Hari sudah mulai larut, malam hari itu, Aku, Kevin dan Tristan berpisah dengan Viona ke gedung asrama masing-masing. Asrama laki-laki dan perempuan yang letaknya sendiri bersebelahan namun dibatasi oleh dinding tinggi.
Saat ada di depan halaman asrama laki-laki, Kevin mengajak kami untuk melakukan latihan tambahan. Namun aku menolaknya dan memilih untuk istirahat saja. Berbeda dengan Tristan, dia memilih untuk ikut melakukan latihan tambahan bersama Kevin.
“Kau yakin tidak mau ikut berlatih dengan kami?” tanya Kevin padaku.
“Iya aku yakin, entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aku lupakan. Lebih baik aku segera mengeceknya.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Terima kasih untuk hari ini. Aku pasti akan segera ke kamar setelah latihan ku selesai. Aku juga akan berusaha untuk tidak mengganggumu jika kau telah tidur,” ungkap Tristan.
“Oke, kalau begitu aku pergi dulu.”
Kami cukup bersyukur karena Tristan bisa menekan rasa trauma yang disebabkan oleh Albert padanya. Sepertinya inilah yang dia cari selama ini, teman yang bisa dia ajak bicara layaknya murid akademi pada umumnya.
Setelah berpamitan aku langsung pergi ke kamar ku. Di sana aku masih terus kepikiran tentang hal apa yang sebenarnya aku lupakan ini. Aku merasa jika ini adalah hal yang tak seharusnya aku lupakan jika ingin tetap hidup.
Tok,tok,tok.
Ketika aku sedang merebahkan diriku di atas kasur. Tiba-tiba saja aku mendengar suara seperti jendela yang diketuk. Aku mencoba melihat ke arah jendela namun tak melihat ada apapun itu yang bisa mengetuk jendela tersebut.
Aku mencoba membuka jendela tersebut, dan sesaat aku membuka jendela. Aku bisa melihat sebuah bayangan yang langsung menyerangku dan mulai mencekik leherku dengan sekuat tenaga sampai aku hampir kehabisan napas.
“Sepertinya, setelah menendang biji instrukturmu, kau jadi melupakanku yang menunggu di kantornya Gareth, huh?” terdengar suara yang familiar darinya.
Ternyata hal yang aku lupakan dan bisa mengancam diriku itu adalah Guru. Aku lupa jika seharusnya aku menemuinya sebelum pulang ke asrama. Aku melupakan dia karena terlalu terlarut dengan kegembiraan bisa bersama dengan teman sebayaku.
“Khuk, guru!” Aku kesulitan berbicara karena dicekik olehnya.
“Apa kau sudah ingat kalau kau memiliki seorang Guru?” ucapnya seraya melepaskan diriku.
“Yah … maaf jika aku melupakanmu.”
“Kau membuatku menunggu di sana seperti orang bodoh!” ucapnya. “Bagaimana tentang bocah bangsawan itu? Apa kau sudah menemukan cara untuk menghadapinya?”
Aku mulai bangkit dan terduduk di lantai, rasa dari cekikkan Guru masih melekat di leherku.
Sembari memeganggi leher, aku menjawab pertanyaan Guru. “Aku belum menemukan cara apapun untuk menghadapi Albert tanpa membuat masalah yang lebih besar.”
“Apa kau bodoh? Cara apapun tetap akan membuat masalah semakin bertambah jika berurusan dengan bangsawan, kau tak perlu menahan diri seperti itu, kecuali kau mau jadi korban bully bagi dia ....” Guru mulai memicingkan matanya dan mendekatkan wajahnya padaku. “Namun kau tahu kan apa akibatnya membiarkan dirimu jadi bahan bullyan manusia lemah seperti bocah itu?”
“Haaa, tentu, tentu, tentu … tentu aku tahu, ahaha, hah ….” Memikirkan kemungkinannya saja membuat ku bergidik ngeri. Guru tidak mungkin membiarkan muridnya untuk menjadi target pembullyan siapapun. Sepertinya pilihanku saat ini hanya melawan Albert.
“Bagus. Kau tak boleh melupakan jika kau sekarang telah mengemban nama belakangku. Kau tak boleh lebih lemah dari manusia lain yang tak memiliki nama Volva!” serunya. Dia mulai bangkit dari atas tubuhku dan menatap ke arah langit malam yang ada di luar jendela. “Jika kau perlu membunuh … bunuh saja yang menghalangimu. Kau tak boleh menahan diri.”
Guru mengucapkan semua itu dengan ekspresi yang dingin. Aku tak terlalu mengerti kenapa Guru mengatakan hal semacam itu. Apa ada maksud khusus yang mau dia ungkapkan?
“Aku tak mau membunuh. Itu terlalu berlebihan untukku.” jawabku.
Guru hanya menatapku dalam diam. Aku tak terlalu mengerti apa yang mau dia sampaikan. Tak mau memikirkannya terlalu dalam, aku mulai bangkit dari dudukku dan membersihkan tubuhku yang dipenuhi debu karena di sergap oleh Guru tadi.
“Kau memang naif ….” ucap Guru, masih dengan tatapan dingin yang menatapku.
“Maaf?”
“Ingatlah satu hal ini. Jika suatu saat kau bingung harus melakukan apa. Lakukanlah apa yang dikatakan oleh instingmu.”
Ucapan Guru benar-benar tak bisa aku mengerti. Apa yang sebenarnya mau dia coba jelaskan? Kenapa dia tiba-tiba saja bertingkah seperti itu? Kurasa pertanyaanku ini tidak bisa kujawab untuk saat ini.
“Baiklah, aku akan berusaha mengingat nasihat darimu Guru.”
Malam itu aku terlelelap dengan begitu saja. Ucapan Guru memang menggangguku, namun aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya dan memilih untuk segera beranjak tidur.
...----------------...
Perasaan dingin mulai menyelimuti diriku yang sedang terlelap. Aku yang menggigil kedingingan akhirnya terbangun dari tidurku. Sayup-sayup aku dapat mendengar suara seseorang yang sedang memanggilku.
“Deron! Deron! Apa kau masih tidur?” suara Tristan memanggilku.
“Ah, tidak aku sudah bangun. Ada apa?”
“Maaf jika aku mengganggu mu. Kevin dan VIona mengajak kita untuk lari pagi sebelum berangkat ke kelas.”
“Oh, baiklah tunggu sebentar, aku akan segera bersiap.”
“Baik, kami akan menunggu mu halaman asrama laki-laki.” ucapnya. “Oh iya, apa burung itu adalah milikmu? Semalam ketika aku ke sini aku melihat seekor burung sedang hinggap di ranjangmu, namun aku tak melihat dirimu sama sekali, sepertinya kau sudah tertidur pulas.”
“Ah iya, itu memang familiarku.”
“Oh, oke. Aku dan yang lainnya akan menunggumu di bawah.”
Setelah mengobrol dengan Tristan aku akhirnya mulai beranjak dari kasur dan mulai mengambil air untuk mencuci wajahku. Aku melihat Guru yang sedang menjadi burung hanya memperhatikan keluar jendela tanpa berbicara sama sekali.
“Apa kau tak tidur Guru?”
“Sudah. Aku tak terlalu membutuhkan banyak tidur sepertimu.” jawabnya. “Hei … kuharap kau mengingat peringatanku semalam. Sangan pernah lupakan semua yang kukatakan, mengerti?”
“Baik, aku pasti akan mengingat semua itu.”
Perbincangan singkat kami memulai hari baruku di akademi ini. Setelah latihan di pagi hari. Aku dan yang lainnya mulai bersiap-siap untuk menuju kelas. Berbeda dengan hari sebelumnya, kini Guru memutuskan untuk ikut bersamaku.
Selain karena ada kelas familiar di sore nanti, Guru juga mengatakan jika mulai sekarang akan lebih baik jika dia terus ikut denganku. Entah kenapa aku rasa Guru sangat berjaga-jaga akan sesuatu saat ini.
“Baiklah sepertinya semuanya telah hadir. Mari kita mulai hari ini dengan mengkaji ulang teori tentang perdagangan dan keikut sertaan serikat petualang di dalamnya ….”
Kelas pagi berjalan seperti biasanya. Kevin dan Viona juga memutuskan untuk pindah dari bangku depan dan mulai duduk bersamaku dan juga Tristan. Tak terasa kelas telah terlewati begitu saja.
Aku dan ketiga temanku memutuskan untuk melakukan latihan sebelum lanjut makan siang di kafetaria. Setelah selesai latihan, kami akhirnya pergi ke kafetaria dan mulai makan makanan yang telah dipesan oleh Viona. Sama seperti kemarin makanan kali ini juga dipenuhi oleh protein dan serat.
“Sehabis ini kalian ada kelas apa?” tanya Viona padaku dan Tristan.
“Aku ada kelas Familiar.” jawabku
“Kalau aku mengambil kelas bela diri.” jawab Tristan.
“Kau mengambil kelas bela diri lagi hari ini?” lanjut VIona.
“Iya, aku memang telah dinyatakan lulus di beberapa kelas, jadi aku memilih untuk mengambil kelas bela diri tambahan,” Tristan menjelaskan situasinya.
Namun berbeda dengan apa yang dia ucapkan. Kami bisa melihat ekpresi sedih dari wajahnya.
“Kau tak apa, bung?” tanya Kevin padanya.
Dengan senyum yang dipaksakan Tristan menjawab. “Tidak, aku tidak apa-apa.”
“Baiklah. Tapi jika ada apa-apa, sebaiknya kau memberi tahu kami, oke?”
“Tentu, aku pasti akan memberi tahu kalian.”
Kami tak bisa mengetahui apa yang Tristan coba sembunyikan. Kami bertiga hanya bisa berharap jika tidak akan ada sesuatu terjadi padanya. Memang Tristan sekarang sudah memiliki teman untuk diajak bicara, namun traumanya tidak akan bisa hilang begitu saja.
Setelah selesai makan. Kami akhrinya menghadiri kelas masing-masing. Kevin dan Viona mengambil kelas yang sama, yaitu kelas Ekonomi dan Politik Dagang. Sepertinya mereka memilih kelas itu karena ada sangkut pautnya dengan background keluarga mereka.
Viona merupakan seorang anak dari pedagang yang cukup terkenal, sedangkan Kevin adalah anak dari keluarga sarjana yang bekerja di kerajaan. Dengan begitu kelas yang mereka pilih ini akan sangat membantu keluarga mereka masing-masing.
Untukku sendiri. Kelas familiar ternyata adalah kelas yang begitu mencekam. Di sana kami diajarkan mengenai kebiasaan dari familiar, bagaimana cara merawat familiar dan cara untuk membuat koneksi yang lebih dalam dengan familiar.
Memang terdengar damai, namun kalian harus ingat bahwa familiar yang ku bawa adalah seorang magician circle 10. dia bukan familiar yang sebenarnya, sehingga memperlakukannya seperti seekor familiar membuatku frustasi karena memikirkan hal apa yang akan Guru lakukan nanti setelah kelas selesai.
Wajah marah dari Guru bisa kulihat dengan jelas walaupun sedang berubah menjadi seekor burung. Aku benar-benar tamat karena terpaksa mengikuti kelas seperti ini. Semoga Guru bisa bermurah hati mengingat ini semua adalah ide dia.
“Maafkan aku Guru.” ucapku setelah kelas selesai.
Murid-murid yang lain telah kembali ke asrama mereka masing-masing, sehingga hanya menyisakan aku dan Guru saja di dalam kelas ini. Kelas yang luas dengan banyaknya alat untuk menyenangkan hewan seperti tempat makan hewan dan tempat hewan bermain. Kelas yang terlihat damai ini sungguh terlihat menakutkan saat ini.
“Tak apa …” terdengar suara gemetar ketika Guru menjawabnya. “Mari kita pulang. Aku akan mengajarkanmu sihir listrik di asrama.”
Sepertinya riwayatku telah habis. Memang guru mengatakan sihir listrik, tapi kurasa itu memiliki maksud lain. Mungkin seperti kursi listrik untuk mengeksekusiku atau semacamnya.
“Baik Guru … semoga aku selamat di sana.”
“Yah, semoga saja.” jawabnya.
Dia benar-benar tak mencoba untuk menyembunyikan kemarahannya. Aku benar-benar akan menemui ajalku sesaat lagi. Terima kasih tuhan telah memberikanku kehidupan yang indah ini, walaupun ini singkat, tapi aku sangat bersyukur karena telah diberikan kesempatan olehmu.
...----------------...
Kami akhirnya sampai di kamarku. Di sana aku tak melihat adanya Tristan. Namun aku tak terlalu memikirkannya karena matahari masih terlihat sore ini. Setidaknya ada beberapa jam lagi sebelum malam tiba.
Sesampainya di kamarku, Guru lalu menyuruhku untuk duduk di meja belajar yang ada di sana. Guru mulai berubah menjadi manusia dan menjelaskan beberapa hal padaku.
“Kau ingat kan bagaimana cara Shock Wave bekerja?” tanya Guru.
“Ya, kita mengalirkan listrik ke tubuh target dengan tujuan untuk menghentikan pergerakannya.”
“Benar. Lebih tepatnya kita mengalirkan listrik ke tubuh bagian luat target. Lalu apa yang terjadi jika kita mengalirkannya ke tubuh bagian dalamnya?”
“Aku tak tahu apa yang akan terjadi karena itu, apa ini ada hubungannya dengan tehnik yang mau kau ajarkan?”
“Benar. Sebaiknya kau mencobanya sendiri.”
“Maaf, apa maks-.”
Sebelum aku menyelesaikan ucapanku, Guru tiba-tiba saja langsung mengalirkan listrik ke dalam tubuhku. Aku merasa seperti jantungku berhenti seketika dan tiba-tiba saja mulai berdetak dengan lebih cepat.
“Aargghh!” teriakku sembari mengatur napas.
“Bagaimana?” tanyanya padaku.
Sungguh kenapa dia bisa bertanya segampang itu setelah menjadikanku kelinci percobaan.
“Apa maksudmu bagaimana Guru?! aku hampir saja mati!”
“Benar. Serangan itu bisa saja kau gunakan untuk menghentikan jantung lawanmu.” ucapnya tanpa merasa bersalah.
“Lalu kenapa kau gunakan itu padaku!”
“Karena kau harus mencobanya.”
“Hah! Apa maksudmu aku bisa saja ma-.”
Belum selesai aku berbicara, tiba-tiba saja aku mendengar teriakan yang memanggilku dari arah luar jendela. Sepertinya suara itu datang dari halaman asrama.
“Deron! Kau di sana?!”
Mendengar teriakan itu aku akhirnya memutuskan untuk melihat suara siapakah itu. Ketika aku melihat keluar jendela, aku bisa melihat Kevin dan Viona yang sedang berdiri di halaman asrama dengan wajah cemas.
“Ada apa?” tanyaku penasaran.
“Apa Tristan bersamamu? Kami tak bisa menemukan Tristan sama sekali!” ucap Viona.
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menghampiri mereka, Guru juga ikut dengaku setelah kembali bertransformasi. Kini wajah cemas mereka berdua telah ada dihadapanku.
“Apa maksud kalian?” tanyaku sesampainya di halaman asrama.
“Kami tadi menunggunya di depan gerbang akademi. Namun sampai akhir kami tak bisa menemukannya sama sekali, sudah tak ada murid lagi yang keluar dari sana,” ujar Kevin.
“Kami juga telah mencarinya ke dalam akademi, tapi kami tak bisa menemukannya sama sekali!” lanjut Viona.
“Sial! Aku juga tak melihatnya. Sebaiknya kita mencarinya sekarang.”
“Kau benar.” ucap Kevin.
Hari yang mulai gelap ikut serta menemani kami berlari menuju akademi. Kami hanya bisa berharap agar tidak ada hal buruk yang terjadi pada Tristan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Khodam maut
meueuehe bau-bau bakal ada pmbunuhan Dari gurunya
2023-04-30
0
Khodam maut
hooo jangan naif Deron...
2023-04-30
0