Pengkhianatan

Maura perlahan berjalan mundur. Tubuhnya masih ingin tetap di sana, tapi isi kepalanya memintanya untuk menjauh dari sana. Banyak pikiran dan kurang tidur, membuat kepala Maura terasa berputar. Sampai di depan lobby apartment, ia menjatuhkan diri berjongkok dan memegang kepalanya.

"Mbanya sakit?" petugas keamanan apartment menghampirinya.

"Tidak, Pak. Maaf." Maura mengusap wajahnya lalu kembali berdiri. Ia melanjutkan langkahnya menuju kampus dengan sedikit sempoyongan. Otaknya tak bisa digunakan untuk berpikir sama sekali. Ia hanya berjalan lurus dengan satu titik tujuan.

Pandangannya mulai mengabur ....

"Merepotkan saja!" sembur seorang pria begitu matanya mulai terbuka. Kendra, temannya dan juga Harvey saat di bangku SMU.

Maura mengedarkan pandangannya, ia mengenali ruangan itu. Ruang praktek fakultas kedokteran. Tanpa menanggapi ocehan Kendra, Maura bangkit berdiri dan akan turun dari ranjang.

"Mau kemana kamu?"

"Pulang."

"Tanda tangan dulu." Kendra menyodorkan selembar kertas yang berisi banyak kolom.

"Apa ini?"

"Laporan kesehatanmu. Kamu cukup sehat, hanya kurang minum dan istirahat. Aku kira kamu hamil, biasa seperti itu sih kalau mahasiswi pingsan tiba-tiba."

Celetukan Kendra membuat Maura melirik sebal.

"Aku tadi pingsan?"

"Kamu pingsan di depan mobilku. Pinter kamu, pingsan pakai milih tempat di depan mahasiswa kedokteran, biar cepat dapat pertolongan ya." Kendra tersenyum mengejek.

Menyadari tak ada orang lain selain mereka berdua di dalam ruangan, Maura memeriksa kondisi pakaiannya. Kemejanya masih terkancing rapat, tapi hidungnya mencium aroma minyak di tubuhnya.

"Kamu buka bajuku?!" Mata Maura spontan membesar.

Maura menghempas Kendra dengan tas yang ia bawa, "Kurang ajar!" Belum sempat Kendra membela diri, gadis itu sudah keluar dari ruang praktek fakultas kedokteran.

"Buset, dari dulu sampai sekarang masih galak aja." Kendra menggelengkan kepala geli. Sudah biasa baginya menghadapi sikap Maura yang ketus. Selama tiga tahun di bangku SMU, hubungan keduanya diwarnai dengan persaingan, adu mulut dan saling hina satu sama lain.

Sementara itu setelah berhasil mengusir Maura dari apartmentnya, Harvey kembali ke kamar dengan segelas air di tangannya.

"Harvey." Gadis yang berbaring di bawah selimut, menegakkan tubuhnya dan memandang pria yang baru masuk itu dengan mesra.

"Aku tidak menyimpan air dingin, hanya ada ini." Harvey duduk di tepi ranjang. Matanya memindai tubuh gadis yang semalam menyematkan cincin pertunangan di jarinya.

Mulai leher hingga kulit dada yang terbuka, dihiasi bercak merah keunguan hasil karyanya semalam. Harvey menelan salivanya kasar mengingat bagaimana semalam untuk pertama kalinya ia merasakan nikmatnya berhubungan intim.

"Kamu kenapa?" Telapak tangan Reva menyentuh dada Harvey yang telanjang.

Mata Harvey mengikuti bagaimana lembut dan menggodanya jari Reva bermain di sana. Baru ia sadari tak hanya di tubuh Reva bercak kemerahan itu ada, dada dan lehernya pun tak kalah penuhnya dengan bukti percintaan mereka semalam. Harvey menyugar rambutnya, ia merasa bodoh telah mengatakan pada Maura bahwa semalam tak terjadi apapun, tapi bekas ciuman serta goresan kuku telah menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.

"Maaf semalam aku ...." Harvey tak sanggup melanjutkan, ia terlalu malu untuk mengakui kalau sebenarnya ia juga sangat menikmati hubungan semalam.

Awalnya ia bersikap dingin semalam, tapi langsung luluh begitu melihat Reva satu persatu melepas kain yang menutupi tubuhnya.

Malam itu setelah melihat kekasihnya terpukul atas pertunangannya dengan gadis pilihan orangtua, Harvey menunjukan sifat aslinya di depan Reva. Kalau sebelumnya ia berusaha bersikap manis demi agar Papanya senang, tapi tidak malam itu.

"Harvey ... Harvey, kamu mau kemana?" Reva menarik lengan Harvey ketika pria berwajah oriental itu baru saja keluar dari toilet dengan langkah tergesa. Ia ingin segera menghampiri dan memeluk Maura untuk menenangkan kekasihnya itu.

"Aku ada urusan," sahut Harvey tak acuh. Sejak di atas panggung, Reva tahu Harvey sudah menunjukan sikap tak sukanya.

"Acara belum selesai, kamu juga belum makan."

"Aku makan di luar. Kamu saja yang temani orangtua kita menemui tamu."

"Jangan begitu, Harvey. Kembalilah sebentar, setelah itu kamu boleh pergi kemana saja." Dengan matanya, Reva memberi kode lirikan ke tengah ruangan di mana kedua orangtua mereka sedang memperhatikan.

Harvey menghembuskan nafas panjang dan kesal, tapi ia mengalah mengikuti Reva yang menarik tangannya.

"Kamu mau kemana, sepertinya terburu-buru?"

"Saya ... mau ambil barang yang tertinggal di apartement, Om."

"Seberapa pentingnya sampai kamu mau meninggalkan Reva sendiri?" kali ini Papanya yang menginterogasi.

"Tugas untuk besok, Pa. Aku lupa besok harus sudah selesai."

"Ajaklah Reva ke apartmentmu biar dia tahu akan mencarimu di mana jika kamu sulit dihubungi." Usulan Papa itu sontak membuat kedua matanya membesar.

"Kalau begitu kita sekalian cari makan di luar saja. Harvey sepertinya tidak suka keramaian, Om. Sejak di atas panggung, Harvey seperti tidak tenang." Reva melingkarkan tangannya di lengan pemuda itu. Andaikan itu dilakukan bukan di depan kedua orangtua mereka, Harvey tentu akan meminta gadis itu untuk melepaskan tangannya.

"Iya, Harvey ini anak yang pendiam. Pergilah, Harvey ajak Reva makan malam di luar."

Tak ada pilihan lain, Harvey membiarkan Reva ikut dengannya. Itu berarti malam ini, ia harus menunda pertemuannya dengan Maura.

Setelah makan malam seadanya yang ia temukan searah perjalanannya, Harvey mau tak mau membawa Reva ke dalam apartmentnya.

"Tempatnya kecil dan hampir tak ada isinya. Apartment ini aku gunakan untuk darurat saja, kalau kemalaman acara senat atau ada tugas aku pulang kemari," jelas Harvey sembari melempar kunci mobil di atas meja.

"Hmmm, tapi nyaman." Reva menjatuhkan tubuhnya di atas sofa angin. Belahan gaunnya langsung tersingkap begitu ia duduk bersantai di sofa angin milik Harvey.

Harvey yang baru saja keluar dari kamar mengambil buku apapun untuk sekedar menutupi kebohongannya, tertegun melihat pemandangan indah di ruang tamunya.

"Ayo, kita kembali." Harvey memalingkan kepalanya.

"Duuh, baru juga sampai. Lama di jalannya, kita tunggu sebentar ya." Reva menepuk sofa di sebelahnya. Hanya ada dua sofa angin berukuran satu orang di sana, Harvey tak dapat memilih lagi.

"Harvey, kamu dari dulu ga berubah. Pemalu." Reva mencondongkan tubuhnya sangat dekat dengan Harvey, "Tapi itu yang bikin aku suka sama kamu. Kamu itu beda sama pria lain, selalu buat aku penasaran. Aku senang bisa menjadi pasanganmu, Harvey." Lama kelamaan jarak wajah mereka semakin terkikis. Suara Reva semakin lirih dan berbisik.

Wanita itu yang pertama kali menempelkan bibirnya dan ia tidak menolak, karena Reva sangat pintar dan membuainya.

Sangat jelas dalam ingatannya, bagaimana di menit-menit selanjutnya dirinyalah yang mengendalikan permainan. Ia sangat candu dengan desah dan rintihan merayu yang keluar dari bibir Reva.

"Harveeeeyyy, please don't leave me ... aahhhh ...."

Raungan panjang Reva untuk yang kesekian kali, membawanya ke puncak tertinggi dalam kegiatan panas mereka.

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Rawin Usman

Rawin Usman

lanjut kak...

2023-07-27

0

Dhinok Farrel

Dhinok Farrel

katanya gak suka...tp ya tetep lah ya ..namanya juga kucing, dikibas² ikan asin depan hidungnya, ya nyosor lah....ena²....😁

2023-05-29

0

blecky

blecky

sma2 murahan Baek laki dan oermpuan e dan kyk e si reva udh ahlix dlm wik2

2023-05-17

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!