10. Pernyataan Lainnya

Arashya dan Jevan pergi ke ruang arsip di gedung sebelah lantai 3. Lalu, Narendra pergi ke kantor polisi untuk mencari beberapa informasi dan bukti yang bisa membuat mereka menyelesaikan kasusnya dengan mudah. Sekarang tinggal Eric sendirian.

Eric sedang berjalan mengelilingi beberapa gedung dan koridor dengan santainya. Ada juga saat dimana beberapa anak yang dijumpainya menyapanya dan mengajaknya untuk berbincang sebentar.

Rasa bosan kembali membayangi Eric yang sedari tadi hanya berjalan seperti tanpa arah dan tanpa tujuan. Sebenarnya niat Eric hanya ingin bertemu dengan Harris ataupun Felix yang mungkin salah satu dari mereka yang Eric temukan lebih dahulu. Namun sayangnya, setelah lama berkeliling dia tidak menemukan salah satu dari mereka.

“Hari ini kenapa sih? Biasanya cari orang itu gampang banget. Waktu kejadian juga malah dia yang nyamperin gue duluan. Bikin curiga aja,” gumam Eric pelan sambil melanjutkan jalannya.

Karena Eric tidak terlalu memperhatikan jalan didepannya, akhirnya dia menabrak seseorang secara tidak sengaja.

BRUK!

“Aduh!” pekik Eric agak keras karena mendapati bahu kanannya terasa ngilu.

“Sorry, dik. Gue ga sengaja,” ucap orang yang ditabrak tadi dan mengulurkan tangannya untuk membantu Eric berdiri dari posisi duduknya.

Eric kemudian mendongak ketika tangan tersebut terulur untuk membantunya. Dia terkejut karena ternyata yang dia tabrak adalah kakak kelasnya dari Sekolah Dasar dulu.

“Kak Yohantha Sagara?” tanya Eric menatap tak percaya pada orang itu tapi menerima uluran tangannya dan berdiri.

Orang itu juga sama terkejutnya dengan Eric, “lho, Eric? Ngapain lu main jauh banget sampai sini? Koridor kelas X dan XI beda sama koridor kelas XII,” kata orang itu sambil menatap Eric heran.

Yang ditatap seperti itu hanya membuang wajahnya dan berdecak, “ck! Gue juga tahu kali kalau koridor tingkat akhir itu beda,” balasnya acuh.

Yohan tertawa geli melihatnya, “terus kalau lu udah tahu tentang itu, ngapain ke sini?” tanyanya lagi.

Eric hendak menjawab tapi segera dipotong oleh orang didepannya itu. “Oh, tunggu sebentar! Gue tahu kalau lu ke sini pasti buat nyari sesuatu, kan?” lanjutnya.

Eric yang sudah terlanjur malas hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

Yohan berpangku tangan dan sedikit berpikir. “Oh ya, lu ga lupa tentang fakta kalau mereka berdua dari kelas yang sama, kan?”

Satu pertanyaan yang dilontarkan Yohan, sukses membuat Eric terbelalak kaget mendengarnya. “HAH? Kak Denandra juga kelas XII MIPA-3?” tanyanya terkejut.

Yohan hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. “Iya. Gue sama Marka sebagai anak kelas sebelah yang suka mengamati mereka, jelas tahu tentang itu.” Balas Yohan.

“Apa lagi yang lu tahu tentang mereka, Kak?” tanya Eric yang semakin penasaran karena secara tidak langsung Yohan tengah menyombongkan dirinya. Terlihat dari nada bicaranya.

“Gue sama Marka sering banget lihat mereka berangkat dan pulang sekolah bareng. Ya, kita lumayan kaget juga sih pas dengar kabar kalau Brian meninggal di halaman belakang sekolah dengan kondisi tulang tengkorak retak karena dipukul secara brutal,” ucap Yohan memelan di akhir.

“Lu tahu tentang itu dari mana, Kak? Perasaan beritanya ga dipublish di media manapun.” Eric makin terheran-heran dengan sikap misterius yang Yohan tunjukkan padanya.

“Gue sama Marka itu sama kaya lu dan lainnya, Ric. Jadi jangan pernah ngerasa sendiri, kalau lu perlu bantuan kita, jangan sungkan.” Kata-kata yang cukup indah akhirnya terlontar dari mulut Yohan. Selama ini Eric tahu kalau hanya umpatan, cacian, dan makian yang sering dikeluarkan.

Eric mengangguk saja untuk mengiyakan perkataan Yohan tadi. “Terus, kelanjutan pantauan kalian gimana? Gue yakin sih kalau Kak Denandra pasti terpukul banget setelah kematian Kak Brian,” ucap Eric melanjutkan.

“Itu jelas banget, gue jadi curiga karena kematian mereka itu berdekatan. Menurut lu pembunuhnya sama ga?” Yohan balik bertanya sambil menatap Eric.

“Untuk pembunuh gue sama yang lain belum dapat petunjuk apapun.

Lu tahu, Kak? Sebenarnya kematian mereka itu adalah kejutan buat gue.”

Yohan mengerutkan keningnya, “kejutan gimana maksud lu?” tanyanya.

Eric menepuk pelan dahinya, “oke, cerita singkatnya ini bermula dari Arashya yang dapat e-mail ga jelas dan isinya bilang kalau kita bakal masuk ke dalam permainan dia. Setelahnya, masing-masing dari kita juga dapat e-mail yang aneh itu. Tapi, cuma gue yang sering dapatin e-mail itu dan kejadian ini adalah permainan dia yang sengaja dijadikan kejutan buat gue,” jelas Eric.

Yohan mengangguk-anggukkan kepalanya paham. “Apapun rencana lu sama yang lain, gue bakal dukung lu. Kalau perlu bantuan, gue sama Marka siap bantu kalian sebisa kita,” kata Yohan sambil menepuk-nepuk pelan pundak Eric.

“Thanks banget, Kak. Terus ini sekarang lu mau kemana? Kayanya tadi buru-buru banget sampai ga sengaja ke tabrak,” tanya Eric mengalihkan topik pembicaraan.

Yohan menunjukkan ponselnya yang sedang memanggil sebuah nomor dengan nama ‘Marka Prik’.

“Gue dari tadi nelpon dia, cuma ga diangkat sampai sekarang.”

“Ya Tuhan, prik banget namanya,” —batin Eric.

“Emang Kak Marka hari ini ga masuk sampai harus lu spam call gitu, Kak?” tanya Eric bingung.

“Justru itu, Ric. Tadi dia berangkat sekolah bareng gue, tapi pas gue tinggal ke toilet di jam istirahat pertama dan balik ke kelas, dia udah ga ada.” Jawab Yohan dengan ekspresi paniknya mencoba menghubungi Marka yang sama sekali tidak menjawab panggilannya itu.

“Aneh banget, tapi tasnya masih di kelas?”

Yohan menatap Eric, “kayanya tadi masih. Apa gue periksa aja, Ric?” tanyanya.

“Dicoba dulu aja, Kak. Siapa tahu ada sesuatu gitu, mungkin petunjuk Kak Marka kemana.” balas Eric mengiyakan.

“Oke deh, gue cek setelah ini. Kalau belum ketemu juga, gue lapor ke lu lagi.” Ucap Yohan yang hendak beranjak tapi dengan cepat dia menghentikan langkahnya.

“Oh ya, gue lupa nanya. Itu sekarang lu mau kemana?” tanyanya pada Eric yang tampak seperti sedang mencari seseorang.

“Oh ini gue nyari Harris atau Felix, lu lihat ga, Kak?”

“Tadi pas gue keliling nyari Marka, gue lihat si Harris kayanya masuk ke area kolam renang sekolah,” jawab Yohan sambil mengingat.

“Lu beneran lihat Harris ke area kolam renang, Kak?”

“Agak ga yakin sih kalau dia masih disana. Soalnya udah 15 menit yang lalu. Tapi, coba aja lu ke sana buat periksa sendiri, kali aja tu anak masih ada.” Yohan mengangkat bahunya tak begitu peduli.

“Oke, Kak. Gue periksa sekarang.” Eric hendak melangkah meninggalkan Yohan untuk menuju ke areal sekolah yang letaknya tidak jauh dari gedung kelas tingkat akhir. Namun, tiba-tiba pergelangan tangannya ditahan oleh Yohan.

“Lu harus hati-hati sama mereka, entah Harris ataupun Felix.” Ucap Yohan sedikit berbisik dan setelahnya dia pergi meninggalkan Eric yang diam sejenak untuk mengingat kata-kata terakhir Yohan sebelum pergi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!