Terlihat ada 20 dari 36 murid yang menghadiri kelas praktik bela diri. Sisanya mereka memasuki kelas magic. Dan dari 20 orang tersebut kembali terbagi menjadi beberapa kategori senjata. 10 orang berpedang, 4 orang memanah dan 6 orang sisanya berlatih menggunakan tombak.
Namun sebelum kami dipisahkan menurut kategori senjata masing-masing. Kami semua akan ikut pelatihan tangan kosong secara bersama, ini bertujuan untuk membuat setiap murid dapat bertarung dalam segala kondisi.
Mengingat terjatuhnya senjata di dalam pertempuran itu akan sangat fatal bagi petarung jarak dekat, dan pertarungan jarak dekat juga akan menyulitkan bagi pemanah. Maka kami diberi materi pelatihan yang sama setiap awal kelas bela diri.
Sebelum memasuki latihan bela diri kami akan dipaksa untuk berlari 10 putaran di track lari dengan tujuan menambah stamina kami. Karena dibandingkan dengan penyihir yang menggunakan mana. Orang yang mengambil jalur bela diri harus mengandalkan stamina mereka selama bertarung, entah dia petarung jarak dekat atau jauh itu semua sama.
Sehingga stamina dari tiap murid itu harus sangat diperhatikan. Walau memang ada yang namanya Aura, keahlian mengalirkan mana ke bagian tubuh atau senjata sehingga membuat penggunanya mampu mendobrak batas dirinya. Tapi itu tak semudah seperti yang dikira.
Tidak semua orang bisa menggunakan Aura. Hanya orang-orang terpilih saja yang dapat menggunakannya. Sehingga kebanyakan ahli bela diri hanya bisa bergantung pada kemampuan fisiknya saja.
Herald Noah, wali kelas sekaligus instruktur combat kami di akademi mulai menyuruh semua murid yang hadir untuk segera berlari setelah melakukan absensi singkat.
“Cepat bergerak!” seru Herald.
Setelah mengganti pakaian dengan seragam olahraga serba putih yang dialiri mana. Kami akhirnya mulai berlari sebanyak 10 putaran. Hampir setiap murid memiliki stamina yang cukup baik ketika berlari sehingga mereka bisa bergerak dengan cepat.
Namun tidak dengan seorang murid. Tristan sangat payah dalam hal ini, memang tekadnya perlu diacungi jempol untuk berlatih tanpa mengeluh sedikit pun. Tapi badan gempalnya itu benar-benar menjadi penghalang terbesar baginya saat ini.
Setelah selesai berlari kamu lanjut berlatih mengangkat beban. Dibandingkan dengan latihan berlari, sekarang di kelas kami ada 2 orang yang terlihat sangat payah. Orang-orang yang payah itu adalah Tristan dan Aku.
Aku dipaksa melakukan bench press dengan beban seberat 20kg. Sebagai informasi saja, berat barbel sendiri itu sekitar 10kg sehingga total semua berat yang ku angkat itu ada di sekitar 30kg.
Pelatihan yang sangat berat bagi anak berusia 13 tahun pada umumnya. Tapi sepertinya anak-anak lain di kelas tak terlalu kesulitan mengangkat 30kg barbell itu. Bahkan ada diantara mereka yang menggunakan beban sebesar 40kg, sehingga total beban berat yang dia angkat itu 50kg.
Orang-orang yang menggunakan beban berat itu adalah Kevin dan Viona. Kurasa selain karena mereka cerdas, latihan gila itu juga lah yang membuat mereka dapat naik kelas lebih cepat daripada anak-anak lainnya.
Napas ku masih belum teratur dengan sempurna, berbeda dengan Kevin dan Viona yang tak terlihat seperti merasa lelah sama sekali. “Huft! Apa kalian selalu berlatih seperti ini?” tanyaku pada mereka.
Tristan yang tergeletak kelelahan di sampingku hanya bisa mengangguk pelan “I-hii-ni, tidak, hii, seberapa, Huuuft!” jawab Tristan dengan napas berat.
“Bung kau tak perlu memaksakan dirimu untuk berbicara.” tutur Kevin.
“Benar, kau bisa mengatur napasmu terlebih dahulu,” lanjut Viona.
Tristan yang terbaring mulai bangkit duduk dan menatap ke arah Kevin dan Viona dengan wajah merah karena kelelahan. “Terima kasih …” ucapnya masih mencoba untuk mengatur napas.
Belum sempat kami mengatur napas, Herald mulai mengumpulkan kami semua untuk melakukan sparing ringan di area yang telah disediakan di tengah-tengah ruang latihan.
Setelah mengumpulkan kami semua, Herald lalu memberikan arahan pada kami. “Oke seperti biasa kita akan melakukan sparing ringan sekarang, namun karena kita memiliki murid baru di kelas kita. Maka saya sendiri yang akan menjadi sparing partner bagi Deron.”
Kurasa dia menawarkan diri sebagai sparing partnerku karena dia tak mau murid lain terhambat latihannya. Mengingat mereka harus menahan diri ketika melawanku yang tidak punya basic sama sekali.
“Baik, majulah Deron!” seru Herald padaku.
Aku lalu memasuki area yang telah diberikan garis merah sebagai pembatas area bertarung kami. Terlihat setiap murid memperhatikanku dari samping, teman-temanku juga memperhatikanku sembari tersenyum memberi semangat padaku.
“Kau siap?” tanya Herald memastikan.
“Siap, Tuan.”
“Baiklah kalau begitu kau boleh menyerang kapan saja.” ucapnya memulai sparing.
Namun meski Tuan Herald mempersilakan diriku untuk menyerang, dia sama sekali tidak mengambil posisi bertahan saat ini. Dia hanya berdiri di hadapanku dengan senyuman di wajahnya.
Tanpa banyak berpikir aku langsung mendekat pada tuan Herald dan melancarkan pukulan ke arah wajahnya dengan tangan kananku. Namun sebelum pukulanku mengenainya, Tuan herald mulai menggenggam tangan dan siku milikku.
Dia memutar lenganku ke arah kiri dan membanting nya ke arah berlawanan sehingga membuatku terlempar dan memaksaku menatap langit-langit. Semua itu terjadi dengan begitu cepat.
Tak kusangka dia akan menggunakan kekuatanku untuk bertahan dari serangan ku seperti itu. Jika tak salah aku pernah membaca bela diri semacam ini, namanya adalah Aikido. Bela diri yang memanfaatkan tenaga lawan untuk bertahan.
Di dalam aikido, mereka tidak memiliki satupun gerakan untuk menyerang, bisa dibilang ini adalah bela diri yang menggunakan pertahanan sebagai serangannya. Benar-benar ilmu bela diri yang luar biasa.
“Bagaimana? Mau coba sekali lagi?” ucapnya sembari memperhatikanku yang tergeletak di bawahnya.
“Boleh, Tuan.” jawabku.
Tanpa pikir panjang aku menerima tawarannya. Aku masih ingin mencoba menyerangnya sekali lagi, aku tak peduli dengan dipermalukan. Saat ini aku hanya kagum dengan kemampuan Tuan Herald dan ingin menyerap ilmu darinya sebanyak-banyaknya.
Aku langsung kembali ke posisiku semula. Tuan Herald masih dalam posisi bertahan yang sama, namun perbedaan kali ini adalah aku yang sadar jika dia tidak sedang mencoba berbelas kasihan padaku.
Tuan Herald memberikan gesture tangan yang mempersilakanku untuk menyerang. “Baik, kau boleh menyerangku sekali lagi.”
Aku memperhatikan Tuan Herald, mencoba mencari celah darinya, tapi aku sama sekali tak menemukan celah sedikitpun darinya. Posisi dia yang hanya berdiri itu membuat dia mampu bergerak semau dia ketika diserang olehku.
Terlihat beberapa dari siswa mulai berbisik menertawakanku di samping area sparing. Aku tak mempedulikan mereka sama sekali, aku hanya peduli pada temanku yang masih memberi semangat dari samping sana.
Perlahan aku mendekati Tuan Herald, Selangkah demi langkah aku mendekat padanya. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berlari ke arahnya dan kembali melemparkan pukulan dari tangan kanan milikku.
Terlihat Tuan Herald mulai melakukan gerakan yang sama seperti sebelumnya, namun perbedaannya saat ini adalah, pukulan yang kulempar kali ini hanya sebagai pengalih perhatian.
Sesaat sebelum Tuan Herald menangkap tinjuku. Aku yang memposisikan kaki kiriku di depan, mulai memutar kaki kananku ke belakang dengan tujuan untuk melakukan tendangan memutar ke arah ulu hati Tuan Herald.
Namun karena aku yang belum pernah belajar bela diri membuat kontrol tubuhku tak begitu bagus. Niatku yang ingin menendang ulu hatinya malah jadi menendang bagian adik kecil milik Tuan Herald.
Ekspresi ngilu terlihat dari setiap murid yang menonton sparing kami. Teman-temanku juga sudah menutupi wajah mereka sembari tertawa cekikikan. Aku mencoba mendekati Tuan Herald yang sedang meringkuk di lantai sembari memegangi adik kecilnya itu.
“Ma-maaf, Tuan. Apa ada yang hilang?” tanyaku padanya.
Mendengar pertanyaan yang aku lontarkan malah membuat setiap orang di sana tertawa karenanya. Aku tak berniat untuk membuat lelucon atau apa pun itu. Ini semua murni karena kepedulianku sebagai sesama laki-laki.
Tuan Herald yang masih kesakitan mulai berusaha berdiri dan meminta izin pada kami. “Aku tak apa, sepertinya aku harus ke ruang perawatan terlebih dahulu sekarang. Kalian belajar secara mandiri lah untuk saat ini.”
Dia berpamitan dengan menahan rasa sakit yang luar biasa itu. Kami akhirnya harus berlatih secara mandiri karena ulah ku yang menyakiti masa depan instruktur ku sendiri.
Teman-temanku yang sedang tertawa itu mulai mendekat ke arahku.
“Bagus bung, itu semua tidak buruk,” ucap Kevin sembari tertawa.
Viona yang masih memegangi perutnya karena tertawa juga tak luput mengejekku. “Benar, kau benar-benar mampu menendang biji rupanya.” ucapnya tak henti tertawa.
“Tak, apa, Pfft!, tak apa, Puhah! Kau sudah berusaha, PFfthaha!” ucap Tristan.
Sepertinya dia berusaha menyemangatiku, namun dia tak sanggup untuk menahan tawa. Kejadian barusan benar-benar seperti sketsa komedi bagi mereka semua saat ini.
“Maafkan aku Tuan Herald …” batinku.
Dengan perginya Tuan Herald untuk menerima perawatan, murid-murid akhirnya mulai berlatih secara mandiri. Walau ada beberapa dari mereka yang masih menertawakan kejadian barusan, begitu juga dengan temanku.
“Sudah lah, bung. Kau tak perlu merasa bersalah, itu semua normal untuk terjadi,” tutur Kevin sembari merangkulku.
“Benar, tidak ada aturan khusus kita harus menyerang ke arah mana selama pertarungan. Kau tidak sepenuhnya salah,” lanjut Viona.
Sedangkan untuk Tristan, dia masih terus menutupi mulutnya karena tak bisa berhenti tertawa. “I-itu benar, tak ada yang salah dari menendang masa depan instruktur kita, pfft!” ucapnya sembari masih mencoba menahan tawa.
“Terima kasih teman-teman …” ucapku merasa bersalah.
Kami akhirnya mulai berlatih secara berpasangan. Aku berpasangan dengan Viona dan Kevin berpasangan dengan Tristan. Mereka memutuskan partner latihan ini karena tak mau memasangkan aku dengan laki-laki lainnya. Walau merasa terhina, aku mencoba mengikuti kemauan dari mereka.
Latihan dengan Viona benar-benar berjalan dengan lancar. Tak kusangka Viona benar-benar pandai dalam mengajari orang lain. Dia mengajarkanku bagaimana caranya memegang pedang dan melakukan latihan dasar seperti menyerang dan bertahan.
Pada akhirnya Tuan Herald masih tak kembali ke ruang latihan, aku benar-benar merasa menyesal atas semua perbuatanku ini. Dengan begitu kelas sore itu telah selesai. Setiap murid telah kembali ke asrama masing-masing.
Aku dan temanku yang masih mengemasi peralatan akhirnya memutuskan untuk kembali ke asrama kami. Namun kami dihadang oleh Albert dan juga komplotannya itu di tengah perjalanan.
Nampak wajah menyebalkan Albert di hadapan kami saat ini. “Yo, penendang biji!” ucapnya.
Sepertinya rumor mengenai aku yang menendang adik kecil dari instruktur itu telah menyebar dengan sangat cepat. Dan orang yang aku paling tidak ingin mengetahuinya juga telah mendengar kabar tersebut.
Aku mencoba tak menghiraukan nya, namun berbeda dengan VIona, dia memberikan senyuman mengerikan di wajahnya. “Apa milikmu itu juga ingin ditendang oleh teman kami yang ahli menghancurkan masa depan ini?” ucap Viona.
Aku tak tahu dia sedang berusaha untuk membelaku atau malah ingin mengejekku sekarang ini.
“Jaga ucapanmu! Kau sedang berhadapan dengan bangsawan,” ungkap Silva memperingatkan.
“Seperti aku akan peduli saja.” jawab Viona sembari menaikkan bahunya.
Sepertinya Viona bisa berlagak menyebalkan seperti Guru jika berhadapan dengan
orang yang tak dia sukai.
“Sudahlah, kau tak perlu repot-repot memberi tahukan betapa rendahnya mereka ini di hadapan seorang bangsawan,” ucap Albert sembari menahan Silva yang terlihat ingin menyerang kami.
“Aku tidak berniat berurusan dengan tikus kecil dan juga babi,” perkataan Albert ditujukan pada 3 temanku.
“Kau ada urusan denganku? Aku tak ingat jika aku memiliki urusan denganmu,” ucapku tak ingin memprovokasinya.
“Tentu kau punya urusan denganku, kau sudah ikut campur dengan urusan seorang bangsawan. Kau harus bertanggung jawab untuk semua itu.”
Sepertinya usahaku untuk meredakan ketegangan diantara kami ini cukup sulit. Bertindak defensif pada mereka tidak akan pernah bekerja. Jika saja guru tak memperingatkanku, aku pasti sudah menendangnya.
“Sepertinya aku tak melihat sosok seorang bangsawan darimu sama sekali,” potong Kevin.
Silva yang mendengar ucapan Kevin mulai melangkah ke depan. “Kau tak seharusnya memotong ucapan Tuan Albert.”
Melihat hal ini tidak berjalan seperti yang aku harapkan. Aku jadi mendapatkan sebuah ide untuk menyelesaikan semua ini.
Aku pun melangkah ke depan Silva dan mengangkat kaki kananku di hadapan mereka, berlagak seperti sedang ingin menendang sembari memperhatikan bagian bawah perut mereka.
Tanpa berkata apa-apa mereka semua mulai memegangi adik kecilnya dan perlahan mundur.
“Ah, aku lupa harus segera menyelesaikan PR,” ucap Albert memberikan alasan.
Silva yang masih memegangi adik kecilnyapun menjawab Albert. “Kau benar, Tuan. Kita memiliki tugas yang banyak karena berada di kelas B, tak seperti mereka.”
Setelah membuat alasan, akhirnya mereka pergi dari hadapan kami. Sepertinya ideku benar-benar berhasil menakuti bocah kurang ajar seperti mereka ini.
“Haha kau hebat Deron!” Viona menepuk pundakku sembari tertawa.
“Ya, kau benar-benar hebat ahaha!” Kevin dan Tristan juga ikut tertawa karenanya.
Sepertinya menggunakan rumor yang beredar untuk menakut-nakuti bajingan kecil seperti mereka itu sangat berguna. Setidaknya dengan begini aku bisa menunda kemungkinan terburuk yang akan terjadi ketika melawan bangsawan.
Namun aku tetap tak boleh bersenang hati, karena menurut informasi dari guru. Mereka para bangsawan tidak akan berhenti begitu saja, aku harus segera mencari cara untuk menyelesaikan masalahku dengan mereka. Dan satu lagi ….
Sepertinya sekarang aku memiliki julukan sebagai ‘Si penendang biji’.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Ayano
Julukannya bener bener wow banget ya allah wak 🤣🤣🤣
2023-08-02
0
Ayano
Sixpack langsung
2023-08-02
0
Ayano
Kayak kekuatan aura tuh untuk orang terpilih gitu ya
2023-08-02
0