Jahat

Ketukan pintu yang meminta untuk dibukakan, berubah menjadi gedoran yang akhirnya memaksa Maura membuka pintu kamarnya.

"Ada apa?" Maura mengintip dari celah pintu yang masih tertahan dengan kunci rantai. Empat jam setelah mereka bertemu di lift, baru ini Harvey mendatanginya.

"Apa kita harus bicara di depan pintu seperti ini?"

"Mau bicara apa? Mau bilang kalau aku harus sabar melihat pemandangan seperti itu setiap hari?"

"Buka dulu, Maura. Tidak enak dilihat orang kita ribut diluar seperti ini." Harvey mencoba mendorong pintu kamar Maura.

"Ya sudah kalau begitu tidak perlu mengobrol." Maura akan menutup pintu, tapi Harvey menahannya agar tak tertutup sepenuhnya.

"Kamu kenapa sih?" Suara Harvey semakin meninggi.

"Kamu yang kenapa baru kemari, sudah puas berduaan?" balas Maura dengan mata berkaca.

"Oke, oke tenang dulu. Mari kita bicara baik-baik. Kamu kenapa mendadak pindah kesini?" Harvey berusaha menekan emosinya. Beruntung hasratnya sudah tersalurkan pada Reva tadi, kalau tidak pintu kamar Maura sudah didobraknya.

"Memangnya kenapa? Aku hanya ingin dekat dengan kampus."

"Dari sekian banyak pilihan apartment di sekitar kampus, mengapa kamu memilih di sini dan dilantai yang sama denganku? Apa kamu sudah tak percaya denganku dan mau memata-mataiku?"

"Apa aku tidak boleh dekat denganmu walau hanya sekedar kamar yang berjajar. Apa aku terlihat mengganggumu saat kamu bersama dengan selingkuhanmu tadi? Aku masih kekasihmu 'kan Harvey?" Maura menjerit histeris. Mereka masih berbincang dari balik celah pintu yang sempit.

"Sssttt, tenang Maura. Ini yang aku tidak suka jika kamu melihatku dengannya. Kamu tidak bisa mengendalikan emosimu. Sudah kubilang, aku hanya bersandiwara sebentar saja demi orangtuaku, jangan sampai hubungan kita diketahui dan menggagalkan semuanya. Dia bukan selingkuhanku, Maura, tak terjadi apapun dengan dia. Kamu masih percaya aku?" Tangan Harvey menyelinap membelai wajah Maura.

"Aku ga tahu harus percaya padamu atau tidak. Aku tidak bisa terus-terusan melihat kamu dan perempuan itu saling mengumbar kemesraan seperti tadi." Maura menangis dengan tangan Harvey memegang pipinya.

"Kamu yang menyiksa dirimu sendiri dengan pindah kemari. Baiknya kamu pindah ke tempat lain ya, Sayang," rayu Harvey.

Maura menggeleng tegas, "Aku ga mau. Aku mau selalu dekat sama kamu, tidak apa-apa kalau aku harus melihatmu bersamanya asal kamu tepati janjimu kalau ini hanya sandiwara dan sementara."

"Maura, dengarkan aku. Kamu bisa mengacaukan segalanya jika hubungan kita ketahuan. Pernikahan kita bisa gagal. Kamu besok pindah ya, Sayang." Tangan Harvey di pipi Maura terasa sedikit mengencang.

"Aku tetap di sini, aku tidak akan mengganggumu." Maura bersikukuh.

"Sh it, Maura! Kamu harus pindah besok!" Usapan lembut tangan Harvey berubah menjadi cengkraman keras di pipi dan rahang Maura.

"Aku ga mau!" Maura menepis tangan Harvey dan langsung menutup pintu kamar mengakibatkan tangan pria itu sempat terjepit.

"Sialan, Maura! Keras kepala sekali kamu!" Harvey meringis kesakitan. Kakinya menendang dan pintu kamar Maura dan memaki gadis itu.

Maura berjalan mundur dan duduk di tepi ranjang. Ia merasa ketakutan melihat kekasihnya yang selalu lembut, berubah menjadi kasar dan pemarah. Ia masih dapat mendengar suara Harvey merutuki dirinya sembari berjalan kembali ke kamarnya.

Pagi-pagi sekali Maura sudah berangkat ke kampus, ia masih takut bertemu dengan Harvey karena sikapnya semalam.

"Hei." Tepukan Hera di pundaknya membuat Maura terkejut, "Tegang betul."

"Ada apa?" tanya Maura malas.

"Aku yang harusnya tanya, ada apa dengan dirimu. Sejak putus dengan Harvey, kamu seperti zombie."

"Aku belum sepenuhnya putus dengan dia, Her." Mata Maura menerawang jauh.

"Maksudnya dia belum ada kata putus tapi sudah tunangan dengan cewek lain? Wah, kalau aku jadi kamu tinggalkan saja laki-laki seperti itu, karena dia sudah berani membawa tunangannya ke kampus. Itu secara tidak langsung dia sudah memutuskan hubungannya denganmu."

"Bawa tunangannya ke kampus?" Kesadaran Maura kembali, ia menoleh pada Hera dengan tatapan tak percaya.

"Iya, beberapa hari ini ceweknya sering nungguin di gedung kedokteran. Pagi ini juga ada kok, aku tadi lihat mereka duduk di taman fakultasnya. Temannya mantanmu itu, sudah pada tahu semua. Sudahlah Maura, move on kamu itu cantik. Cowok-cowok yang tahu kamu putus dari Harvey, sudah pada ngantri. Hei, Maura, mau kemana kamu?"

Maura tak menghiraukan suara Hera yang memanggilnya. Dadanya panas diliputi oleh kemarahan. Ia tidak menyangka Harvey tega membawa wanita itu di lingkungan yang sama dengannya. Selama ini yang ia tahu dan mereka sepakati bersama, hubungan palsu Harvey dan wanita itu hanya ada di sekitar keluarganya. Jika pemberitaan pertunangannya sampai ke teman-temannya, tidak jadi masalah asal jangan orangnya!

Benar apa yang dikatakan Hera, ia menemukan wanita itu sedang duduk di taman bersama Harvey dan teman-temannya. Maura meremas tali tas selempangnya, ia menguatkan diri untuk hadir di tengah-tengah mereka. Ia ingin menguji dan melihat reaksi kekasihnya, jika ia tiba-tiba muncul saat pria itu sedang bersama tunangan sandiwaranya.

Tawa orang-orang yang berkumpul di taman, berangsur-angsur mereda. Teman-teman Harvey saling sikut, begitu Maura berjalan mendekati mereka. Wajah Harvey seketika menegang.

"Harvey." Mata Maura fokus pada reaksi wajah kekasihnya yang berpura-pura tak melihat kedatangannya.

Salah seorang temannya, mencolek Harvey dan memberi kode dengan matanya. Mau tidak mau Harvey mengangkat kepalanya dan menatap Maura.

"Aku mau bicara."

"Siapa, Sayang?" Maura bisa mendengar wanita itu berbisik dengan tubuh merapat pada Harvey.

"Anak design, aku minta dia buatkan contoh design ruang praktek. Sebentar ya." Harvey berjalan mendekati Maura.

"Semalam diajak bicara tidak mau, kenapa harus kemari? Kamu mau cari masalah? Kembalilah nanti kita bicara," bisik Harvey tegas.

"Aku mau bicara sekarang."

Harvey yang sudah membalikkan badan dan akan kembali ke sisi Reva menghentikan langkahnya.

"Dek, nanti saja ya diskusinya, kami masih ada urusan. Kalau sudah ada gambarnya mungkin bisa dilihat dulu." Reva menghampiri keduanya. Tangannya selalu spontan melingkari lengan Harvey.

Mata Maura terpaku pada dada Reva yang sangat rapat pada lengan Harvey. Kekasihnya itu pun hanya diam dan tampak biasa saja.

"Aku pacar, Harvey. Kami berencana menikah setelah dia lulus nanti." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Maura.

"Benarkah?" Reva memandang Harvey dan Maura bergantian.

"Bicara apa kamu?" Harvey tertawa sumbang, "Jangan heran, beberapa mahasiswi di sini terkenal berani dan agresif." Harvey berbisik pada Reva dan Maura masih dapat mendengarnya.

"Harvey." Maura berdesis kecewa.

"Maaf, Dek, tapi kami sudah bertunangan." Reva menunjukan cincin di jari manisnya.

"Aku tahu, tapi hubungan kami jauh lebih lama sebelum kamu datang dan mengacaukan semuanya!"

"Maura!"

"Ah, Harvey ini sungguh memalukan. Aku seperti wanita perebut lelaki orang di sini. Selesaikan urusanmu dengannya dan buktikan padaku kalau apa yang diucapkannya omong kosong, kalau kamu masih ingin meneruskan pertunangan kita." Reva menyembunyikan wajahnya dari tatapan mahasiswa yang penasaran dengan keributan mereka.

Harvey menatap Maura geram, lalu meludah ke rumput tepat di depan ujung sepatu Maura dan berkata "Berhenti menggangguku lagi."

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Dhinok Farrel

Dhinok Farrel

lah.maura..mau² nya ngomong baek² sama harpe....
jgn kuatir Maura, ntar ludah harpe balik mental ke muka harpe sendiri...
kamu nya yg tangguh atuh

2023-05-29

0

blecky

blecky

Maura bodoh udh kyk bgtu dan dgan desaha. msh ae ngemis cnta ma lelaki murahan

2023-05-17

0

moerni🍉🍉

moerni🍉🍉

duh...jauh²in dari Maura deh...cowok kaya gni...ga pantess

2023-05-08

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!