Mola

"Aku tidak habis pikir dia tega melakukan semua itu sama aku." Maura tak bisa mengalihkan tatapannya pada sepasang manusia yang sedang merangkul di seberang sana.

"Dia bilang semua hanya sandiwara, apa benar?" Kendra menoleh sebentar ke belakang. Ia sebenarnya tak berminat membicarakan saudara tirinya itu, tapi demi memikat hati pujaanya ia rela merasakan perih terlebih dulu.

"Ya, dia bilang kalau apa yang dilakukanya ini hanya terpaksa untuk menuruti permintaan orangtuanya sampai perusahaan keluarganya kembali bangkit." Kendra mengangguk-angguk dengan bibir mencebik.

Ia sangat paham sifat dari keluarga Papanya. Soal perusahaan dan gengsi adalah segalanya. Rupanya Papanya tidak belajar dari masa lalu. Jangan sampai cerita masa lalu Papa dan Mamanya terulang kembali. Mamanya hingga saat ini hidup dalam kesepian, dibuang oleh keluarga sendiri dan menderita oleh kecaman dan hinaan keluarga Papanya. Itu semua karena Mamanya ingin memepertahankan dia di dalam kandungan. Mamanya bercerita kala itu sadar sudah melakukan dosa, jangan sampai bertambah dengan dosa membunuh janin hanya demi menjaga nama baik dan harga diri.

"Kendra! Iih, malah bengong. Kamu ini kalau diajak ngobrol ga asyik," cetus Maura kesal.

"Sori, sori tadi keingat ada tugas dari Pak Jaka."

"Mending ngobrol sama Harvey," gerutu Maura tanpa mempedulikan perasaan Kendra.

"Ya, aku memang tidak lebih baik dari kekasihmu yang dulu, tapi aku masih punya kesempatan 'kan untuk belajar memahami kamu." Kendra memandang Maura penuh harap. Ia sungguh takut gadis yang belum genap sehari ini menjadi pacarnya mengamuk dan meninggalkan dirinya.

"Keeen, jangan gini, ah. Kamu itu ga cocok ngomong serius."

"Oke, kamu sukanya aku seperti apa, aku akan mengikuti apa yang kamu inginkan."

Maura membalas tatapan Kendra. Ia bukan tidak tahu Kendra menaruh hati padanya sejak di bangku SMU. Tak hanya Kendra dan Harvey, beberapa pria lain pun mencoba menarik perhatiannya kala itu. Namun Harvey yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi tentu mengungguli yang lain.

Rasa cinta memang tidak bisa ditebak akan berlabuh pada siapa, tapi apa bisa ia mencintai Kendra sedangkan yang dihati dan pikirannya selama ini masih Harvey yang merajai meskipun kekasihnya itu sudah terang-terangan mengkhianatinya.

"Kamu bisa bantu aku melupakan Harvey?"

"Aku bisa asal kamu mau." Kendra tersenyum senang, "Mau pulang sekarang atau nanti?"

"Sekarang aja."

"Makanmu belum habis."

"Masih sore belum lapar," kelit Maura. Padahal selera makannya hilang sejak melihat Harvey mengecup kepala Reva.

"Kamu tidak ada keinginan pindah atau balik ke rumahmu saja?" tanya Kendra saat mereka berjalan beriringan menuju ke apartement.

"Tidak bisa secepat itu, orangtuaku pasti curiga. Biar saja satu atau dua bulan ini aku bertahan."

"Aku khawatir, Maura."

"Khawatir apa? Kamu jangan sok care, gitu ah. Geli tau." Maura terkekeh pelan.

"Khawatir kamu ketemu terus sama Harvey."

"Kamu cemburu?"

"Itu pasti. Selain itu aku khawatir dia punya niat buruk sama kamu, kalau tidak diikuti apa maunya."

"Harvey tidak seperti itu, Ken. Aku kenal dia sudah empat tahun lebih. Dia bertingkah seperti itu karena emosi saja."

'Aku kenal dia sejak lahir, Maura. Aku sangat kenal dan tahu bagaimana Harvey sebenarnya. Dia tidak akan membiarkan apa yang menjadi miliknya ikut aku nikmati. Ini bukan tentang kamu, tapi aku. Dia selalu tidak rela jika aku melebihi dirinya.'

"Melamun lagi!" Cubitan Maura bertengger di pinggang Kendra.

"Iissh, sakit Mola." Kendra meringis sembari mengusap pinggangnya.

"Kamu kenapa panggil aku seperti itu lagi?" Maura memukul lengan Kendra gemas.

Itu panggilan kesayangan yang hanya berkisar di lingkaran keluarga terdekatnya. Kendra sempat mendengar saat Mamanya ke sekolah dan memanggilnya dengan sebutan itu. Kendra yang memang dasarnya suka mengusilinya, selalu menggunakan nama panggilan itu untuk mengoloknya.

"Itu panggilan kesayanganmu di rumah 'kan? Boleh dong aku panggil sama seperti keluargamu karena nanti aku juga pasti jadi bagian keluargamu juga."

"Eeh, yakin betul." Maura tergelak kencang. Perasaannya sudah mulai membaik. Sejenak ia lupa akan airmatanya yang sempat mengalir tadi.

Namun keadaan itu tidak lama, mereka berdua harus bertemu lagi dengan Harvey dan Reva di depan lift. Senyum Maura langsung hilang dalam hitungan detik.

Maura dan Kendra yang akan naik ke lantai atas, menunggu sampai Harvey dan Reva keluar dari dalam lift. Kendra mengusap jempolnya pada punggung tangan Maura untuk mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Nah, gitu dong akhirnya punya pasangan juga. Jangan dekati Harvey lagi ya, Dek." Reva tersenyum serta mengamati Maura dan Kendra dari atas sampai bawah.

Kendra dan Maura tak berniat menanggapi, keduanya langsung masuk ke bilik lift, setelah pasangan itu keluar dari dalam.

Baru dua langkah berjalan, Harvey menepuk keningnya, "Aduh, aku lupa kunci mobil. Sebentar ya, Sayang aku ke atas lagi. Kamu tunggu di lobby ya." Pria itu langsung berbalik dan menahan pintu lift yang belum menutup sempurna.

Maura dan Kendra yang berada di dalam sempat terkejut ketika pintu lift kembali terbuka dan Harvey masuk ke dalam bersama mereka.

"Kamu ngapain ikut naik keatas?" tanya Harvey pada Kendra dengan gaya menantang.

"Memangnya kenapa?"

"Aku tidak mengijinkan pria manapun kecuali keluarganya untuk masuk ke dalam kamar apartementnya."

"Kamu lupa aku sudah pernah masuk ke dalam apartementnya?" Kendra tertawa mengejek.

"Sialan!" Harvey memukul dinding lift sehingga kotak berjalan itu berdengung dan membuat Maura ketakutan.

"Hentikan, Harvey!" serunya seraya menutup kedua telinganya.

"Jangan ijinkan dia naik ke atas, Maura. Tak pantas wanita menerima tamu lelaki dalam kamar apartement."

"Kalau pria menerima tamu wanita dalam kamar apartement dan mendesah bersama boleh?"

"Apa-apaan sih kamu. Mendesah bagaimana? Kamu salah dengar sudah menuduh yang tidak-tidak. Kita sebelumnya tidak pernah bertengkar seperti ini loh, Sayang. Kamu pasti sudah dipengaruhi sama dia!" Jari telunjuk Harvey mengarah ke kening Kendra.

"Coba kamu berkaca dulu, siapa yang menyebabkan kita menjadi seperti ini sebelum menuduh orang lain." Maura berdiri menghalangi Harvey yang akan menerjang Kendra.

"Maura!"

Maura keluar dari dalam lift lalu berjalan cepat dan menarik tangan Kendra menuju ke kamarnya.

"Maura ... Mauraaa!" Harvey memukul pintu kamar Maura sekuat tenaga.

"Kamu yakin membiarkannya berteriak di luar sana? Aku bisa kok menghadapi dia, atau kamu khawatir ya kalau aku nanti terluka." Kendra kembali menggoda Maura yang tampak panik.

Ia pun sebenarnya khawatir akan keamanan Maura jika nanti ia sedang tidak bersama kekasihnya, tapi Kendra tidak mau terlihat ikut panik dan membuat Maura semakin ketakutan.

"Bodo amat!"

"Aku keluar ya." Kendra menggoda Maura, ia memegang pegangan pintu dan akan membukanya.

"Jangan keluar, Ken!" Maura menahan tangan Kendra dan menariknya agar menjauh dari daun pintu.

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Retno Palupi

Retno Palupi

Harvey itu sifat nya sama dg ayahnya ya, g mau kehilangan salah satu

2023-05-10

0

Red Velvet

Red Velvet

pelan2 aja Kendra masuki hati Mola-mu... nanti juga Harvey akan tergeser dgn sendirinya😎

2023-05-10

0

Edelweiss🍀

Edelweiss🍀

Harvey penampakan lelaki paling egois dan bejat. Bagaimana tidak, dia tidak melepaskan Maura tp juga tdk bisa meninggalkan Reva🤨 pikirmu hati perempuan itu adalah mainan kah😥

2023-05-10

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!