Definisi uang untuk wanita pada dasarnya seperti air mengalir. Setelah mendapatkan pesangon yang tidak seberapa, Hanum harus menggunakan uang itu untuk kebutuhan sehari-hari di dalam rumah mertuanya. Itu pun dilakukan atas dasar permintaan Kasmirah, ibu mertuanya.
"Uangku makin lama makin habis juga. Benar kata orang, kalau kita nggak kerja pun tetap makan. Jadi, dari mana bisa makan kalau nggak kerja? Ah, aku pusing kan jadinya. Intinya, pengangguran pun butuh makan! Ternyata pengeluaranku selama ini juga nggak sedikit," gumam Hanum di sela-sela istirahatnya mengurus rumah.
Sebagai seorang istri, seharusnya Hanum menyimpan uang pribadinya. Itu akan digunakan sebagai dana cadangan bila ada keperluan mendadak. Namun, konsep kehidupan Hanum harus kalah dengan tuntutan ibu mertua yang memintanya harus bayar ini dan itu. Segala kebutuhan harus Hanum yang membereskannya.
Sementara selama Hanum menganggur, tidak pernah sekali pun Ismawan memberikannya uang untuk kebutuhan sehari-hari. Hanum ingin rasanya bertanya, tetapi menunggu jadwal Ismawan masuk shift pagi. Setidaknya mereka bisa melakukan pillow talk tanpa campur tangan ibu mertuanya lagi.
Seperti hari ini, hari yang sudah dinantikan oleh Hanum. Pada malam harinya ketika Hanum ingin beristirahat, dia membuka beberapa catatan belanjaannya. Dia juga menghitung sisa uangnya yang semakin hari menipis. Dia tidak tahu lagi akan menjadi seperti apa bila uangnya benar-benar habis.
"Sisa gaji dan pesangonku tinggal ini saja. Besok kalau mau belanja lagi, aku harus bagaimana? Padahal aku sudah menggunakan uangnya dengan sebaik mungkin, tetapi nyatanya tetap tidak bisa mengcover semuanya," gumam Hanum.
Uang yang sebelumnya memiliki nominal dua digit itu secara perlahan menyisakan selembar kertas berwarna biru. Jika digunakan untuk belanja kebutuhan sayuran esok hari, maka kemungkinan bisa habis. Bahkan cenderung minus kalau dari perencanaan Hanum. Apalagi harga kebutuhan pokok juga naik.
Kebetulan hari ini suaminya masuk shift pagi. Sore hari dia pasti pulang ke rumah. Namun, malam ini belum masuk ke kamar karena Ismawan masih pergi ngopi bersama teman-temannya.
Saat kegundahan Hanum semakin meningkat, tiba-tiba pintu kamar dibuka. Ismawan masuk lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Dia melihat Hanum seperti sedang sibuk.
"Kamu sedang apa, Num?"
"Ngitung uang belanja, Mas. Aku pusing tiap hari kebutuhan dapur semakin mahal. Cuma aku nggak ada pemasukan sama sekali. Uang untuk belanja besok saja sisa 50 ribu doang."
"Kan emang kamu nggak kerja. Wajar kalau nggak ada pemasukan."
Ismawan sama sekali tidak peka dengan ucapan istrinya. Mungkin dia melupakan sesuatu atau memang perlu diingatkan. Tentu saja hal itu membuat Hanum terkejut.
Semula Hanum memandangi rincian buku belanjaannya. Kemudian dia menutupnya lalu beralih memandang ke arah suaminya.
"Kamu itu nggak peka banget ya, Mas. Maksudku itu kalau aku nggak kerja, seharusnya kan kamu kasih uang belanja ke aku. Selama ini aku diamkan terus loh, Mas. Kupikir kamu ada keperluan lain yang harus diselesaikan."
Ismawan terkejut. Semula posisinya bersandar pada headboard kemudian dia duduk tegak dan memindahkan kakinya ke lantai. Seperti posisi duduk di kursi biasa.
"Num, aku benar-benar nggak paham apa maksudmu. Keperluan lain apa?"
"Mas, sejak aku udah nggak kerja, kamu nggak pernah lagi kasih aku uang. Setiap hari aku harus pusing mengatur pengeluaran rumah ini yang dibebankan ibumu ke aku. Kupikir awalnya aku kira kamu nggak kasih uang ke aku karena ada alasan lain. Semakin aku diamkan sampai uang pesangon dan sisa gajiku habis, kamu pun nggak kasih aku uang. Gimana aku nggak pusing!" kesal Hanum.
Ismawan menyugar rambutnya dengan kasar. Dia memijit pelipisnya yang mulai sedikit pusing. Mendengar ocehan istrinya bukannya malah membuat tenang, malah tambah pusing.
"Cukup, Num! Intinya saja. Jangan bertele-tele!" tegur Ismawan. Padahal Ismawan baru pulang ngopi dan berharap pikirannya jauh lebih segar. Nyatanya Hanum malah menambah beban di kepalanya.
"Intinya kamu tuh nggak pernah kasih aku uang belanja dari mulai aku nggak kerja sampai sekarang, Mas. Paham nggak sih kamu itu?"
Ismawan memejamkan matanya sejenak. Dia mencoba mengingat, di mana kesalahannya selama ini? Apalagi kewajiban Ismawan untuk memberikan uang belanja sudah dilakukan setiap bulan. Bahkan tidak pernah sedikit pun melewatkannya.
Uang gajinya sebagian disisihkan untuk kebutuhan transportasi, rokok, dan kopi. Beberapa lagi digunakan untuk membeli kuota paketan ponsel androidnya. Sisanya diberikan untuk Hanum dan ibunya.
"Kamu salah paham sama aku, Num. Aku selalu menyisihkan uang gajiku untuk uang belanja kamu. Nggak mungkin kalau kamu tidak menerima sepeser pun uang dariku. Bahkan setiap gajian aku selalu menyisihkan minimal 2 juta. Terkadang lebih dari itu. Jangan-jangan kamu menggunakannya dengan boros. Kamu membeli beberapa kebutuhan yang tidak penting. Makanya uangnya cepat habis."
"Mas, omong kosong apa ini? Kamu sedang berhalusinasi kasih aku uang, ya?"
"Tunggu dulu, Num! Mungkin juga kamu terbiasa kerja di kota. Sehingga apa pun yang kamu beli kamu samakan seperti saat kamu berada di kota. Kita ini di kampung, Num. Harusnya uang sebanyak itu pasti ada lebihan, kan? Mengapa bisa habis? Kamu benar-benar boros!"
Ismawan tidak pernah tahu kalau uang yang diminta ibunya sama sekali tidak pernah sampai pada Hanum. Tentu saja Ismawan tidak bisa menuduh secara sepihak. Apalagi selama ini Hanum tidak pernah membahas nafkahnya. Jadi, Ismawan pikir semua baik-baik saja.
Uang? Uang mana yang dimaksud suaminya? Kapan Ismawan memberikannya uang? Satu rupiah pun dompet atau tangan Hanum tidak menerimanya. Lalu, uang itu diberikan kepada siapa? Benarkah suaminya lupa kalau tidak pernah memberikannya?
Setiap Ismawan gajian, tidak pernah sekali pun menunjukkan slip gajinya pada Hanum. Apalagi uangnya. Sekarang Hanum dituduh melakukan pemborosan. Jelas saja Hanum tidak terima.
"Mas, aku ini nggak kamu kasih uang loh. Boros dari mananya? Aku selalu bayar kebutuhan rumah ini pake uangku sendiri, bukan dari kamu. Emangnya kamu kasih uang itu ke siapa? Aku nggak pernah nerima satu rupiah pun."
"Nggak mungkin, Num. Aku udah kasih uang belanja setiap bulan sama kamu. Kamu mungkin lupa pernah menerimanya."
Rasanya ingin mengucap istighfar sebanyak mungkin. Hanum masih menjadi manusia normal yang sama sekali ingat segalanya. Walaupun ibu mertuanya terus menekan, tetapi dia masih berusaha menjaga kewarasannya. Justru sikap suaminya yang pura-pura amnesia itu yang membuat Hanum dongkol.
"Helo, Mas. Aku masih waras dan normal ya. Jangan-jangan kamu yang mulai lupa. Aku sama sekali nggak menerima uang sepeser pun."
Ismawan berontak dengan dirinya sendiri. Tidak mungkin ibunya berbohong. Hanum pasti sudah menerima uang itu dari ibunya. Berhubung uangnya habis, dia mengarang cerita kalau tidak pernah dinafkahi oleh suaminya. Ismawan sama sekali tidak bisa memahami pola pikir istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Lilo
buang saja suami begini .
2023-05-17
1
Isna Anm Wijaya
hedeuh bertele-tele ngomongnya, suami beg* gak peka istri aiueo gak jelas. bingung komunikasi pasutri begini, mrk bukan pasangan anak muda labil kan. yg laki dah berumur dewasa yg bini dah berRT 2x, kog msh pada **n yak.
2023-04-14
0
ciptoami
haduh lama " aku pengin getok itu 2 orang pake centong sayur wkwk...
2023-04-13
0