Sebagai ibu mertua, Kasmirah tidak hanya membebani Hanum dengan pekerjaan rumah saja. Dia juga sudah melepaskan tanggung jawab untuk mengurus biaya hidup semua orang yang ada di rumah itu. Tentunya tanpa sepengetahuan Ismawan.
"Num, ingat ya kalau urusanmu bukan hanya soal beberes, masak, dan mencuci. Kamu juga harus bayar kebutuhan harian rumah ini. Kamu paham, kan?" tanya Kasmirah di sela-sela kesibukan Hanum mengurus rumah.
"Bu, tapi biasanya kan Ibu yang keluar uang. Kenapa Hanum lagi?"
Jelas saja Hanum protes. Setelah menjadi pengangguran, ibu mertuanya memperlakukan Hanum layaknya seorang pembantu. Bahkan Hanum pernah tidak diberikan kesempatan untuk beristirahat barang sejenak.
Terkadang saat Hanum ingin membahagiakan diri sendiri, ada saja ulah Kasmirah. Hanum seringkali terjebak dalam situasi yang sulit. Saat mau keluar dari situasi itu, Kasmirah seolah terus saja menarik Hanum ke dalam pusaran masalah.
"Selama kamu menumpang, ya harus ikuti aturan tuan rumah dong! Jangan seenak jidatmu sendiri. Udah ah, ibu males berdebat. Pokoknya semua kebutuhan rumah ini mulai dari garam sampai listrik, pokoknya kamu yang harus bayar. Ingat, jangan ngadu sama Is. Kalau kamu sampai ngadu, ibu bisa pastikan lusa kamu akan menjanda untuk yang kedua kalinya. Kamu nggak mau, kan?"
Pernah sekali waktu Hanum menyatakan keberatan pada suaminya. Dia ingin mengajak suaminya untuk mengontrak rumah yang bisa digunakan sebagai tempat tinggal bersama suaminya. Namun, Ismawan menolak dengan alasan kalau rumah ini nantinya akan menjadi miliknya. Namun, Hanum tidak terima. Dia merasa tidak nyaman tinggal bersama Kasmirah. Bukannya memberikan solusi, Ismawan malah kabur saat perbincangan belum usai.
Sejak saat itu, Hanum sudah malas sekali membahas tentang rumah yang bisa dikontrak. Sekali waktu bila ingin berbicara pada suaminya, dia baru ngomong. Jika tidak, maka Hanum lebih banyak diam. Menurutnya berjuang sendirian itu berat, tetapi suaminya mana mau memahami kondisi Hanum.
Seperti hari ini, listrik dengan daya 900 watt itu alarmnya sudah berbunyi. Tanda-tanda harus diisi kembali. Kasmirah memang tipikal ibu mertua yang sangat pelit. Untuk ukuran listrik itu, dia membelinya setiap minggu dengan nominal 20 ribu rupiah. Pantas saja setiap seminggu sekali rumah itu seperti mau meledak dengan bunyi bip bip yang terus-menerus. Terkadang kalau tidak biasa mendengarnya bisa membuat pusing kepala.
"Tuh, kamu dengar kan kalau token udah bunyi bip bip. Lekas belikan itu. Kalau tidak, kamu sendiri yang repot!" perintah Kasmirah.
Hanum cuma bisa mengelus dada. Tidak ibu mertuanya saja, tetapi juga suaminya sama-sama membuat kesal. Akhirnya, Hanum pun segera pergi ke toko sebelah untuk membeli token sebanyak seratus ribu rupiah. Setidaknya itu akan bertahan untuk satu bulan ke depan.
Hanum kembali membawa catatan kecil berisi kode yang harus dimasukkan ke dalam meteran listrik yang terpasang di bagian depan rumah. Karena Hanum tidak bisa menjangkaunya, terpaksa dia harus mengambil kursi supaya bisa memasukkan kode-kode itu.
Sejak menganggur, Hanum dipaksa mengerjakan pekerjaan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan dengan keras. Seperti mencuci gorden, mengepel seluruh rumah, dan memasak sambil menjemur pakaian.
"Jadi, kamu belikan berapa?" tanya Kasmirah yang rupanya sudah berada di belakang Hanum.
"Seratus ribu, Bu," ucap Hanum yang masih fokus memasukkan dua puluh digit angka-angka untuk menghentikan bunyi bip bip itu.
"Nah, gitu kan awet. Jangan lupa nanti cek kebutuhan dapur. Jangan sampai ada yang habis, terus kamu mau masak nggak ada bahan. Ingat belanjaan dapur yang mesti harus ada. Gula, garam, kecap, bawang merah, bawang putih, ketumbar, merica, kemiri, dan beberapa bumbu dapur lainnya harus lengkap. Sewaktu-waktu memasak, kamu nggak perlu lagi tuh lari-lari ke warung."
"Iya, Bu. Nanti Hanum cek."
"Jangan nanti-nanti terus. Kamu bisa lupa. Oh ya, sama jangan lupa sediakan kopi dan teh. Kalau ada tamu dadakan biar nggak ribet juga. Oh ya, sama satu lagi. Cek sisa detergen dan beberapa pewangi. Ibu gak mau kebutuhan rumah ini ada yang kurang. Pokoknya kamu harus ingat. Kamu yang beli ya kamu yang bayar. Ibu mau tidur," jelas Kasmirah panjang kali lebar.
Hanum harus membelanjakan semua kebutuhan itu tentunya menggunakan uangnya sendiri. Dia bahkan tidak pernah lagi menerima uang dari suaminya. Hanum tidak tahu ke mana uang gaji suaminya itu digunakan.
Ismawan merupakan pria yang tidak mau ribut. Biasanya setelah gajian, dia selalu membagi uangnya itu untuk ibu dan istrinya. Namun, tiba-tiba Kasmirah punya rencana lain.
Kasmirah mencari kesempatan saat Hanum tidak di rumah. Dia seringkali meminta menantunya pergi ke pasar. Alasannya supaya tidak boros bila membeli secara eceran.
"Is, kamu sudah gajian, ya?" Kasmirah melihat putranya menghitung beberapa lembar uang ratusan ribu.
"Iya, Bu. Ini lagi Is hitung mau kasihkan ke Ibu sama Hanum."
"Udah, jadiin satu aja. Nanti biar ibu yang kasih ke Hanum."
Tangan Kasmirah meraih semua uang yang baru setengahnya dihitung. Kira-kira ada sekitar dua juta lebih.
"Bu, tapi ini–"
"Udah siniin aja kenapa? Ibu bakalan bagi sama Hanum. Nanti kalau semuanya dikasih, takutnya Hanum boros. Kamu kan nggak tahu dan jarang di rumah. Udah deh. Masak kamu nggak percaya sama ibu sendiri?"
"Bener ya, Bu? Jangan lupa kasih ke Hanum."
"Iya, iya. Kamu gak percaya amat sama ibu."
Tentu saja Ismawan percaya. Apalagi selama ini Ismawan bisa membeli motor juga karena ibunya rajin menabung dan selalu mengeluarkan uang untuk kebutuhan yang penting saja. Sisanya bila tidak terlalu penting, Kasmirah tidak peduli.
Kasmirah yang saat ini berada di dalam kamar. Dia sengaja mengunci pintunya supaya Hanum tidak tahu apa yang dikerjakan. Dia mengambil satu kotak penting yang disimpan di dalam meja kotak yang digembok dari luar.
Kasmirah tampak tersenyum puas memandangi hasil kerjanya selama ini. Uang yang didapat dari Ismawan seharusnya dibagi dengan Hanum, tetapi tidak dilakukan. Dia justru mengumpulkan uang-uang itu untuk membeli perhiasan kemudian disimpan sendiri.
"Salah siapa jadi mantu nggak produktif. Kalau udah dipecat, kenapa nggak nyari pekerjaan lain? Malah di rumah saja. Ongkang-ongkang kaki terus menadahkan tangan berharap nafkah dari suaminya. Enak aja dia!" ucap Kasmirah pelan.
Membuka kotak, menimbang-nimbang perhiasan, dan menghitung uang tabungan yang didapat dari Ismawan menjadi kebanggaan tersendiri baginya.
"Ismawan juga kenapa nggak nuruti aku? Harusnya dia menikah dengan pilihanku kan enak. Gak perlu susah-susah seperti ini."
Setiap Ismawan gajian, Kasmirah selalu mencari kesempatan untuk merampas semuanya. Tidak ada sedikit pun belas kasih untuk Hanum. Tentunya semua itu harus dilakukan dengan rapi supaya Hanum dan Ismawan sama-sama tidak tahu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Sri Puryani
lho hanum kamu gk minta uang gajimu? minta dong sama suami jgn mau pake uang sdr
2025-01-11
0
atin p
minggat ae num....
2023-10-01
0
Isna Anm Wijaya
knp sakit dirasakan, mumpung blm pny anak cepat bertindak. cinta boleh bodoh jangan! kelamaan mikir bathin terluka ntar gila, mumpung skrg waras bertindak lah.
2023-04-14
1