Kenyatan pahit

"Bapak dan Ibu, dimohon berdiri mari kita sambut yang sedang berbahagia, keluarga besar Bapak Bramantyo Aditomo beserta Ibu diiringi putra tunggal mereka Harvey Aditomo."

Senyum Maura terkembang lepas, ia menghela nafas lega mendengar nama yang akrab di telinga disebut oleh pembawa acara. Setidaknya ia tidak salah memasuki gedung.

Dari kejauhan ia dapat melihat kedua orangtua Harvey saling berjalan berdampingan dan sesekali melambai pada para undangan yang mereka lewati.

"Selamat datang juga Bapak Maryono beserta Ibu dan putrinya yang cantik. Wah, sulit dibayangkan bagaimana kuat dan besarnya perusahaan keduanya jika putra dan putri mereka menikah nanti."

Maura mengerutkan kening mendengar nama asing yang disebutkan pembawa acara. Ia memanjangkan lehernya berusaha melampaui pandangannya yang terhalang bahu yang lebih tinggi darinya.

Di belakang Harvey dan kedua orangtuanya, tampak sepasang suami istri lain yang saling bergandengan tangan. Di belakang pasangan suami istri itu, tampak seorang gadis cantik berambut sebahu tersenyum tersipu.

'Siapa mereka? Mengapa memakai baju senada dengan keluarga Harvey? Apakah mereka keluarga Harvey? Tapi mengapa pembawa acara itu mengatakan tentang pernikahan? Apa aku tidak salah dengar?'

Beribu pertanyaan menghujani isi kepala Maura. Berbagai dugaan menakutkan muncul, tapi hatinya menolak. Namun begitu sepasang suami istri itu naik ke atas panggung bersama putrinya dan berdiri sejajar dengan keluarga Harvey, Maura semakin resah.

Sambutan dan ucapan terima kasih disampaikan oleh Papa Harvey dilanjut dengan pemotongan kue ulangtahun yang tinggi menjulang. Semua wajah di atas panggung tersenyum lebar, hanya Harvey yang tampak tertekan. Bola matanya liar menyapu di antara para undangan.

Begitu pandangan keduanya bertemu, Harvey membesarkan matanya lalu menunduk seketika. Ponsel dalam tas Maura bergetar, ia mengambil benda pipih dalam tasnya tanpa mengalihkan pandangannya dari pria yang berdiri di atas panggung.

'Kenapa kamu datang? Pulanglah, aku mohon.' Pesan singkat dari Harvey.

Pesan yang secara tidak langsung mengusirnya, namun tambah membuatnya semakin penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi?

Isi kepalanya seolah berteriak memerintahkan agar ia lari dari sana, tapi kaki dan matanya terpaku tak mau pergi. Maura tak melewatkan sedikitpun hal kecil yang terjadi di atas panggung.

Gadis di sisi Harvey berulangkali berusaha mengadakan interaksi dengan kekasihnya itu, tapi Harvey terus menunduk dengan kedua tangan di dalam saku celana.

"Di malam yang istimewa ini, ada kabar bahagia lainnya. Selain perayaan ulangtahun pernikahan Bapak Bramantyo serta Ibu, malam ini kita semua menjadi saksi atas bersatunya dua perusahaan mega karya di bidang pertambangan. PT. Aditama serta PT. Maryoga menjadi PT. Marditama yang akan rencananya kedepan akan dipimpin oleh anak-anak beliau."

Tepuk tangan serta gaung musik membahana mengiringi kabar yang disampaikan pembawa acara. Kedua keluarga di atas panggung tersebut saling bersalaman.

'Rupanya penggabungan dua perusahaan besar.' Maura tersenyum tipis, 'Tapi kenapa Harvey seperti tak senang seperti orangtuanya? Kenapa juga tadi ia memintaku pergi dari sini?'

"Dan malam ini juga, selain dua perusahaan mega yang bersatu, kita semua akan menjadi saksi penting bagaimana dua insan calon pemimpin PT. Marditama akan mengikat janji pertunangan mereka."

'Pertunangan?'

Darah di tubuh Maura seolah berhenti mengalir. Semua tampak bergerak lambat di sekelilingnya. Suara tepuk tangan yang menggema di telinganya terdengar semakin jauh dan samar.

Seorang karyawan naik ke atas panggung, membawakan sebuah nampan yang diatasnya terdapat dua kotak kecil berwarna merah.

"Harvey, saya selaku orangtua Reva meminta padamu untuk menjaga hubungan ini hingga kalian menikah nanti." Harvey mengangguk samar.

"Ada sepatah dua patah kata yang ingin Mas Harvey sampaikan pada Mba Reva?" Pembawa acara menyodorkan pengeras suara ke hadapan wajah Harvey. Tak memberikan kesempatan pria itu untuk menolak apalagi menghindar.

"Re-reva maukah kamu menerima aku menjadi suamimu kelak?" Tangan Harvey meremas cincin dalam genggamannya.

"Aku mau, Harvey." Reva mengulurkan telapak tangannya. Tepuk tangan kembali terdengar dari para undangan ketika kekasih Maura itu, menyematkan cincin pertunangan di jari manis wanita lain.

Mulut Maura terbuka lebar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia masih duduk di tempatnya menanti kalimat dari pembawa acara bahwa ini adalah drama atau gurauan belaka.

Namun raut wajah dua keluarga yang bergembira dan saling berpelukan di atas panggung, mematahkan harapannya. Gadis yang disebut Reva itu tersenyum bahagia sembari memutar-mutar cincin yang baru saja dipasang Harvey di jarinya. Sedangkan pria yang masih berstatus kekasihnya itu, masih terus menunduk seperti menghindar dari pandangan Maura.

'Lihat aku, Harvey, tolong lihatlah aku di sini!' Maura menjerit dalam hati.

Seolah pesan dalam hatinya tersampaikan, Harvey melirik ke arah Maura yang berada di sudut ruangan. Ia berharap Harvey turun dari panggung dan meminta maaf lalu mengatakan semua ini ia rancang hanya untuk memberi kejutan padanya. Bahwa wanita yang seharusnya Harvey lamar adalah dia.

Dari atas panggung, Harvey dapat melihat sorot mata kecewa dan sedih di mata Maura. Ingin ia berteriak dari atas panggung, 'keluar dari sini! Sudah ku katakan kamu tak perlu datang kemari!'

Kalau bukan karena Papanya yang memintanya mengundang Maura, ia tidak menginjinkan kekasihnya itu tahu acara malam ini.

"Sekarang atau tidak, Harvey. Jauh lebih baik ia tahu sendiri lalu menghilang dari kehidupanmu."

"Tapi aku masih cinta, Pa. Ini terlalu cepat, tolong beri aku waktu. Aku akan minta pengertian Maura." Harvey mengusap wajahnya kasar.

Papanya menekannya agar mengundang Maura di malam pertunangannya dengan Reva, karena dengan cara itulah kekasih putranya tahu jika Harvey bukan miliknya lagi. Dengan begitu putranya tak perlu repot-repot memutuskan hubungan mereka.

"Terlalu beresiko, Harvey. Bagaimana jika Reva dan orangtuanya tahu kamu punya pacar?"

"Aku memang punya pacar, Pa! Papa juga tahu dan merestui hubungan kami. Kenapa juga Papa tidak meminta pendapatku dulu sebelum menawarkan aku seperti barang dagangan?" Harvey meluapkan emosinya.

"Papa kira kita sudah sepakat soal ini, Harvey." Papa memandangnya lelah, "Kalau kamu lebih senang Papa masuk penjara dan kuliahmu putus sebelum wisuda, lakukan saja keinginanmu. Papa juga tidak yakin kekasihmu itu dan keluarganya masih mau menerimamu setelah kamu jatuh  miskin dan punya orangtua narapidana." Papa melepas kacamatanya lalu berdiri dan meninggalkannya sendiri di ruang kerja.

Setelah cukup lama menimbang situasi, Harvey mengirimkan pesan pada Maura. Ia berharap kekasihnya itu masih marah padanya karena telah mengabaikannya beberapa hari ini dan tidak menerima undangannya. Sampai malam acara pun, ia masih berharap Maura tidak datang dan melihatnya berdiri di sisi wanita lain.

Namun harapannya sirna ketika ia melihat mata yang selalu bersinar jika melihatnya ada diantara ratusan pasang mata di bawah panggung. Namun sekarang mata itu juga berkilau melihatnya, tapi bukan karena cinta melainkan air mata yang menggenang.

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Mutia Kim🍑

Mutia Kim🍑

nyesek banget sih kalau ada di posisi Maura😭😭

2023-06-16

0

Ra2_Zel

Ra2_Zel

kalau g mau ketahuan, ngapain kamu ngasih tahu si Maura. Dasar aneh!

2023-06-06

0

Sui Ika

Sui Ika

ribet amat, agak lain emang si Harvey.
cowok gak ada bijak bijaknya. mimpi apa dia direbutin dua cewek. ganteng kali ya. 🤔, Dah lah...

2023-06-05

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!