Hanum juga terkejut bisa bertemu dengan teman lamanya di rumah sakit ini. Ya, dialah Kusuma Wardani, teman di tempat kerjanya dulu.
"Wardani? Apa kabar? Aku nggak nyangka kalau kita bakalan ketemu di sini," ujar Hanum bahagia.
"Iya. Aku pun merasa demikian. Kebetulan ada kerabatku yang sedang sakit di sini. Nah, aku cuma berkunjung saja."
Wardani memindai Hanum dari ujung rambut hingga ujung kaki. Banyak perbedaan yang mencolok terlihat dari teman dekatnya dulu. Hanum yang dulunya padat berisi, sekarang terlihat sangat kurus sekali.
"Num, are you okay?"
"I'm fine, thank you."
"Gak mungkin, Num. Kamu kurus kering seperti ini. Apa ada masalah? Cerita saja. Aku akan dengerin semuanya. Kalau memang kamu butuh bantuanku, aku siap," ujar Wardani.
Sebenarnya Hanum tidak enak hati, tetapi ini adalah kesempatan berharga di dalam hidupnya. Lagi pula dia dan Wardani sudah lama tidak bertemu. Sayang kalau kesempatan ini dilewatkan begitu saja.
"Kamu nggak keberatan? Kalau memang kamu buru-buru, lain waktu saja."
"Nggak! Ayo, ikut aku!"
Wardani membawa Hanum ke sebuah rumah makan masakan Padang. Di sana mereka bisa makan dan berbincang.
"Nah, kamu mau makan apa? Bebas pilih dan kamu bisa nambah apa pun yang kamu sukai," ujar Wardani.
Hanum seakan tidak minat makan. Sepertinya pengaruh masalah hidupnya berpengaruh juga pada keinginannya untuk makan.
"Aku minum aja, deh. Kalau kamu mau makan, ya makan aja."
"Hei, rezeki jangan ditolak, Sayangku. Lama banget loh kita nggak ketemu. Ternyata kerabatku membawa berkah untuk pertemuan kita."
Setelah didesak, akhirnya Hanum mau memesan beberapa makanan. Kemudian mereka makan bersama sampai menghabiskan makanan itu. Setelah itu, Hanum mulai bercerita sambil menghabiskan minumannya yang semula pesan masing-masing satu akhirnya menambah satu gelas lagi.
"Ayo, ceritakan. Aku punya banyak waktu untukmu," pinta Wardani.
"Ibu mertua dan suamiku, War. Kamu tahu kan kalau dulu aku bekerja bersamamu. Kita seringkali mendapat gaji dan THR yang lumayan. Sejak pabrik tempat kita gulung tikar, mertua dan suamiku berubah. Bahkan ibu mertuaku sudah meminta suamiku untuk menikah lagi karena aku tak kunjung hamil. Rasanya sesak sekali."
Wardani bisa melihat kesedihan di mata Hanum. Sepertinya bukan hanya itu saja Hanum menjadi kurus. Pasti banyak hal lain yang sedang dipikirkan, tetapi Hanum masih mencoba memendamnya.
"Hanya itu saja? Kalau kamu merasa itu sangat berat dan perlu kamu lepaskan bebannya, lepaskan aja! Aku siap menampung semua curhatanmu, Num. Aku juga akan selalu menjaga privasimu agar tetap aman," ujar Wardani. Selama menjadi teman baik, keduanya memang selalu akur. Tidak pernah sekali pun terlibat masalah yang serius.
"Tidak, War. Masih banyak hal lain yang belum kamu ketahui. Wanita yang dijodohkan dengan suamiku itu seringkali datang ke rumah. Aku sudah memintanya baik-baik untuk tidak datang karena ada aku, istri sahnya mas Is. Bagaimana tanggapan orang lain kalau mereka tahu rumah tanggaku tidak baik-baik saja. Ibu mertuaku–"
"Apa yang dilakukan ibu mertuamu? Apa dia menyiksamu? Apa dia menghukummu tidak memberimu makan? Atau bagaimana?"
Wardani tidak sabar mendengarkan cerita Hanum. Dia malah memilih untuk berspekulasi bahwa ibu mertua temannya itu menyiksa Hanum.
"Tidak, War. Lebih tepatnya dia nyiksa aku secara mental, fisik, dan kondisi rumah tanggaku. Aku dipaksa bekerja setiap hari. Aku pun yang harus membayar semua kebutuhan rumah tangga. Yang paling mengenaskan, aku dipaksa melayani tamu yang nantinya akan menjadi maduku."
"Astaghfirullah, mertua macam apa itu? Apa sebelum kamu menikah, wanita itu sudah tidak suka padamu? Atau memang kalian sebenarnya baik-baik saja, tetapi karena sesuatu hal hingga membuatnya berubah?"
Hanum menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Sejak awal memang Ismawan menikah dengan Hanum karena keputusan sendiri. Ternyata setelah masuk ke rumah mertuanya, kenyataan pahit pun terungkap. Ibu mertuanya sama sekali tidak menginginkan pernikahan itu karena Hanum adalah seorang janda sebelumnya.
"Ibu mertua tidak suka kalau anaknya menikah denganku. Awalnya aku adalah seorang janda. Kamu juga tahu itu, kan?"
Wardani memang tahu kalau Hanum adalah janda cerai. Cuma masalahnya tidak tahu mengapa sampai mereka bercerai. Itu juga bukan urusan Wardani kalau Hanum tidak mau cerita.
Setelah itu, Wardani juga tahu kalau Hanum menikahi perjaka berumur. Mungkin itu pilihan yang sangat tepat karena pernah gagal di pernikahan pertamanya.
"Lalu, apa rencanamu sekarang?" tanya Wardani. Dia sudah tidak sanggup lagi mendengar hal yang menyesakkan dan menyakiti hatinya itu.
"Aku ingin hamil, War. Cuma masalahnya hari ini dokter ingin aku datang bersama suamiku. Dia tidak bisa datang karena kesibukannya."
Wardani benar-benar kesal kalau keluarga menginginkan kehamilan menantunya. Namun, pihak suami seakan tidak peduli pada urusan istrinya. Sesibuk apa pun suami, bila sama-sama menginginkan sesuatu harusnya bisa kompak. Setidaknya berikan waktu sehari untuk izin tidak masuk kerja. Mungkin juga mencari waktu yang lain supaya bisa pergi bersama. Tidak melulu pekerjaan Ismawan masuk pagi terus, kan?
"Sudah pernah bicara sama suamimu soal promilmu ini, Num? Kalau belum atau dia nggak respon, aku kasihan sama kamu. Sebaiknya kamu pikir ulang untuk ikutan promil, Num. Aku tahu niatmu baik, tetapi berjuang sendirian apa bedanya dengan tidak dihargai?" jelas Wardani.
Sudah pernah bicara, tetapi tidak pernah digubris. Selain itu, ibu mertuanya juga seakan tidak mendukung rencana promilnya itu. Wanita paruh baya itu malah lebih senang kalau Ismawan menikah lagi.
Hal lain lagi yang membuat Wardani iba adalah Hanum harus berjuang untuk promil menggunakan uang tabungan yang disisihkan dari sisa uang belanjanya setiap hari. Dia harus benar-benar hemat karena Ismawan memberikan uang belanja sangat terbatas sekali. Itu pun karena ulah ibu mertuanya juga.
"Entahlah, War. Aku seperti mayat hidup, ya? Mati pun pasti nggak akan dihargai."
"Lalu, kamu akan memilih bertahan atau bagaimana? Jujur, aku benar-benar kasihan sama kamu. Cuma aku belum bisa kasih masukan apa pun kalau kamu nggak mau bicara ke aku rencanamu ke depannya. Kalaupun aku kasih masukan, itu adalah rumah tanggamu, Num. Kurasa di dunia ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Makanya aku nggak bisa kasih saran apa pun selain aku iba sama kamu. Maaf, ya, Num."
Hanum merasa lega. Setidaknya ada teman baik yang mau mendengarkan keluh kesahnya. Selama ini tidak ada teman yang benar-benar mau mendengarnya. Jangankan teman, suaminya pun tidak sekali pun memiliki waktu untuk mendengarnya. Dia malah sibuk dengan pekerjaan dan wanita barunya.
"Tidak apa-apa, War. Pertemuan kita kali ini membuatku sedikit lega. Setidaknya ada yang mau mendengarkan keluh kesahku."
Wardani merasa kasihan atas apa yang dialami Hanum. Mertua dan suami yang seharusnya bisa mengayomi dan melindungi Hanum malah menjadi musuh terbesar di dalam hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments