Wajah tegang menyelimuti ruangan kelas yang hening. Badan Tristan masih tak berhenti bergetar karena tak kuasa menahan rasa marah dan pedih di hatinya. Kami bertiga bisa tahu jika Tristan pasti sudah melewati perundungan ini sejak lama.
Kevin dan Viona yang sedari tadi ada di dekat pintu masuk mulai melangkah menghampiri Aku dan Tristan. Suara langkah kecil mereka benar-benar mengisi ruang kelas yang kosong ini.
Aku memperhatikan wajah Tristan yang dipenuhi oleh lumpur di sekitar mulutnya, mulai tak kuasa menahan air mata. “Apa kau selalu mengalami hal ini?” tanyaku padanya.
“Kau tak seharusnya ikut campur …” dengan gemetar dia menjawab.
Kepedihan yang dia alami selama ini membuatnya tak bisa meminta bantuan orang lain. Tanpa perlu dia berucap. Aku tahu dia tak mau menerima bantuan dari orang lain karena dia takut jika orang lain akan terseret ke dalam penderitaannya itu.
Bagaimanapun yang dia hadapi saat ini adalah seorang anak dari bangsawan yang cukup berpengaruh. Bahkan jika dia tak salah, dia akan tetap terkena akibatnya jika melawan bangsawan.
Untuk orang biasa seperti Tristan, dirundung oleh bangsawan itu adalah hal yang cukup biasa terjadi. Bahkan itu masih lebih baik daripada harus membuat bangsawan marah dan membuat hidup dia dan keluarganya dalam bahaya.
Aku mencoba menepuk pundak Tristan yang masih bergetar. “Tenanglah, aku tak akan mendapat masalah jika hanya melawan anak cengeng seperti itu. Bahkan jika dia anak dari seorang bangsawan sekali pun.” Aku mencoba menenangkan nya.
Aku tak membual ketika berkata seperti itu. Memang dia adalah anak dari seorang Duke kerajaan, tapi apa yang bisa Duke lakukan jika harus melawan ku yang saat ini masih dilindungi oleh orang yang lebih kuat dari Archduke atau Raja?
Memang ini terdengar seperti aku menyalah gunakan posisiku sebagai murid guru. Tapi jika itu hanya satu-satunya jalan. Maka aku harus mau menggunakannya, mungkin guru akan mengomel nantinya, tapi memang nya sejak kapan guru tidak mengomel? Aku hanya harus mendengarnya seperti biasa.
Tristan melirik ke arahku, matanya yang berbinar menahan air mata telah berbicara padaku melebihi mulutnya yang berucap. “Apa kau tahu dia siapa?” ucapnya lirih.
“Albert, anak ketiga dari seorang duke bodoh yang tak bisa mendidik anaknya dengan baik,” jawabku padanya.
“Duke yang bodoh?” Mata Tristan terbelalak mendengar ucapanku.
Sepertinya Tristan mulai sedikit tenang setelah mendengar ucapan dariku. Dia terlihat seperti tak percaya bahwa ada seorang anak yang datang entah dari mana mulai menghina seorang bangsawan dengan mudahnya.
Namun wajahnya masih menunjukkan sedikit rasa cemas. Kurasa kebaikan hatinya itu masih tak mau untuk menerima bantuan orang lain dan menyeret mereka ke dalam masalahnya saat ini. Sama seperti semua korban perundungan lainnya. Memilih diam tanpa ingin menyakiti siapapun tanpa mempedulikan diri mereka sendiri.
Tristan yang masih memandangiku, mulai berpaling dan melihat ke arah kakinya. Dengan tubuh yang masih bergetar dan suara pelan dia berkata. “Aku sudah lama menjadi target mereka ….”
Tristan menjelaskan bahwa perundungan yang dilakukan oleh Albert dan komplotan nya sudah terjadi hampir 2 tahun ini. Dia berkata jika dia mulai dirundung saat kelas gabungan yang dilakukan saat itu.
Dia sendiri adalah siswa yang berprestasi kala itu. Dia memiliki tubuh yang atletis dengan kemampuan bela diri yang sangat baik. Pengetahuannya juga luar biasa. Bisa dibilang Albert cemburu atas kemampuan Tristan saat itu dan mulai menggunakan kuasanya untuk menjatuhkan Tristan.
Albert mulai memperlakukan Tristan layaknya babi sejak itu, dia memberikan makanan yang tak layak untuk dimakan dan memaksa Tristan hidup dengan 'kotor' sampai mengurung diri di kamarnya, hanya agar terlihat seperti babi yang hidup di kandangnya. Itu semua karena nama belakangnya.
Sementara Tristan diperlakukan dengan buruk, Albert tetap maju dan mulai menjadi murid dari kelas B. semua jerih payah yang Tristan lakukan telah diambil sepenuhnya dari tangannya oleh manusia keparat itu. Kini Tristan dikenal sebagai Babi yang tak mampu naik kelas.
Memang otak Tristan itu lebih baik dari semua murid yang ada di kelas C, selain aku tentu saja. Tapi karena Tristan sudah ikut ke dalam program Swordman. Dia jadi tak bisa lulus di ujian praktik karena bobot tubuhnya yang menghalangi usahanya sendiri.
Beberapa kali guru-guru sudah meminta Tristan untuk beralih ke program magic saja. Walaupun dia tak memiliki bakat dalam mana. Setidaknya dia bisa menggunakan otaknya untuk menjadi seorang Alchemy.
Namun Tristan menolak usulan dari para guru, selain karena mimpinya untuk menjadi seorang swordman. Albert juga tidak akan mengizinkan hal tersebut terjadi. Albert tak mau jika harus di susul oleh Tristan dan kembali melihat punggung Tristan ada di depannya.
Mendengar semua penjelasan dari Tristan, darahku mulai mendidih karenanya. Semua perilaku buruk yang Albert dan komplotan nya berikan pada Tristan benar-benar menghancurkan hati kami yang mendengar itu semua.
Viona yang tak kuasa menahan rasa marah mulai mengamuk dengan cara menendang kaki Kevin yang ada di sebelah nya. Aku dan Tristan yang melihat semua itu menjadi sedikit kebingungan, kenapa VIona marah dengan menyerang Kevin?
“Aww! Kenapa kau menendangku?” keluh Kevin pada Viona.
Dengan wajah yang dipenuhi amarah Viona berkata. “Kalau aku menghajar barang di sekitar dan barang itu hancur, aku perlu mengganti rugi nantinya. Setidaknya kalau aku menghajar mu, aku hanya harus meminta maaf tanpa keluar uang sepeser pun.”
“Itu sama sekali gak masuk akal!”
“Untuk pedagang, itu semua masuk akal,” jawab Viona cuek.
Aku dan Tristan yang memperhatikan mereka mulai tertawa karenanya. Semua perasaan tegang dan sedih yang menyelimuti kami, tiba-tiba saja menghilang karena tingkah laku mereka berdua.
Kevin dan Viona yang sedang beradu mulut mulai berhenti dan ikut tertawa bersama kami. Manusia memang lah unik, sesaat dia akan merasa sedih, sesaat kemudian dia bisa tertawa karenanya. Cara unik yang selalu membantu manusia melangkah ke depan walau banyak rintangan menghadang nya.
Saat tawa kami sudah mulai berhenti, Kevin dan Viona mulai melirik ke arah Tristan dan membungkuk. “Maafkan kami!” seru mereka berdua.
“Kami tak tahu jika kau mengalami semua hal ini,” ucap Viona.
“Benar kata Viona. Kami terlalu terpaku pada latihan kami sehingga tidak menghiraukan teman sekelas kami yang menderita,” lanjut Kevin.
Karena jadwal latihan mereka yang padat. Kevin dan Viona tak pernah sempat untuk melihat peristiwa perundungan yang dialami oleh Tristan. Oleh sebab itu kurasa mereka berdua merasa bersalah karena mereka seperti memalingkan pandangannya pada orang yang membutuhkan bantuan layaknya Tristan.
“Tak apa. Aku mengerti situasi kalian. Kalian juga harus berlatih untuk menjadi lebih kuat dan mengejar mimpi kalian sendiri, tolong jangan terlalu dipikirkan, oke? Oke?,” tutur Tristan penuh pengertian.
“Tetap saja aku merasa sangat bersalah. Padahal kami ada di kelas yang sama selama beberapa bulan ini, tapi kami malah tak bisa membantu apa-apa,” ucap kevin dengan tulus.
“Sungguh tak apa, sungguh-sungguh tak apa. Lagi pula kalian juga baru naik ke kelas C benar?” lanjut Tristan.
Karena sistem dari akademi yang memperbolehkan muridnya naik kapan saja selama murid tersebut layak untuk naik kelas. Kevin dan Viona yang baru saja naik ke kelas C 2 bulan lalu, jadi tak terlalu mengetahui apa-apa soal Tristan.
Sistem yang akademi berikan ini juga bukan tanpa sebab. Akademi tak mau menahan orang-orang berbakat untuk tinggal lebih lama di akademi, sehingga mereka membebaskan para murid untuk meminta ujian kenaikan kelas kapan pun mereka mau.
Namun jika para murid tak meminta ujian kenaikan kelas. Akan ada ujian bersama di akhir periode pembelajaran yang mewajibkan semua murid berpartisipasi, tentu murid yang sudah meminta ujian kenaikan kelas tak perlu untuk ikut menghadiri ujian tersebut karena mereka sudah melakukannya.
Walau sebenarnya mereka juga diperbolehkan untuk ikut ujian bersama, tapi itu akan sangat sulit mengingat persiapan mereka yang belum seberapa, sehingga kebanyakan murid yang akselerasi akan memilih untuk tidak mengikuti ujian bersama dan berlatih untuk mempersiapkan diri mereka.
“Sepertinya mulai sekarang kita harus bergerak bersama benar?” ucap Viona.
“Kau benar, terlalu berbahaya jika kalian bergerak sendiri-sendiri mulai sekarang.” Kevin merujuk pada Aku dan Tristan.
“Albert dan komplotan nya tidak akan melepaskan kita begitu saja, terlebih padaku karena telah ikut campur dalam masalah ini,” ucapku.
“Maaf. Ini semua salahku,” Tristan kembali meminta maaf padaku.
“Tak apa, aku juga tak bisa memalingkan wajah ku begitu saja.”
Mengingat yang akan aku hadapi saat ini adalah anak dari seorang Duke. Aku jadi penasaran apakah duke memiliki informasi tersembunyi mengenai 2 pahlawan yang menghilang.
“Deron benar. Kau tak perlu meminta maaf, sekarang kita ada di kapal yang sama. Dan ini bukan karena kau yang menyeret kami, tapi karena kami yang memaksa ikut ke dalam masalah mu,” tutur Kevin menenangkan Tristan.
“Terima kasih, aku beruntung bisa bertemu dengan kalian semua.” Tristan tersenyum pada kami.
Nampaknya kegelisahan yang menyelimuti dirinya sudah mulai hilang sekarang. Wajahnya yang melukiskan kepedihan telah berganti dengan sebuah senyuman. Perasaan lega karena bisa membagikan kesedihan yang dia alami telah menguatkan dirinya dari semua cobaan yang Albert berikan.
Ketika kami sedang berbicara, tiba-tiba saja terdengar suara dari guru di dalam benakku. “Hei, datanglah kemari sekarang. Sepertinya sekarang kita punya hal penting yang perlu di selesaikan bukan?”
Entah kenapa sepertinya guru tahu apa yang terjadi padaku dan memintaku untuk datang menemui nya sekarang dengan mengirimkan telepati padaku. Kuharap guru tak mendengar ucapanku yang seolah akan menggunakan kuasanya, bisa-bisa aku kena marah olehnya. Atau mungkin kembali dicekik hingga sekarat? Aku tak tahu.
Aku mulai bergidik ngeri karena memikirkan semua kemungkinan buruk yang mungkin terjadi padaku. Ketiga temanku yang melihat perubahan mimik di wajahku-pun mulai bertanya padaku.
“Hei kau tak apa?” ucap Kevin melihat perubahan di wajahku.
“Benar, kau tiba-tiba saja terlihat seperti orang yang ketakutan sekarang,” lanjut Viona.
“Aku baik-baik saja, untuk saat ini ….”
Terlihat wajah bingung di muka mereka bertiga. Aku mengerti kenapa mereka memasang wajah seperti itu, tapi aku juga tidak bisa memberitahukan mereka jika aku akan segera menghadapi badai saat ini.
“Sepertinya aku melupakan sesuatu dan harus segera ke kantor kepala sekolah sekarang,” ungkapku pada mereka.
“Mau kami antar? Akan berbahaya jika kau pergi sendiri,” Kevin menawarkan bantuan padaku.
Aku memang ingin meminta bantuan mereka untuk menghadapi badai berbentuk manusia tersebut. Namun itu bukanlah hal yang bijak. “Tak apa, aku bisa pergi sendiri. Lagi pula Albert dan komplotan nya itu tak akan mungkin melakukan konfrontasi secara terang-terangan di depan semua orang.”
“Baiklah kurasa kau benar,” jawab Kevin.
“Berhati-hatilah. Kalau Albert datang menemuimu, kau bisa menendang biji nya dan lari kemari. Biar kita hadapi mereka bersama,” lanjut Viona.
Maafkan aku Viona, tapi yang akan ku hadapi kali ini tidak memiliki biji di bawahnya. Dia tak memiliki kelemahan seperti itu. Aku membatin memikirkan hal yang akan aku hadapi.
“Tenang saja, kalian tak perlu khawatir. Aku akan pergi sebentar, oke?”
“Oke, cepatlah agar kita bisa menjelaskan teori dasar padamu,” ucap Kevin.
Setelah berpamitan dengan mereka, aku langsung beranjak pergi ke kantor kepala sekolah. Tiap langkahku dipenuhi oleh keraguan. Aku tak bisa memikirkan tentang apa yang akan guru bicarakan denganku di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Yuchen
saja real kalau di dunia nyata kalau pergi ke ruang kepala sekolah.
2023-05-17
1
Khodam maut
wuahahha🤣
2023-04-30
0
Khodam maut
enteng bangey ngomongnya😭
2023-04-30
0