Kini Jean dan Yohan telah tiba serta disambut dengan semangat oleh empat remaja yang meliburkan dirinya itu di kediaman si kembar. Keduanya segera dipersilahkan masuk dan disuguhkan minuman dingin di ruang tamu.
“Enak ya lu bertiga, pada izin ga masuk. Alasannya klasik banget. Pada tahu ga kalau sekarang kalian lagi viral di sekolah? Banyak yang ngomongin kalian,” ucap Yohan sambil menerima segelas jus jeruk dan beberapa cemilan yang disodorkan oleh Jevan.
“Wih, keren dong jadi artis kita!” seru Narendra merasa senang.
“Tapi yang paling banyak diomongin tentang Eric sih. Apalagi Eric termasuk siswa aktif banget di sekolah, ga heran deh pada banyak yang tahu Eric dan tentang berita yang dia tenggelam itu,” lanjut Yohan.
“God! Eric viralnya karena ngelawan rasa sakit antara hidup dan mati,” sahut Arashya mendramatisir yang membuat Eric ingin muak mendengarnya.
“Pertanyaan gue, kenapa Kak Yohan bolos?” sela Jevan yang kini ikut duduk dan bergabung bersama mereka setelah meletakkan nampan di dapur.
Yohan hanya cengengesan dan reflek menunjuk Jean disebelahnya. “Bisikan setan, hehe,” balasnya yang berakhir mendapat pukulan di belakang kepala dengan oknum pelaku yaitu Jean.
“Lu saudara setan berarti. Sama-sama setan, impas kita,” ucap Jean yang tersulut emosi.
Eric melihatnya tak habis pikir. Dia jadi sempat mengira kalau Yohan dan Jean mampir ke rumahnya hanya untuk mengejek satu sama lain, sangat tidak penting.
“Enough! Lu berdua ke sini cuma untuk saling ngatain atau ada hal lain? Kalau cuma untuk itu doang, pintu keluar ada disebelah sana.” Eric menengahi sambil menunjuk mereka berdua, lalu menunjuk lagi ke arah pintu.
“Baru juga sampai udah di usir aja, Ric. Padahal gue bawa ini buat lu,” sela Jean yang memperlihatkan sebuah flashdisk dari saku kemejanya.
“Wih, isinya apaan, Kak? Ga aneh-aneh, kan?” tanya Narendra dan dia mengulurkan tangannya untuk meraih flashdisk itu namun ditarik kembali oleh Jean yang heran.
Dia menaikkan salah satu alisnya bertanya. “Maksud lu aneh-aneh?” tanyanya curiga.
“Halah. Pikirannya Narendra doang itu, Kak. Kebiasaan ada anak kelas yang sering bawa flashdisk ke sekolah tapi isinya film haram,” sahut Arashya yang sedari tadi diam menyimak.
“Oh, disini kaya gitu ya? Beda banget sama di tempat gue dulu. Orang mah ga nonton yang kaya gitu, tapi langsung praktek di klub,” balas Jean asal yang membuat Yohan mendelik.
“Jangan bilang lu pernah?!” celetuk Yohan.
“Gue? Senakal-nakalnya gue, ga pernah namanya jalan ke klub. Batas kenakalan gue cuma ngerokok sama ga sengaja bawa pisau ke sekolah,” ujar Jean.
“Lu psikopat, Kak?” tanya Jevan mengintimidasi.
“Ga tahu juga, tapi orang bilang gue gitu. Bodoamat sih.” Jean mengangkat bahunya tak peduli, sementara yang lain hanya menggelengkan kepala tidak habis pikir dengan kelakuan Jean.
“Nih dilihat dulu, rekaman CCTV sekolah. Tadinya error, tapi udah gue perbaiki dan dapat hasilnya,” ucap Jean memberikan flashdisk yang dia bawa ke arah Eric dan diterima dengan baik.
“Gue tunggu di luar, ya? Mau ngerokok sebentar..” Jean beranjak dan melangkah keluar sambil merogoh rokok di saku celananya. Tapi sedetik kemudian langkahnya dihentikan oleh seseorang.
“Lu ga mau ikut nonton, Kak?” tanya Eric yang kini sedang mengambil laptop yang dia simpan di atas meja dekat TV.
Jean menggeleng, “ga, kalian aja. Gue ga mau terlalu tahu tentang masalah kalian. Tapi kalau semisal perlu bantuan, ga usah sungkan sama gue,” kata Jean final dan melengos keluar.
Mereka yang tersisa di dalam ruang tamu akhirnya fokus untuk menonton video yang telah dimasukkan Jean ke dalam flashdisk itu. Pertama mereka menonton video rekaman di areal kolam renang dan semuanya persis seperti apa yang Eric ceritakan pada mereka.
Setelah selesai dengan video rekaman pertama, mereka beralih ke video kedua. Dimana video itu diambil dari CCTV yang ada di koridor kelas XII. Pada awalnya semua baik-baik saja, sampai di saat bel istirahat pertama berbunyi, mereka melihat Yohan keluar dari kelasnya.
“Nah, ini pas gue pergi ke toilet yang gue cerita ke kalian,” ucapnya pelan pada mereka semua yang masih fokus pada videonya dan dibalas dengan anggukan.
Tapi, semuanya berubah ketika kelas sudah sepi. Tiba-tiba ada orang dengan setelan hoodie hitam dan bawahan hitam masuk ke kelas Yohan. Tampilan orang itu sama dengan tampilan orang yang menyuntikkan bius pada Eric di kolam renang.
Selanjutnya, video rekaman itu menampilkan bahwa sosok itu tengah membekap Marka dengan sebuah kain dan menyeretnya keluar dari kelas.
“Itu orang kelihatannya sama ga sih sama orang yang suntik bius ke Eric?” tanya Arashya yang menyadari persamaan orang itu.
“Gue jadi mikir kalau kejadian Kak Marka ini lebih dulu dilancarkan aksinya, terus si hoodie hitam ini bantuin Harris.” Narendra beropini sambil menumpu dagunya dengan tangan kanan di meja.
“Kalau menurut gue sih ya, mereka tuh pasti sekongkol gitu. Ga mungkin juga Harris ngejalanin rencana ini sendirian,” sela Jevan.
“Setuju, gue. Tapi si hoodie hitam pintar juga ya, kaya dia itu berbuat kejahatan sampai nyeret Marka, dan ga ada yang sadar tentang aksinya. Kaya yang dia benar-benar tahu seluk beluk sekolah kita,” ucap Yohan yang membuat Eric menatapnya serius.
“Lu benar, Kak.” Ucap Eric menjentikkan jarinya, “gue jadi mikir kalau orang ini sama kaya kita. Maksudnya, dia itu juga siswa di SMA 8 Puncak. Logika aja ya, dia tahu seluk belum sekolah dan bisa menculik Kak Marka padahal posisi siswa yang lain tuh lagi istirahat, kalau ada apa-apa pasti mereka bisa langsung lihat. Dan ya, yang punya akses masuk lab sekolah terus nyuri biusnya Naren juga pasti ga jauh-jauh dari siswa, kan?” tanya Eric yang membuat keempat pemuda lainnya berpikir keras.
“Pertanyaan gue satu, siapa orangnya?” tanya Arashya.
Baru saja Arashya bertanya seperti itu, mereka semua dikejutkan oleh suara tembakan di halaman belakang rumah si kembar.
DOR! DOR!
Mereka yang mendengar itu langsung panik. Namun tiba-tiba Jean masuk dari pintu belakang. Padahal tadi dia izin untuk merokok di halaman depan.
“Lu?! Kenapa lu masuk lewat pintu belakang, Kak? Bukannya tadi lu bilang mau ngerokok di depan?” tanya Narendra yang masih memegangi dadanya karena terkejut.
“Lu dengar suara tembakan, kan?” tanya Yohan juga yang memicingkan matanya.
“Salahin mereka yang nyopet dompet orang di depan mata gue. Jadi ga sengaja gue tembak biar lumpuh. Oh ya, bisa tolong hubungi polisi dan kasih gue sarung tangan steril?” Ucap Jean santai yang makin mengejutkan mereka semua.
Narendra beranjak untuk meraih jas putih kesayangannya dan memberikannya pada Jean. Kemudian, dia segera menelpon ayahnya untuk segera datang dan mengurus para pencopet yang ditembak Jean tadi.
“Lu gila, Kak?!” pekik Arashya tak percaya.
“Daripada bilang gue gila atau ga waras, mending lu periksa dulu deh copetnya, gue takut kebablasan dan malah mati merekanya,” sahut Jean yang membuat Eric, Jevan, Yohan, dan Arashya berlari memeriksa ke halaman belakang.
Jean masih sibuk merogoh jas putih Narendra untuk mencari sarung tangan steril yang dia butuhkan. Sementara Narendra masih melakukan panggilan dengan ayahnya dan menutupnya setelah beberapa saat. Ketika merogoh saku jas tersebut, Jean menemukan sebuah pena disana dan menatapnya aneh.
“Ren, ini pena apa?” tanya Jean dingin sambil memperlihatkan pena itu.
Narendra yang merasa dipanggil pun menoleh dan mendekat untuk mengamati pena tersebut. Tapi dia malah mengangkat bahunya, tanda tak tahu.
“Gue ga tahu, Kak. Emang lu dapat itu dimana?” tanyanya.
“Di saku jas lu,” balas Jean dingin.
Selang beberapa detik, Jean menghela nafasnya kasar dan terpaksa untuk berteriak memanggil semua yang ada di halaman belakang.
“ERIC! YOHAN! JEVAN! ARASHYA! Sini lu semua!” teriak Jean yang membuat Narendra menutup telinganya karena merasa pengang.
Tak lama mereka semua berkumpul menuju sumber suara. Di luar sana juga sudah terdengar suara sirine mobil polisi yang akan menangani penjahat tersebut.
“Ck, bisa ga sih ga udah teriak gitu? Berisik tahu!” Yohan berdecak kesal.
Jean tak menggubris. Dia hanya menunjukkan pena yang ada ditangan kanannya dan memperlihatkan pada mereka masing-masing tepat di depan matanya.
“Tahu ini apa?!” tanya Jean membentak.
“That’s just a pen?” balas Eric ragu.
Jean menepuk keningnya frustasi, “ini pena dilengkapi sama voice record and hidden cam!” balasnya dan membuat yang lain membelalakkan matanya.
“Lu dapat dimana, Kak?” tanya Jevan kaget.
“Di saku jas Naren.”
“Jadi, ini ga sih yang buat Eric ngerasa ada yang ngawasin?” tanya Arashya lalu diangguki Jean dan Narendra yang baru sadar.
“Pantas! Gue juga ada yang kaya gitu, Kak. Waktu itu Haekal ngasih surat ke Arashya, gue sempat dikasih pena yang mirip kaya gini dan kebetulan kalian ga lihat. Tapi, mungkin punya gue udah rusak sekarang karena gue selalu bawa dan ga sengaja ikutan tenggelam,” balas Eric mengingat.
“Kemungkinan orang itu tahu rencana kita karena ada pena ini, kan? Dan karena pena Eric tenggelam dan rusak itu juga yang buat dia ga dikirimin e-mail dalam beberapa waktu ini, kan?” tanya Jevan yang membuat Jean mengangguk.
Dengan segera Jean menghancurkan pena itu sampai tak berbentuk. “Udah, selesai.” Gumamnya pelan.
Model pena yang ditemukan Jean di chapter ini..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments