Bab 18. Karma Dibayar Kontan

Beberapa hari tinggal di rumah sakit membuat Hanum rindu rumah. Setelah dokter mengizinkan untuk pulang, maka Ismawan segera membawa istrinya kembali ke rumah. Walaupun di rumah mertuanya penuh dengan drama, tetapi Hanum tetap pulang ke sana.

"Istirahat saja. Kalau memang kamu nggak bisa bantu ibu, ya jangan dipaksakan," ujar Ismawan.

"Hemm, nanti ibu marah-marah sama aku, Mas," ujar Hanum mencoba memberitahu suaminya.

Ismawan diam. Dia lebih baik tidak menanggapi karena yang berhubungan dengan ibunya pasti masuk masalah sensitif. Walaupun dia sudah tahu, tetapi posisi yang diserang pasti Ismawan lagi. Dia lelah harus ribut lagi dengan ibunya. Belum lagi urusan Ayu yang sampai saat ini belum kelar.

Selama masa pemulihan, Hanum tidak diizinkan oleh dokter mengerjakan pekerjaan rumah. Itu sudah menjadi catatan penting untuk Hanum dan suaminya.

"Num, kamu sampai kapan akan berpura-pura terus? Siapa yang harus mengerjakan pekerjaan rumah?" tanya Kasmirah pada Hanum saat Ismawan tidak ada di rumah. Lebih tepatnya Is sedang bekerja.

"Hanum nggak pura-pura, Bu. Dokter juga sudah bilang sama mas Is. Yah, mau bagaimana lagi, Bu."

"Alah, itu alasan kamu aja, kan? Biar kamu terbebas dari semua tugas rumah ini. Semakin kamu mengulur waktu, ibu akan semakin membuatmu tertekan. Ibu juga akan menikahkan Ayu dan Ismawan tanpa persetujuan kamu. Ibu tidak peduli! Lagian kalau kamu gak ngerjain pekerjaan rumah, akan ada Ayu yang mengurusnya."

Walaupun dengan omelan, caci maki, dan umpatan kasar, Kasmirah tetap mengerjakan pekerjaan rumah. Ya, walaupun hasil akhirnya tidak maksimal karena Kasmirah mengerjakannya dengan setengah hati.

Selain itu, Kasmirah sengaja menyebut nama Ayu berulang kali supaya Hanum kesal. Ternyata tidak mudah. Apalagi Hanum seperti dimanjakan dengan tidak melakukan apa pun.

Ayu, gadis yang akan dijodohkan dengan Ismawan datang ke rumah. Niatnya untuk menjenguk calon madunya karena mendapatkan kabar dari Kasmirah bahwa menantunya sudah kembali ke rumah.

"Assalamualaikum, Bu!" ucap Ayu saat sampai di depan rumah itu.

"Waalaikumsalam, Ayu. Ayo, masuk! Ibu sudah menunggumu."

Ayu masuk kemudian duduk di ruang tamu. Dia mengamati sekeliling, tetapi tidak ada siapa-siapa. Hanya ada Kasmirah dan juga dirinya. Dia juga meletakkan buah tangannya di meja sebagai syarat untuk mengunjungi Hanum.

"Bu, katanya mbak Hanum sudah pulang. Di mana sekarang?"

"Tuh ada di kamarnya. Kenapa? Kamu mau ke sana? Di sini saja. Temani ibu. Lagian ibu malas banget sama dia. Kamu tahu sendiri kan kalau pernikahanmu nanti memerlukan izin darinya, tetapi sampai sekarang Is belum mendapatkan izin. Ibu kesal sekali."

Ayu sudah setuju dengan pernikahan itu, tetapi dia memang meminta syarat pada Kasmirah supaya Ismawan mendapatkan izin dulu dari istrinya. Bila semua syarat itu sudah dipenuhi, maka Ayu pun siap menikah. Terlebih dia melihat Ismawan seolah ragu menikahinya. Daripada terjadi masalah di kemudian hari.

"Sabar, Bu. Mungkin mbak Hanum butuh waktu untuk memikirkan semua itu. Mas Is juga udah ngomong sama Ayu kalau nunggu persetujuan mbak Hanum dulu. Tanpa itu, mas Is juga nggak mau, Bu."

Kasmirah semakin kesal gara-gara Ayu dan Ismawan malah menurut saja dengan Hanum. Pernikahan mereka terhalang restu istri tua Ismawan.

"Sabar apanya, Ayu? Ibu kesal sekali. Tinggal ngomong setuju aja apa susahnya. Pakai drama sakit-sakitan segala. Biar apa? Biar Ismawan semakin peduli? Cih, menjijikkan! Ibu nggak suka sama dia. Ibu sukanya sama kamu. Salah Is sendiri, kenapa harus milih dia? Ibu dulu kan mau jodohin kamu sama Is. Anakku yang kelewatan ngeselin," ujar Kasmirah.

Ayu mencoba menenangkan calon ibu mertuanya. Memang tidak mudah menjadi yang kedua di dalam pernikahan orang lain. Ayu harus bersabar karena dia juga sudah menyukai Is sejak pertemuan pertamanya.

"Sudahlah, Bu. Sabar sebentar. Tunggu mbak Hanum baikan dulu. Lagian mbak Hanum kan juga pilihan mas Is. Ibu nggak bisa sepenuhnya salahin mbak Hanum."

Sejak kedatangan Ayu, Kasmirah belum memberikan apa pun. Baik makanan maupun minuman.

"Udahlah. Jangan bahas lagi. Ibu harap secepatnya kamu jadi mantu ibu. Yu, kamu mau minum apa? Biasanya Hanum yang harus menyiapkan, tetapi kali ini cuma ibu saja yang harus bekerja keras sendirian. Coba saja ada kamu, ibu kan bisa minta bantuanmu."

Ayu tersenyum. "Minum apa aja, Bu. Terserah Ibu."

Kasmirah berjalan menuju ke dapur. Di sana dia merebus air untuk menyiapkan teh hangat. Dia tidak memiliki termos air panas sehingga saat ada tamu, merebus air adalah menjadi yang utama.

"Gini nih kalau punya mantu sudah mulai nakal. Aku kesel banget sama Hanum," omel Kasmirah sambil menyiapkan dua cangkir yang diisi dengan teh celup dan gulanya.

Tidak hanya itu, dua cangkir itu langsung diletakkan di atas nampan kecil. Cukuplah untuk dua cangkir bersama dengan piring kecilnya. Beberapa menit kemudian, airnya sudah mendidih. Dia memang merebus air yang tidak terlalu banyak, tetapi untuk ukuran panci kecil itu bisa dibilang setengah panci.

Saat berniat mengambil panci itu untuk menuangkannya ke dalam masing-masing cangkir, entah Kasmirah tidak fokus atau memang sedang memikirkan hal lain. Panci yang seharusnya dipegang erat malah terlepas begitu saja. Air panas yang ada di dalam panci itu seketika mengenai kedua kakinya. Air dengan suhu 100 derajat Celcius itu cukup panas karena mendidih.

"Aduh!" teriak Kasmirah histeris sehingga membuat Hanum dan Ayu segera menuju ke dapur yang menjadi pusat sumber suara.

"Ada apa ini, Bu?" tanya Hanum yang terpaksa bangun dari ranjangnya.

"Kenapa, Bu?" tanya Ayu.

Mereka melihat panci tergeletak di lantai dengan genangan air yang masih berasap. Selain itu, Kasmirah juga memegangi kakinya yang kepanasan itu. Dia terkejut sehingga tidak melakukan apa pun selain pasrah menahan sakit.

Hanum tidak lekas menolongnya karena dia sendiri pun masih belum pulih benar. Akhirnya, Ayu yang maju membawa Kasmirah untuk duduk di meja makan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Ini gara-gara Hanum! Coba saja dia nggak sakit. Pasti nggak akan kejadian seperti ini," umpat Kasmirah menahan sakit.

Hanum diam saja. Sudah biasa dimarahi dan dihina seperti itu. Dia pun sudah tidak terkejut lagi.

"Ibu mau dibawa ke dokter? Ayu anter, ya?" ujar Ayu.

"Nggak. Biarkan gini aja. Biar Is tahu kelakuan istrinya itu begitu." Kasmirah masih saja menyalahkan Hanum.

"Udahlah, Bu. Lagian ini juga karena Ibu sendiri kan. Salah siapa nggak hati-hati. Apakah ini yang namanya karma?" tanya Hanum pelan. Walaupun tidak secara langsung membalas, tetapi Hanum juga tidak mau ditindas terus-terusan. Cukup tubuh dan air matanya saja yang mengalir.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!