Seatap bersamamu

Sejak malam itu hubungan Harvey dengan Reva semakin lekat dan intim. Kegiatan panas di atas ranjang merupakan suatu kebutuhan karena sudah menjadi candu baginya, tapi Harvey masih belum bisa melepaskan Maura begitu saja. Hubungannya dibiarkan menggantung dengan alasan palsu yang ia utarakan pada kekasihnya.

"Sampai kapan, Harvey?" Maura menatapnya sendu lewat panggilan video.

Sudah lebih dari seminggu ini Harvey memintanya untuk berpura-pura jika mereka sudah tidak ada hubungannya lagi.

"Sabar ya, Sayang. Demi kebaikan kita berdua. Perusahaan Papaku sedang mengalami kerugian besar karena salah perhitungan, dan saat ini Papa butuh orang yang bisa menopang keuangan sampai perusahaan bisa kembali pulih. Orang yang bersedia membantu hanyalah Papanya Reva. Aku harus berpura-pura menjadi kekasihnya agar Papanya senang."

"Yaaa, tapi sampai kapan? Aku takut kalau kamu nanti jadi semakin nyaman dengan dia dan melupakan aku." Air mata Maura tak terbendung lagi antara rindu dan kecewa. Harvey membatasi pertemuan mereka hanya melalui telepon atau panggilan video.

"Sebentar lagi. Setelah ini, aku langsung melamarmu. Aku mohon, kamu mau menungguku, Sayang."

Maura mengangguk, baginya jauh lebih baik seperti ini dari pada Harvey mendiamkannya seperti beberapa waktu lalu. Untuk penemuannya di apartment Harvey, kekasihnya itu mengatakan kalau dia bertelanjang dada karena bajunya terkena muntahan Reva yang sakit dan harus beristirahat. Entah terlalu polos ataukah terlalu cinta buta, Maura percaya begitu saja saat Harvey berkata sembari memohon-mohon agar ia percaya.

Maura menjalani hari-harinya penuh dengan kepalsuan. Di depan teman-temannya, ia berusaha terlihat ceria dan tidak merasa terpukul atas pemberitaan pertunangan Harvey.

"Ada baiknya lelaki tanpa pendirian itu pergi dari hidupmu sebelum kamu menikah dengannya," ucap William, Kakak laki-lakinya.

"Fokuslah menyelesaikan kuliahmu, jangan memikirkan pria. Kamu pintar dan cantik, akan banyak pria tulus yang akan mendekatimu. Jika kamu sudah ditaraf sukses nanti, disakiti pria semacam ini tidak akan membuatmu terpuruk." Papanya berganti memberikan nasihat.

"Papi lihat sendiri, aku tidak merasa terpuruk. Tentang aku dengan Harvey, kami sedang dalam masa interopeksi. Soal jodoh, apakah nanti aku akan bertemu orang lain atau kembali lagi dengan Harvey kita lihat saja nanti." Maura memasang senyum di depan anggota keluarganya yang sedang berkumpul di sekitar meja makan.

"Kembali dengan dia? Coba kamu pikirkan lagi, dia sudah mengkhianatimu, Maura." William berdecak kesal.

Nasihat serta perdebatan dari anggota keluarganya sudah ia alami sejak berita pertunangan Harvey tersebar. Tiap hari mendengar hal yang sama, lama kelamaan membuat Maura muak dan tertekan.

"Pi, Ma, aku ambil kost atau apartment dekat kampus ya. Bulan depan sudah mulai buat tugas akhir, pasti akan banyak tugas dan praktek."

"Kalau kamu merasa capek di jalan, bisa ambil sopir."

"Tidak maksimal, Pi. Waktunya habis di jalan." Maura menatap penuh harap saat Papa dan Mamanya saling berpandangan, "Aku janji akan jaga diri dan setiap akhir pekan tidur di rumah," tambah Maura sebelum ada kata penolakan.

"Baiklah, tapi yang pengamanannya ketat."

Maura tersenyum lega. Ia membutuhkan waktu dan ruang untuk menjadi diri sendiri. Jika hidup sendiri, tidak akan ada yang bertanya mengapa matanya bengkak saat pagi hari. Tak ada yang mempermasalahkan jika ia menangis sepanjang hari karena rindu yang tak tersampaikan, dan yang paling penting keluarganya tak akan tahu jika dia masih berhubungan dengan Harvey.

Maura memandang puas tatanan perabot sederhana yang ia bawa dari rumah. Pilihannya jatuh pada gedung apartment yang sama dengan Harvey. Ia mengambil unit di lantai yang sama dengan jarak hanya lima kamar.

'Harvey, kamu di mana? Aku punya kejutan untukmu'

Maura memberanikan diri mengirim pesan duluan pada Harvey. Padahal, kesepakatan mereka hanya Harvey yang boleh mengirimkan pesan atau menghubungi Maura terlebih dahulu.

Lama tak ada balasan. Pesan itu juga tak ada tanda-tanda apakah Harvey sudah membacanya atau tidak. Maura menanti dengan resah, ia tak sabar melihat reaksi kekasihnya itu jika mereka sudah bertetangga sekarang.

Hampir malam, balasan Harvey tak kunjung tiba. Maura memutuskan keluar untuk mencari makanan. Tak sampai dipikirannya, jika hidup sendirian akan merasa kesepian seperti sekarang ini.

Tak berselera makan, ia hanya membeli beberapa cup mie instan di mini market untuk makan malamnya, lalu segera kembali ke apartment.

Saat pintu lift akan tertutup, tangan Harvey menghalangi pintunya. Maura sudah hampir berteriak dan memeluk kekasihnya itu, tapi kemunculan seorang wanita di balik punggung Harvey mengurungkan niatnya.

Mata Harvey membesar, ia tak menyangka bertemu Maura di dalam lift gedung apartmentnya. Kekasihnya itu berdiam diri di sudut tabung lift dengan tangan memeluk plastik belanjaan.

'Mau apa dia kemari? Kenapa bajunya seperti itu?' Harvey melirik penampilan Maura yang hanya memakai pakaian rumah.

Dari tampilan pintu lift yang mengkilat, Maura bisa melihat bagaimana manjanya wanita itu bergelayut di lengan kekasihnya. Sesekali wanita itu memandang Harvey dan tersenyum mesra.

Perjalanan menuju ke lantai kamar mereka terasa sangat menyiksa Harvey dan Maura. Begitu pintu lift terbuka dan Maura ikut keluar serta berjalan di belakangnya, Harvey hampir saja berteriak agar gadis itu berhenti mengikutinya dan segera pulang. Namun, Maura berbelok dan membuka sebuah pintu kamar.

"Cantik ya."

"He? Siapa?"

"Gadis yang di dalam lift bersama kita tadi." Reva memandangnya dengan cemberut.

"Mm, aku kurang memperhatikan." Harvey menggeleng gugup.

"Bohong, aku tahu sejak di dalam lift kamu sering curi-curi pandang dengan gadis itu." Reva mulai merajuk.

"Ow, itu karena aku merasa asing. Sepertinya penghuni baru."

"Tapi dia cantik 'kan?"

"Lumayan sepertinya," sahut Harvey tak acuh.

"Pasti kamu nanti tertarik kalau kalian sering bertemu seperti tadi."

Harvey mendekati wanita yang sudah ia tiduri berulang kali itu. Reva seorang anak tunggal yang manja. Pesan Papa padanya, jangan sampai Reva terluka dan mengadu pada orangtuanya, karena Reva segalanya bagi rekan bisnis Papanya itu.

"Untuk apa tertarik dengan wanita lain, kalau sudah ada yang jauh lebih cantik?" Harvey menarik pinggang Reva sedikit kasar dan sensual, karena memang seperti itulah yang diinginkan wanita itu, "Aku sudah bawa," bisik Harvey di telinga Reva.

Harvey mengambil kotak berisi alat kontrasepsi dan mengedipkan sebelah matanya. Reva melunak, ia menggigit bibirnya dan mulai bergerak dengan sensual. Satu hal yang Harvey tahu kelemahan Reva adalah s eks, dan itu juga yang sekarang menjadi kegemaran barunya.

Di lantai yang sama dengan jarak beberapa meter, Maura menangis meraung dengan kepala ia sembunyikan di bawah bantal. Tangisannya beradu dengan suara desa han dan erang kenikmatan dari kamar Harvey.

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Dhinok Farrel

Dhinok Farrel

Maura?...ehmmmm....polos ato gak pinter ya...

2023-05-29

0

blecky

blecky

rmh sblah bsa kedengarn waw hbat desahan e kwkwkwkw

2023-05-17

0

Retno Palupi

Retno Palupi

sampai kapan kamu dibohongi Maura, semoga dg tinggal d tempat yg sama bisa membuka kesadaran mu

2023-04-27

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!