Tidak ada penanganan khusus sehingga kaki Kasmirah mulai melepuh. Sangat panas memang, tetapi Kasmirah seolah sengaja membiarkan dirinya tanpa penanganan.
"Bu, Ayu pamit dulu, ya. Ayu nggak enak hati kalau mas Is nanti pulang," pamit Ayu.
Ayu sengaja berpamitan karena merasa tidak enak hati. Terlebih lagi kondisi Kasmirah seperti itu yang nantinya bakal mengundang keributan maupun kesalahpahaman antara Hanum dan suaminya. Ayu tidak mau terlibat di dalamnya. Cukuplah sebagai calon madu Hanum yang rumit.
"Iya, kamu pulang aja. Ibu minta maaf nggak bisa menjamu dengan baik."
"Gak apa-apa, Bu. Lain kali Ayu akan datang lagi."
Hanum yang ada di tempat tidak bergeming sedikit pun. Dia hanya mendengar interaksi ibu mertuanya dengan Ayu yang sebenarnya menjadikan Hanum sebagai pihak yang tersakiti. Namun, mereka sama sekali tidak menyadarinya.
Setelah Ayu pergi, Hanum masih membiarkan ibu mertuanya merintih kesakitan. Lukanya memang tidak terlihat, tetapi rasa sakitnya tetap berasa. Sampai pada Ismawan pulang bekerja, Kasmirah masih saja merintih.
"Loh, kaki Ibu kenapa?" tanya Ismawan.
"Ini semua gara-gara Hanum, Is. Kamu tahu kan kalau ibu seharian sudah mengurus rumah, tetapi saat Ayu datang ke sini, dia sama sekali nggak mau bikin teh untuk Ayu," ujar Kasmirah sengaja menebar fitnah.
Hanum yang mendengar suara Kasmirah dan suaminya segera keluar dari kamar. Dia memang melihat suaminya sedang berjongkok di hadapan ibu mertua untuk melihat kondisi kakinya.
"Bu, ini kenapa, sih? Kok kayak bekas apa, ya?" Ismawan sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi sebenarnya.
"Iya, Is. Ini kena air panas. Kaki ibu rasanya melepuh sekali. Hanum nggak mau ngobatin ibu. Dia malah enak-enakan rebahan di kamar. Makanya jangan dimanjakan, Is. Semakin dimanja, dia akan ngelunjak. Ibu capek ngadepin mantu modelan seperti itu. Ibu maunya kamu segera nikah sama Ayu. Ayu jauh lebih baik ketimbang Hanum. Kamu sih ngeyel aja buat ngejar dia. Lihat ibu sekarang! Dia nyiksa ibu, Is."
Ismawan memang tidak tahu keadaan rumah. Namun, pemikirannya tentang Hanum berubah setelah melihat kondisi ibunya. Setelah mengecek kaki yang memang melepuh, tangan Ismawan mengepal kuat. Dia seolah ingin mengungkapkan amarah yang tertahan selama ini.
Ismawan sebenarnya malas ribut. Dia berharap dua wanita yang tinggal bersamanya bisa saling mengerti dan memahami situasinya. Ismawan bekerja siang malam tanpa memikirkan dirinya sendiri, sekarang malah melihat kekacauan rumahnya semakin tidak terkendali. Entah, dia bisa percaya ibunya yang ternyata penebar fitnah atau malah percaya sama istrinya sendiri yang sudah menjadi korban kezaliman ibunya.
Kasmirah sangat pandai membuat anaknya dalam dilema. Jelas saja dia lebih paham karena sejatinya Ismawan sangat menyayangi ibunya setelah ditinggal meninggal oleh bapaknya.
"Mas, kamu sudah pulang, ya," sapa Hanum yang mencoba mendekat.
Ismawan bangun dari tempatnya berjongkok. Dia menatap istrinya dengan tatapan nyalang. Ribuan pertanyaan bergelayut manja di dalam otaknya. Namun, cuma satu pertanyaan yang membuat Hanum semakin tidak bisa mengendalikan diri.
"Num, apa yang kamu lakukan pada Ibu?"
Bagaikan disambar petir di siang hari. Hanum jelas terkejut. Pernikahan macam apa ini? Bahkan suaminya malah lebih berpihak pada ibunya. Secara umum, wajar kalau Ismawan memihak Kasmirah. Namun, secara kebenaran harusnya Ismawan menyelidiki dulu baru mengambil kesimpulan. Bukannya sepihak langsung menuding tanpa tahu kenyataannya.
"Aku nggak melakukan apa pun, Mas. Kan kamu tahu kalau aku harus istirahat di kamar. Kamu juga kan yang bilang kalau aku nggak bisa bantu, ya jangan dipaksakan. Ucapan Mas Is barusan nyudutin aku."
"Nggak gitu konsepnya, Num. Kamu kan bisa bantu Ibu. Kalau sekadar bikin teh atau kopi, apanya sih yang berat? Aku banting tulang bekerja buat gantiin uang yang udah aku keluarkan buat biaya pengobatan kamu. Sekarang Ibu sakit. Aku harus keluar uang lagi. Bisa nggak sih bantu aku sedikit saja untuk jagain Ibu?" Binar mata Ismawan tidak menunjukkan rasa sayang, melainkan tatapan yang berbeda.
Tatapan kemarahan, kesal, dan lelah bercampur menjadi satu. Hanum juga tidak mau disalahkan dalam hal ini. Dia juga perlu membela diri karena apa pun ucapan ibu mertuanya tidak benar.
"Mas, harusnya kamu juga dengar dari aku dong. Jangan cuma Ibu saja. Aku nggak ngapa-ngapain Ibu kok. Kalau kondisi Ibu jadi seperti itu, ya salahnya sendiri. Bukan gara-gara aku juga."
"Bohong, Is. Udah tahu ibu kayak gini, dia cuma diam saja. Sementara Ayu, dia malah yang nawarin ibu buat pergi ke rumah sakit. Ibu nggak mau karena dia belum jadi mantu ibu. Bahkan orang lain saja jauh lebih baik daripada mantuku sendiri."
Ismawan semakin geram. Ayu yang sikapnya terlihat cuek, tetapi dia yang peduli sama ibunya. Sementara wanita yang diagungkan dan dipilih menjadi pendamping hidupnya malah seolah mengabaikan tugas dan kewajibannya menjadi seorang istri.
"Mas, kamu jangan sepenuhnya percaya sama Ibu. Kenyataannya nggak seperti itu, Mas," ujar Hanum dengan nada suara yang meninggi untuk membela diri.
"Apa katamu? Dia itu Ibuku, Num. Aku bukannya tidak percaya padamu atau Ibu, tetapi kenyataannya kaki Ibu seperti ini. Itu juga karena kamu, kan? Kamu yang nggak peduli sama Ibu. Kamu yang nggak mau urus rumah dengan baik. Mungkin Ibu juga sudah terlalu capek karena berhari-hari mengurus rumah sendirian. Apa salahnya berempati sedikit saja sama Ibu. Kamu ini bagaimana, hah?"
Ismawan memang jarang di rumah. Dia lebih sering bekerja sepanjang hari. Terkadang lembur dan terkadang tidak pulang ke rumah untuk mampir di tempat teman-temannya. Sementara Hanum yang sepanjang hari bersama ibu mertuanya dan berbagai siksaan yang membuat Hanum masuk ke rumah sakit masih belum menjadi bukti betapa mengerikannya Kasmirah.
"Kamu jangan lihat bukti nyatanya saja, Mas. Sesekali dengarkan aku! Bagaimana aku bisa makmur dan hamil kalau kenyataannya aku lebih dianggap menjadi babu daripada menantu?"
Ismawan tidak menerima alasan apa pun. Semakin Hanum menyanggah, dia semakin marah. Dia juga mulai lupa kalau Hanum dulu bertubuh tinggi dan padat. Sekarang, bahkan terlihat tulang belulang yang seperti mayat hidup. Kurus kerempeng karena tekanan batin hidup bersama mertuanya.
"Aku nggak peduli, Num. Pokoknya gara-gara kamu, Ibu menjadi seperti ini. Kamu harus bertanggung jawab. Selama Ibu sakit, kamu harus mengobati, menyiapkan semua makanannya dari pagi sampai malam, dan mengurus pekerjaan rumah seperti rutinitas biasanya."
"Mas, aku baru sembuh. Kenapa kamu nggak bisa ngertiin aku, sih? Kenapa kamu terus saja membela Ibumu yang jahat dan kejam itu?" Hanum tidak peduli lagi dianggap sebagai menantu durhaka atau apalah itu. Yang jelas kalau Kasmirah memang kenyataannya seperti itu.
"Hanum!" teriak Ismawan bernada bentakan dalam amarah itu belum usai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Saodah Pratiwi
kok gedek bgt y ama si hanum ketauan mertua ama suami ky gt..msh bertahan..
2023-05-25
0
Pice Korvina
perempuan kayak gini yg bikin kesal. udah tau tersiksa tpi masih bertahan dengan berbagai alasan. kalo emang konsisten pertahankan sikap seperti itu. kalo perlu sampai mati bertahannya. jgan coba2 dulu kalo nggak kuat baru pergi
2023-04-28
0
Erchapram
Kalo aku sih mending mundur saja. Itu namanya dah Toxic ngapain bertahan. Mental kita pun perlu dijaga.
2023-04-28
0