Sinar matahari dan udara segar mulai memasuki kamar yang gelap dan pengap ini setelah aku membuka jendela yang ada di kamar. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas meja belajar yang berantakan, debu dan sampah yang ada di mana-mana serta lumpur yang menempel di lantai dan dinding-dinding kamar, Entah karena alasan apa, Tristan sampai harus menyiksa dirinya sendiri sampai sebegininya, ini benar-benar tidaklah masuk akal untuk seseorang dapat menjalani hidup seperti ini. Apa ada orang yang memaksanya hidup seperti ini?
“Jadi… Ham, ah maksudku, Tristan. Kenapa kau membiarkan kondisi kamar ini sampai sebegini buruknya?” tanyaku padanya.
Aku mencoba menanyakan alasan dia melakukan semua ini. Atau jika memang ada yang memaksanya, siapa mereka? Dan kenapa?
“aku tidak, tidak, aku tidak punya alasan apa-apa … Aku, aku hanya senang tinggal seperti ini saja, Hehe.”
Mau di sembunyikan bagaimanapun, semua orang bisa tahu jika ada yang salah dengannya. Yah, tapi siapa pula aku sampai mengusik hal yang dia kehendaki. Jika memang ini atas kemauan dia sendiri, aku tak bisa berbuat banyak pada kesenangannya.
“Oh, oke … tapi bisakah mulai sekarang kau mulai membersihkan kamar dan membuka jendelanya? Bagaimanapun, sekarang aku akan tinggal di sini juga.”
“Kau akan tinggal di kamar ini? Tinggal di sini? Di kamar ini?” jawabnya dengan sangat terkejut.
“Iya, toh bukan aku juga yang memilih kamar.”
Dia mulai melihat ke kakinya dan mengerucutkan bibirnya. “Benar … kau benar.”
“Ada masalah?” Apa dia adalah tipe orang yang disebut-sebut sebagai hikikomori?
“Tidak, tidak ada, tidak ada masalah sama sekali, tidak ada.”
“Oke …? Yah, kalau enggak ada masalah sih bagus, soalnya aku enggak yakin bisa tinggal dengan kondisi kamar separah ini, ah, bukan maksudku menjelekkan gaya hidupmu.”
“Tidak apa, itu wajar bagimu berpikir seperti itu, sangat wajar ….”
Wajahnya yang seperti diselimuti kabut kelam itu benar-benar membuatku penasaran dengan alasan kenapa dia hidup seperti ini.
“Baguslah, oh iya, bisa bantu aku membereskan kamar ini? Ini benar-benar berantakan.” tanyaku padanya.
Aku mulai menyimpan barang-barangku di samping pintu masuk. Dan membenarkan posisi bangku dari meja belajar yang terjatuh tak karuan.
“Ba-baik! Sebentar, tunggu aku.” Tristan yang masih terduduk di lantai langsung bangkit dan pergi ke luar kamar. “Aku akan membawa sapu dan pel, tunggu sebentar, oke? Tunggu ya!” Dia lari begitu saja.
“Anak yang aneh.” ucap Guru yang sedari tadi bertengger di pundakku.
“Kau benar, tapi yang lebih penting sekarang adalah untuk membereskan kamar ini, sepertinya aku cukup sial di hari pertamaku.” Aku menghela nafas panjang.
“Ya, cepatlah, aku akan berkeliling akademi dulu untuk mencari informasi.” Guru lalu pergi terbang melalui jendela yang terbuka sampai siluetnya mulai tak terlihat lagi.
“kau seharusnya membantuku, Guru …” gumamku memperhatikan Guru yang telah terbang menjauh.
Aku mulai membereskan kamar, dimulai dari kasur sampai meja belajar yang tak beraturan. Tak lama dari itu, Tristan juga sudah kembali dan mulai menyapukan kamar kami.
Namun dibanding semua itu. Hal paling parah dari bersih-bersih ini ternyata ada di dinding kamarnya. Tak kusangka ternyata noda yang ada di dinding tersebut bukan hanya lumpur belaka. Di sana juga ada kotoran yang telah bersatu dengan lumpur. Apa Hikikomori benar-benar semalas itu sampai-sampai buang air di dinding? Ini benar-benar menjijikkan.
Setelah membereskan kamar dengan sedikit bantuan sihir tipe air tanpa sepengetahuan Tristan, aku mulai bisa melihat kemewahan isi kamarku yang tadi tertutupi oleh debu dan kotoran.
Ranjang tingkat yang ada di sebelah kiri ruangan dengan rangka yang terbuat dari alumunium, 2 meja belajar di sebelah kanan dan lemari pakaian di sebelah ranjang yang terbuat dari kayu oak.
Dinding kotor yang tertutupi kotoran dan lumpur itu juga sudah terlihat lebih baik lagi. Terlihat marmer yang menyelimuti dinding itu membuat suasana di dalam kamar menjadi lebih damai namun tetap elegan.
“Nah jika begini kan enak ditempati,” ucapku yang mulai lelah.
“Iya anda, eh, kau? Kau benar,” jawab Tristan masih terbata.
“Hei, bicara santai saja, mulai sekarang kita teman sekamar.”
“B-baik, akan aku usahakan.”
Dia terlihat sangat canggung, apa dia tidak memiliki teman untuk diajak bicara selama ini?
“emm, biasa kan saja, oke?” Aku pun melirik ke arah Ranjang tingkat. “Kau pilih di mana?”
“Maaf?”
“Kau pilih tidur di mana? Bawah atau atas?”
“B-bawah, aku di bawah saja.”
Syukurlah, aku juga tak ingin dia ada di atasku mengingat tubuh besarnya itu. Jika kasur itu ambruk, kurasa aku akan segera mati karena kehabisan napas, atau mungkin karena rusuk yang patah.
“Oke, aku tidur duluan kalau begitu, boleh?”
“Tentu, tentu, Selamat beristirahat.”
Aku mulai naik ke atas kasurku dan memejamkan mataku yang sudah terasa sangat berat.
Tuk, tuk, tuk
Sinar matahari pagi sudah mulai keluar menyinari kamar ku. Aku juga bisa melihat seekor burung berada di atas kepalaku saat ini. Terasa paruh burung itu sedang mematuki kepalaku. Apa aku sedang bermimpi?
“Burung?”
“Bangunlah bocah!” seru Guru melalui telepati.
Aku terperanjat dari tidur ku. “Aaahhh!”
“Waa! Kau tidak apa-apa?!” tanya Tristan yang telah bersiap berangkat ke kelas.
“Ah, iya, cuman mimpi buruk.”
“Oke, kalau begitu, aku pergi ke kelas duluan ya, kau ada yang perlu di urus dulu bukan?”
“Iya, aku harus pergi ke ruang guru terlebih dulu, kau pergilah duluan.”
Tristan yang telah berpamitan akhirnya pergi menuju akademi, meninggalkanku dan Guru di kamar. Guru yang sedang berdiri di atas kepalaku pun mulai pindah ke rangka kasur yang menghalangiku agar tidak terjatuh ke bawah.
“Kenapa kau lambat sekali untuk bangun?” ucap Guru
Aku menghela napas panjang. “Aku terlalu lelah kemarin, Guru.”
“Sudah cepat bangun, kau tak mau terlambat di hari pertamamu bukan?”
“Iya-iya, kenapa juga aku harus langsung masuk kelas ketika baru saja mendaftar,” keluhku.
“Itu karena kau lompat kelas, ingat?”
Benar, jika aku memulai seperti anak baru lainnya, aku bisa memulainya minggu depan. Tapi aku harus sekelas dengan anak-anak yang usianya ada di bawah ku. Sehingga mau tak mau aku masuk kelas lebih awal.
“Baiklah, aku akan pergi sekarang.” Aku beranjak dari kasurku menuju kamar mandi. Berniat mencuci wajahku. “kau sendiri bagaimana, Guru?”
“Aku akan menunggu di ruangan, Gareth. Selain kelas familiar, kau tak memerlukanku untuk selalu ada di dekatmu.”
“Baiklah, sampai jumpa kalau gitu.”
Aku bergegas membasuh wajah ku dan mengenakan seragam akademi, jika perlu jujur. Ini terlihat sangat cocok dikenakan olehku, dan yang lebih penting ini sangatlah nyaman, sepertinya ada sihir yang diterapkan ke seragamnya.
Aku berjalan melewati hutan untuk menuju ke akademi. Banyak sekali murid yang sedang berjalan bersama teman-temannya. Aku juga melihat ada beberapa murid perempuan yang mengenakan rok selutut ketika berjalan.
Jika tak salah, perempuan yang kutemui di koridor waktu itu mengenakan celana panjang, apa ada alasan tertentu mengapa dia mengenakan celana panjang tapi yang lain mengenakan rok? Mungkin itu terkait dengan kelas yang mereka ambil.
Sesampainya di akademi, aku langsung pergi menuju ruang guru. Banyak sekali meja berjejer dipenuhi oleh buku-buku di atasnya, ada juga perlengkapan bertarung seperti tongkat penyihir, pedang dan perisai di sana. Aku mencoba melirik ke sekeliling untuk mencari wali kelasku.
Ketika aku sedang mencari wali kelasku, aku bisa melihat ada seorang lelaki yang sedang melambai ke arahku. Dilihat dari gerak-geriknya, sepertinya dia adalah wali kelasku. Aku pun pergi menghampirinya.
“Deron, benar?” sapanya.
“Benar. Apa, Bapak adalah wali kelasku?”
“Iya, namaku, Herald Noah. Kau pasti sudah mendengar tentangku dari, Tuan Gareth benar?”
Jadi dia adalah salah satu orang yang di percayai oleh kepala sekolah itu. Kurasa aku bisa mempercayakan keseharianku di akademi ini padanya, mengingat dia orang yang dipercaya Tuan Gareth.
“Benar, saya sudah mendengar perihal, Bapak.”
“Syukurlah, aku jadi bisa langsung mengantarmu ke kelas. Kau tak keberatan untuk menunggu sebentar?”
“Iya, tak masalah.” Herald langsung mengambil beberapa buku di meja miliknya dan mengantarku ke kelas yang akan aku tempati.
Terdengar banyak sekali suara dari para murid yang mengobrol di dalam ruangan kelas C. sepertinya ketika tidak ada guru, mereka lebih memilih untuk mengobrol ketimbang belajar.
Aku dan Tuan Herald langsung memasuki kelas tersebut. Seketika suasana kelas mulai mendadak hening ketika para murid melihat, Herald memasuki kelas.
Kondisi kelas sendiri terlihat cukup rapi, dengan podium di depan kelas dan juga papan tulis, terlihat juga ada 3 meja panjang di tiap barisnya, setiap meja tersebut bisa diduduki oleh 4 murid sekaligus.
Setiap baris meja memiliki ketinggian lantai yang berbeda, mungkin untuk memudahkan murid mengikuti setiap pelajaran karena dengan begitu mereka tidak akan saling menghalangi satu sama lain.
“Selamat pagi semuanya, sekarang kita kedatangan murid baru di kelas kita. Dia adalah anak yang mencatatkan rekor skor tertinggi di ujian penerimaan murid. Dan melihat usianya, kami para guru memutuskan untuk membuat dirinya memasuki kelas C, semoga kalian bisa akrab dengannya.” ungkap Tuan Herald menjelaskan situasiku pada mereka.
“Nah sekarang coba kau perkenalkan dirimu pada teman-teman yang lain.” Dia mempersilakanku.
“Hei bocah! Ingat, gunakanlah nama belakangku.”
Suara Guru terdengar melalui telepati.
“Baik, Guru. Aku pasti akan melakukannya.” jawabku di dalam kepalaku.
“Deron? Ada masalah?” tanya Herald ketika melihatku terdiam.
“Ah, tidak ada, Ehem.” Aku mencoba mengalihkan perhatian semua orang. “Perkenalkan namaku, Deron Volva, 13 tahun. Senang bertemu dengan kalian semua, semoga kita bisa saling membantu ke depannya mulai sekarang.”
Aku tak melihat banyak reaksi dari para murid, mungkin itu wajar karena yang mereka tahu, aku adalah orang yang melamun ketika akan melakukan perkenalan di depan kelas.
“Baiklah, kalau begitu kau bisa mencari kursi kosong untukmu duduk,” seru Herald
Setelah di persilakan olehnya. Aku langsung pergi mencari kursi kosong yang ada. Namun hampir semua meja telah diisi, kecuali meja yang ada di barisan belakang sebelah kanan kelas.
Entah karena apa, meja tersebut hanya diisi oleh satu orang, dan orang itu adalah, Tristan. Padahal tiap meja yang ada itu bisa diduduki oleh 4 orang murid sekaligus, tapi kenapa dia hanya duduk sendiri?
Terlebih yang membuat ini jadi lebih aneh adalah beberapa murid di kelas malah memilih duduk berlima walau harus berdempetan. Sepertinya Tristan dijauhi oleh teman-teman sekelas, tapi karena alasan apa?
Aku tak memiliki waktu untuk memikirkan hal tersebut, sekarang aku harus cepat duduk di sana. Mengingat sekarang para murid terus saja memperhatikanku, ada juga beberapa yang berbisik membicarakanku, walau aku juga tidak mempedulikannya.
Aku akhirnya duduk di meja yang sama dengan, Tristan.
“K-kau tak seharusnya duduk dengan ku,” ucap Tristan seketika setelah aku duduk.
Aku melihat ke sekeliling. “Kenapa? Aku juga tak melihat ada tempat lain yang kosong.”
“Lupakan, lupakan saja,”
“Oke?”
Benar-benar aneh, kurasa keseharianku di akademi ini tidak akan terlalu menyenangkan seperti yang aku duga. Tanpa mempedulikan, Tristan yang terlihat gelisah. Aku mengikuti kelas seperti murid lainnya.
Oh iya, bukankah 2 orang murid yang aku temui di koridor waktu itu adalah murid dari kelas C juga? Aku mencoba mencari ke sekeliling.
Mataku terhenti ketika aku melihat mereka melambai ke arahku dari meja tengah yang ada di barisan paling depan. Mereka tersenyum ke arahku, aku pun membalas senyum mereka. Setidaknya masih ada beberapa orang yang menerimaku di sini, pikirku.
Dengan begitu aku pun melewati pagiku sebagai seorang murid baru dari akademi pahlawan, Eldrea.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Yuchen
Mksdnya Tak ini kalimat baru? atau terputus ini bro?
2023-05-13
1
Khodam maut
eits, Dero mulutnya gabisa di rem😭🤣
2023-04-24
0
MarukoChang!
semangat thor updatenya
2023-04-24
0