

"Sudah siap, calon istriku?" sapanya begitu Maura membuka pintu kamar. Kembang perawan yang masih lugu itu tersipu malu. Perlakuan jahat Harvey padanya, seolah luntur hanya dengan sapaan dan senyuman manis.

Harvey menggandeng tangan Maura dan terus berjalan melewati mobilnya yang terparkir.

"Tumben mau jalan kaki, biasa dekat aja naik mobil," ucap Maura.

"Biar lebih lama bersama kamu. Kalau seperti ini 'kan romantis."

Maura terdiam, ucapan Harvey itu mengingatkannya pada Kendra yang pernah mengatakan hal yang sama.

"Maura, berjanjilah padaku jangan terlalu dekat dengan Kendra."

"Kenapa? Dia baik."

Harvey mendecih sinis, "Kamu belum mengenalnya terlalu dekat."

"Kamu dekat sama dia? Sepertinya dulu kalian berdua jarang mengobrol."

"Tidak dekat, tapi aku tahu bagaimana dia dan keluarganya. Aku ngomong seperti ini karena sayang sama kamu."

Hampir mendekati gerbang kampus, langkah Maura melambat. Kendra duduk di atas motor, memandangnya dengan tatapan sedih. Harvey yang merasa Maura berusaha mengurai genggaman tangannya, beralih menggamit pinggang gadis itu.

Dengan perasaan tak karuan, Kendra memutar kemudi motornya dan memasuki gerbang kampus. Matanya masih mencuri pandang melalui kaca spion motornya. Gadis yang semalam masih bercanda dengannya dan menangis karena patah hati, sudah berada dalam pelukan pria yang menyakitinya.

"Harvey, lepaskan tanganmu."

"Kenapa, Sayang bukankah kita biasa seperti ini. Apa kamu takut sama dia?" Dagu Harvey menunjuk Kendra yang sedang memarkirkan motornya.

"Bukan takut, aku hanya menjaga perasaannya."

"Kamu sudah jadian sama dia?"

"Bukannya aku sudah bilang? Sementara kita jalan masing-masing, kamu dengan wanita itu, aku dan dia."

Harvey menyeringai, "Kamu mau memanfaatkan dia? Pintar juga kamu."

"Bu-bukan seperti itu maksudku."

"Aku paham. Tidak apa-apa aku mengerti, kalau seperti itu aku setuju saja. Setidaknya jika aku tidak bisa menemanimu kemana-mana, kamu bisa minta dia untuk mengantarmu. Asal dengan satu syarat, jangan biarkan dia menyentuhmu seujung rambutpun. Aku pria pencemburu, Sayang."

Maura terdiam meresapi perkataan Harvey. Keningnya berkerut dalam. Mengapa ia merasa tak ubahnya seperti wanita brengsek yang memanfaatkan seorang pria hanya untuk kesenangannya sendiri.

Ia merasa ini tak benar. Sangat salah!

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Vita

Vita

jadi cewek jgn tolol cinta boleh begok jangan

2023-12-17

0

snowAngel_Ra2

snowAngel_Ra2

sadaaaar maura, iiiiih lama2 aq kasi tau papa Erik, papi rei dan ayah beni ya, kembang Perawan nya lagi di begoin cowok 😪

2023-05-31

0

Retno Palupi

Retno Palupi

g tau mesti coment apa

2023-05-14

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!