Bab 6. Makian

Seperti berjuang sendiri di tengah gempuran mertua yang super otoriter. Ismawan bahkan tidak mau tahu. Anggapannya setelah uang itu diberikan pada Hanum, semuanya beres. Walaupun melalui tangan orang lain.

Ismawan sebenarnya malas sekali dengan hal-hal yang memusingkan seperti ini. Lebih baik fokus bekerja. Bila ada lembur, dia lembur untuk mendapatkan uang tambahan. Jika gajian, maka tugasnya adalah memberikan uang pada ibu dan istrinya. Kalau semua itu sudah beres, dia sudah tidak mau tahu lagi apa pun yang terjadi.

"Aku nggak mau kamu bahas itu lagi, Num. Aku capek dan mau tidur. Kalau aku bilang udah kasih, ya pokoknya udah." Ismawan menarik selimut kemudian tidur.

Suaminya benar-benar aneh dan ingin dipukul pakai spatula. Dia itu bodoh atau bagaimana? Hanum tidak menerima uang sepeser pun darinya. Bukannya mencari sumber masalah, tetapi malah kabur tanpa kejelasan. Tidak sekali ataupun dua kali, Ismawan selalu begitu.

Hanum lelah jasmani dan rohani. Dia malas melanjutkan perdebatan itu. Dia membiarkan suaminya tidur lebih dulu. Dia juga harus mencari sumber masalahnya.

"Jangan-jangan ini ulah ibu. Cuma Mas Is nggak mau jujur sama aku," gumam Hanum.

Keesokan paginya, setelah membuatkan sarapan untuk suaminya, Hanum mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Menyapu, membersihkan jendela, dan semuanya yang harus dikerjakan seperti biasa.

Setelah Ismawan pergi bekerja, Kasmirah baru saja keluar dari kamar. Bila menantunya disudutkan sebagai seorang wanita yang hanya bisa ongkang-ongkang kaki, lalu apa sebutannya untuk mertua yang diam-diam membohongi menantunya? Apalagi dia juga sudah berani berbohong pada anaknya.

"Bu, Hanum ingin bicara."

"Ada apa? Apa kamu sudah menyelesaikan pekerjaan rumah hari ini? Jika belum, maka selesaikan lebih dulu."

"Bu, tolong kali ini beri kesempatan Hanum untuk bicara."

"Nggak. Ibu repot!"

"Ibu kan yang ngambil uang mas Is yang harusnya untuk aku?"

"Kamu ngomong apa? Nggak ada. Ibu nggak lakuin apa pun."

"Ibu jangan bohong. Selama ini aku udah ngalah buat bayarin semua kebutuhan rumah ini. Sekarang saat aku butuh uang dan suamiku bilang katanya sudah ngasih. Nyatanya uang itu nggak sampai ke aku. Apa sebenarnya yang Ibu rencanakan padaku? Ibu sengaja kan membuatku dan mas Is bertengkar."

Kasmirah mencoba menghindar. Dia memilih pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Saat melihat botol minyak tersisa sedikit, Kasmirah mencoba mencari celah untuk melawan Hanum. Apa pun yang dimiliki saat ini hanyalah miliknya, bukan milik menantunya.

"Num, sini kamu!" panggil Kasmirah.

"Ada apa, Bu?"

"Kamu tuh harusnya tahu diri. Lihat, minyak udah mau habis. Tanggung jawabmu untuk kebutuhan rumah ini, kan?"

"Bu, kan Hanum udah bilang kalau nggak ada uang lagi buat beli minyak. Aku nanyain uang yang seharusnya diberikan mas Is padaku. Kenapa Ibu malah mengalihkan ke hal lainnya? Apa Ibu memang pake uangnya? Kalau memang Ibu pake, tidak apa-apa, kok. Setidaknya mas Is juga tahu."

"Kamu ngomong apa? Benar-benar mantu yang nggak tahu diri ya, kamu! Aku ini nanyain minyak. Kenapa malah merembet ke mana-mana?"

Hanum rasanya ingin meledak. Urusan uang belum selesai, sekarang minyak goreng. Maunya ibu mertua itu seperti apa, sih?

"Bu, Hanum tahu. Cuma masalahnya udah nggak ada uang lagi. Aku juga udah minta sama mas Is, tapi katanya udah ngasih. Nah, mas Is itu kasihnya ke siapa? Di rumah ini, selain mas Is cuma ada Ibu dan aku. Jadi, kesimpulannya kalau mas Is ngerasa udah kasih, tapi aku nggak nerima. Itu artinya ada orang lain yang menerimanya."

Kasmirah semakin kesal. Kalaupun dia menerima uang dari anaknya, itu sangat wajar sekali. Yang tidak wajar itu kalau orang lain yang mempermasalahkannya.

"Num, jaga bicaramu! Ibu nggak pernah ngajarin kamu untuk kurang ajar, ya. Kalau memang Ismawan udah ngasih, ya udah. Mau gimana lagi? Mungkin kamu lupa naruh atau gimana. Kenapa malah nuduh ibu yang bukan-bukan? Nanti ibu aduin sama Is, kamu baru tahu rasa."

Tinggal dan hidup bersama ibu mertuanya harus banyak-banyak istighfar. Selain itu, kata sabar harus benar-benar dipegang teguh oleh Hanum. Tidak hanya itu, Hanum harus tetap jaga kewarasan supaya tidak gila. Padahal menghadapi tingkah suaminya saja sudah membuat tekanan darah Hanum melebihi batas normal.

"Jadi, Ibu sekarang nuduh aku pelupa? Amnesia? Aku masih waras dan ingat segalanya, Bu. Kalau Ibu mau ngadu sama mas Is, silakan saja. Hanum cuma ingin tahu, apakah mas Is juga tahu kalau Ibu udah bikin aku bekerja keras setiap hari?" ujar Hanum kesal.

Semakin Hanum melawan, tingkat kemarahan Kasmirah menjadi semakin luar biasa. Terlebih dia tidak mau diatur-atur oleh menantunya.

"Num, kamu itu ya kalau dikasih tau orang tua selalu aja ngebantah. Pantes aja diceraikan sama mantan suamimu dulu. Dia pasti kesel sama kelakuan kamu–"

"Bu!"

"Diam kamu, Num! Ibu belum selesai bicara!" bentak Kasmirah.

Hanum terkejut sehingga memandangi wanita itu dengan tatapan sayu dan tidak bersemangat sekali. Memang benar kalau semua bisa berubah dengan uang. Dulu saat Hanum bekerja, Kasmirah peduli dan terlihat sayang. Namun, sekarang seperti musuh yang siap menerkam kapan saja.

"Kamu jadi mantu harus tau diri, ya. Ibu udah kasih tempat tinggal, anak ibu, dan semuanya. Sekarang kamu masih nuduh ibu ngumpetin uang suamimu? Mantu macam apa kamu ini? Kalau kamu mau uang, ya kerja keras dong! Jangan cuma bisa modal menadahkan tangan doang. Ibu makin kesel sama kamu. Kalau boleh, punya mantu kayak kamu mau ibu tukar tambah saja. Udah gak terlalu cantik, ngeselin lagi. Mana atur-atur mertua dan nuduh pula!"

Kasmirah berhenti sebentar. Dia mengambil air minum lalu meneguknya. Rasanya banyak sekali tenaga yang keluar untuk memaki menantunya yang tidak tahu diri itu. Kalau tahu begini, lebih baik Kasmirah menjodohkan Ismawan dengan wanita pilihannya. Daripada janda cerai yang tidak tahu diri ini.

"Ibu udah lelah maki Hanum? Terakhir kalinya Hanum tanya sama Ibu. Selama ini Ibu kan yang terima uang dari mas Is. Kalau Ibu sekali lagi nggak mau ngaku, gak apa-apa, Bu. Gusti Allah nggak tidur. Kalau sampai Ibu tetap diam, maaf, Bu. Karma pasti akan datang," ujar Hanum mencoba menahan amarahnya.

"Apa kamu itu? Bawa-bawa nama Allah segala. Ibu gak salah apa pun. Kenapa ibu takut. Harusnya kamu yang lebih baik koreksi diri sendiri. Udah bener belum jadi mantu? Kalau belum bener, segera ubah tuh pola pikirmu yang isinya cuma bisa nuduh orang terus!"

Sungguh lelah sekali mendengar makian yang dilontarkan ibu mertuanya. Hanum mencoba untuk tetap tenang dan berpikir secara rasional. Jangan sampai dia kalap dan melakukan hal-hal di luar nalar.

"Astaghfirullah, nantangin Sang Pencipta. Semoga kamu baik-baik saja, Ibu mertua," gumam Hanum.

Terpopuler

Comments

Sri Puryani

Sri Puryani

num jgn oon jd mantu, klo gk ada uang ya gak usah masak

2025-01-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!