Lihat aku

"Masih tak berubah rupanya sebutanku. Terseralah kamu mau memanggilku dengan sebutan apapun. Kalau memang kenyataan aku anak haram, aku sudah menerimanya." Kendra tersenyum tipis.

20 tahun lamanya gelar itu sudah disandangnya dan disematkan oleh keluarga Papa serta Mama Harvey. Di mulai dari Mamanya yang disebut sebagai perempuan tak tahu diri, perebut suami orang sampai sebutan kotor yang tak pantas sudah sering ia dengar. Berlanjut setelah ia lahir sebutan itu berpindah padanya, tapi tak seperti dulu Mamanya tegar saat di hina, kali ini tiap orang yang menghina dirinya Mamanya yang selalu siap berdiri untuk membelanya.

Sebutan itu sudah biasa ia dengar dan menjadi makanan sehari-hari. Papanya walaupun bertanggungjawab secara ekonomi, tapi tetap tak sanggup membela Mama dan dirinya.

"Aku hanya mengingatkan siapa kamu."

"Terima kasih, Brother. Aku selalu ingat siapa diriku." Kendra tidak mau memperpanjang perdebatan kosongnya dengan Harvey, ia melambaikan tangan dan langsung berjalan dengan langkah lebar.

"Jangan sebut aku saudaramu, sialan!"

Masih terdengar gaung teriakan Harvey di telinganya. Kendra hanya tersenyum miris. Sejatinya jika bukan karena permintaan Papanya untuk kuliah di tempat yang sama dengan Harvey, ia tidak akan sudi menginjak tempat yang sama dengan pria itu.

Kendra duduk di bangku paling pojok belakang. Mengikuti dengan baik atau tidak tiap mata kuliah, tidak penting baginya. Namun begitu, nilainya selalu bersaing tipis dengan Harvey di jurusan yang sama.

Belum ada satu jam berpisah dengan Maura, ia sudah sangat merindukan gadis ketus itu. Rasanya seperti baru terlahir kembali setelah menyandang status kekasih Maura.

'Hai, Sayang. Kelasnya sudah mulai belum?'

Walaupun ia tahu kemungkinan kecil pesannya akan dibalas oleh Maura, ia tetap mengirimkan beberapa pesan dan gambar untuk menggoda gadis itu.

Begitu mata kuliah berakhir dan dosennya keluar dari ruangan, Kendra pun melesat ke gedung fakultas Maura.

"Hai." Kendra bersandar di pilar dengan gaya yang menurutnya paling menarik.

"Mau ngapain kesini?" Disambut raut wajah jutek dan nada ketus tak menyurutkan senyumnya.

"Jemput kamu."

"Ngapain, tuh tempat tinggalku dekat tinggal jalan kaki." Maura menunjuk puncak gedung apartementnya yang tinggi menjulang.

"Aku tahu, jalan kaki berdua lebih romantis." Tanpa sungkan Kendra menggenggam tangan Maura.

"Ken! Lepasin ah, malu." Beberapa kawannya menggoda ada juga yang sinis menganggap ia terlalu cepat beralih pada hati yang lain.

"Gak mau, kamu 'kan pacarku. Mau pilih digandeng atau dirangkul?"

"Ayo sudah buruan!" Maura menarik tangan Kendra menjauh dari teman-temannya.

"Aku ga pantas jadi pacarmu ya?" Tiba-tiba ucapan Harvey melintas diingatannya.

"Pikir aja sendiri." Maura melengos sebal. Ingin melarikan diri, tapi tangannya ditawan oleh Kendra dalam genggaman.

"Maaf ya, tapi aku beneran senang jadi pacarmu."

Maura menghentikan langkahnya. Sepanjang mengikuti kuliah, ia menimbang-nimbang dan telah mengambil keputusan yang terbaik menurutnya. Ia menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadap Kendra.

"Ken, sepertinya aku tidak bisa berpura-pura seperti ini. Setelah kupikir-pikir tadi, aku terlalu jahat sama kamu. Tidak seharusnya aku menjadikan kamu sebagai pelarian. Aku rasa sanggup menghadapi Harvey tidak perlu mengorbankan kamu. Maafkan aku ya, Ken. Lupakan saja apa yang kita bicarakan tadi siang." Perlahan ia melepaskan tangan Kendra yang menggenggam erat tangannya.

"Aku tidak mau. Biar saja kamu menjadikan aku pelarian, aku ikhlas. Kamu jahat dan jutek sama aku tidak apa-apa, aku sudah terbiasa. Malah itu hal yang aku suka darimu. Aku juga tidak merasa dikorbankan." Kendra menahan tangan Maura yang ingin lepas dari genggamannya.

"Tapi aku ga ada rasa sama kamu," ucap Maura tegas. Ia merasa kesal Kendra tidak mau mengerti perasaannya.

"Aku ada, aku suka sama kamu. Kalau ga ada rasa, ya diberi rasa. Simple." Kendra tersenyum lepas seolah itu baginya sangat mudah sekali. Gerutuan Maura sama sekali tak dihiraukannya.

"Jangan bercanda deh, Ken, aku serius!" Maura menghentakkan tangannya menghentikan langkah Kendra.

"Aku juga sedang tidak bercanda, Maura. Aku serius menjalani hubungan ini. Kalau kamu tidak suka bahkan benci denganku, tak apa. Aku hanya minta kamu memberikan satu kesempatan untukku. Seperti yang kamu bilang pada Harvey tadi, saat dia kembali padamu dan perasaanmu padanya masih sama ... aku akan melepaskanmu." Kendra memandang Maura sendu. Tatapan yang tak pernah ia berikan untuk siapapun.

Maura terdiam. Ia tak menyangka Kendra yang selalu usil dan bercanda jika berbicara dengannya, bisa serius seperti ini.

"Di depan apartementmu itu ada mie pangsit yang enak loh, yuk." Kendra kembali tersenyum lebar lalu menarik tangan Maura.

Gadis itu seperti terhipnotis, mau mengikuti kemana Kendra membawanya. Kendra memperlakukannya bak putri sama seperti Harvey memperlakukannya.

"Dua mie pangsit bakso sama es jeruk, Jang!" seru Kendra, "Pernah makan di sini?" tanyanya pada Maura yang masih mengunci rapat bibirnya. Gadis itu menggeleng.

"Hmm, kamu ga biasa makan di warung ya. Sekali makan di sini, pasti balik lagi."

Selanjutnya mereka berdua terdiam canggung saling melirik, tanpa tahu apa yang akan dibicarakan.

"Nah, akhirnya datang juga." Kendra mengusap kedua telapak tangannya begitu penjual menaruh dua mangkok di hadapan mereka.

Kendra memperhatikan Maura yang memandang jijik ceker ayam di dalam mangkoknya.

"Ga suka? Ya, sudah biar aku yang makan. Ini enak loh, bergizi dan banyak kolagen. Bagus untuk kamu, bisa buat awet muda dan kurangin keriput." Kendra mengulum ceker ayam dengan nikmatnya tak mempedulikan Maura yang memandangnya geli.

"Maksudmu aku banyak keriput?"

"Aku ga bilang gitu loh."

"Omonganmu sudah jelas, ceker ayam bagus untuk aku biar ga keriput."

"Semua orang pasti jadi tua dan keriput. Apa aku salah?"

"Ngomong sama kamu selalu bikin kesal!" Maura melepas sendok dan garpunya hingga berdenting.

Ini salah satu perbedaan antara Harvey dan Kendra. Jika Harvey selalu menjaga perasaan Maura agar selalu bahagia dan tersanjung, sebaliknya Kendra berkata apa adanya dan cenderung memancing kemarahan Maura.

"Maaf, maaf. Aku minta maaf. Makan lagi ya," bujuk Kendra. Pria itu mengambil sendok dan garpu milik Maura dan menaruhnya kembali di tangan gadis itu.

Perhatian Maura teralih pada pemandangan di seberang warung tempat mereka makan. Mobil Harvey baru saja memasuki halaman apartement mereka.

Harvey memutari mobil dan membukakan pintu bagi tunangannya. Tampak Harvey dan wanita itu turun dari mobil. Pria yang pernah menjadi kekasihnya itu, tampak bersemangat dan bahagia di sisi tunangannya. Seperti orang yang berbeda dengan pria yang ingin mempertahankannya tadi pagi.

Kendra mengikuti arah pandang Maura. Mata gadis itu mulai berkaca. Ia lalu memindah kursinya tepat di hadapan Maura sehingga menutupi pemandangan menyakitkan di seberang sana.

"Lihat aku saja." Kendra menghapus satu titik air mata yang menetes di pipi Maura.

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Widi Widurai

Widi Widurai

ah mama kendra ini, emg cowo cm bapaknya kendra doang.

2024-02-12

0

Lilis Yuanita

Lilis Yuanita

bagus critanya

2024-01-29

0

Dhinok Farrel

Dhinok Farrel

harpe masih kedanan reva....
Maura.....peluk Kendra aja

2023-05-29

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!