Semua orang di dalam kamar rawat Eric menoleh ke arah pintu akses keluar masuk dari sana. Mereka agak terkejut ketika mendengar seruan seseorang tadi. Di pintu tersebut, mereka bisa lihat dengan jelas 2 orang pemuda yang kelihatan tegang sekarang.
Salah satunya menggunakan kemeja biru langit dengan jas putih serta stetoskop ditangannya. Sangat terlihat kalau orang itu adalah dokter. Sementara yang satunya lagi berpenampilan sedikit acak-acakan. Jamet kulit berwarna hitam, celana jeans hitam yang robek-robek pada bagian lutut, dan jangan lupakan kacamata hitam yang bertengger di atas kepalanya. Seperti penampilan seorang brandal yang tergabung dalam sebuah geng motor, mungkin.
“Coba ulangi sekali lagi apa yang lu bilang tadi?” pinta pemuda itu sambil mendekat ke arah Narendra dan Yohan yang duduk bersebelahan.
“Gue tanya, lu kenapa disini?” tanya Yohan dengan nada kesal dan membuang wajahnya ke samping, sepertinya dia tidak suka dengan kehadiran orang itu dihadapannya.
“Gue ga ngomong sama lu, Yohan! Coba lu ulangi lagi kata-kata lu tadi,” pinta orang itu lagi sambil menatap Narendra intens dan melirik sinis pada Yohan.
“Polonium?” ulang Narendra agak ragu tapi membuat orang itu menjentikkan jarinya.
“Lu berdua dengar, kan? Polonium! Apa ga gila?” tanya orang itu, menunjuk pada Yohan dan pemuda yang mereka semua tebak adalah seorang dokter secara bergantian.
“Ada apa sama Polonium? Ga biasanya orang bahas gitu, kecuali kalau ada yang keracunan sampai meninggal, sih.” Sahut pemuda dokter itu. Dia memakai jas putihnya, kemudian mengalungkan stetoskop pada lehernya.
“Justru itu, teman gue meninggal karena keracunan polonium. Racunnya dimasukin ke teh dan juga makanan dia yang lainnya, Kak,” balas Yohan menatap pemuda dokter yang melangkah mendekat ke arahnya.
Jevan dan Arashya mengernyit heran, “Kak?” tanya mereka serempak.
Yohan hanya bisa menghela nafasnya lelah. “Kenalin, ini kakak gue.”
Pria yang ditunjuk itu tersenyum manis dan sedikit membungkuk hormat, “Abhidata Sagara,” ucapnya ramah pada mereka bertiga.
“Gila! Kakaknya aja ramah sama sopan gini, kok adiknya beda banget ya?” Arashya menjadi heboh sendiri melihat perbedaan yang sangat jelas antara Abhidata Sagara dan juga Yohantha Sagara yang kini bisa dia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Yohan hanya berdecak kesal, “ck, emang takdir berkata lain.”
Abhidata yang melihat itu hanya tersenyum menanggapinya. Sudah biasa dengan pertanyaan seperti itu dan juga maklum pada kelakuan sang adik.
“Gue buru-buru ke sini karena dapat laporan dari resepsionis kalau lu ada di rumah sakit. Gue kira lu yang sakit, tapi ternyata lu baik-baik aja,” celetuk Abhidata.
Jevan, Narendra, dan Arashya hanya bisa bengong menyaksikan drama keluarga yang terjadi dihadapan mereka. Bahkan kalau bisa, Arashya ingin sekali menarik kembali kata-katanya. Karena ternyata Abhidata tidak seperti yang dia pikirkan sebelumnya. Sifat aslinya baru muncul setelah selesai berkenalan.
“Ekhem!!” Sebuah dehaman keras membuat konsentrasi mereka buyar. Dan mereka semua menoleh ke arah sang pemuda urakan itu dengan tatapan tak dapat di artikan.
“Biasa aja kali ngelihatnya,” ucapnya pelan saat menyadari kalau ketiga anak lain yang cukup asing di matanya itu menatapnya takut.
“Oh ya, kenalin ini sepupu gue,” kata Yohan pada mereka.
“Hai, gue Jeandra Samudra. Lu semua bisa panggil gue Jean, dan ya ga perlu takut sama gue. Gue juga manusia bisa kaya kalian, cuma punya kelebihan sedikit doang. Salam kenal.” Pemuda itu berucap ramah dan ketiga anak yang diajak berkenalan itu mengangguk mengiyakannya.
“Iya, Kak. Gue Jevan Devandra, ini teman gue Arashya Pratama dan ini Narendra Nasution,” balas Jevan mewakili teman-temannya untuk berkenalan.
Tangannya terulur untuk menunjuk sang adik yang berbaring, “itu kembaran gue, Eric Devandra,” sambungnya dan membuat atensi kedua orang yang baru datang tadi tertuju pada Eric.
Abhidata segera mendekat ke arah Eric dan memeriksa fisiknya.
“Dia kenapa? Udah ada dokter tadi yang cek?” tanyanya sembari memakai stetoskopnya dan memeriksa detak jantung Eric sebentar.
“Detak jantungnya udah normal, tapi kenapa dia belum sadar?” tanya Abhidata lagi karena heran.
“Gini, Kak. Kita kan lagi mau selesaikan kasus kematian kakak kelas kita yang beberapa waktu lalu, firasat gue sebagai kakak kembarnya dia bilang kalau Eric itu sebenarnya udah mulai tahu siapa pelakunya. Cuma hal buruk terjadi sama dia, tadi dia tenggelam di kolam renang yang airnya dingin banget. Narendra sama Kak Yohan udah periksa, ternyata tubuh Eric itu mati rasa karena penjahatnya sengaja nyuntikin bius ke lengan Eric,” jelas Jevan panjang lebar.
Abis gaya mengangguk, “kalian tahu jenis biusnya? Beberapa bius pasti ada penawarnya, jadi kalau kalian tahu mungkin gue bisa carikan sekarang biar dia cepat siuman,” ucapnya lembut sambil mengelus surai pirang milik Eric.
Narendra menunduk merasa bersalah. “Sayangnya untuk penawar bius itu belum ada, Kak,” jawabnya.
Jean yang berdiri tak jauh dari Abhidata menatap Narendra, “kenapa bisa ga ada penawarnya?” tanyanya.
Narendra segera mendongak, “karena bius itu gue yang buat, Kak. Gue udah periksa dan efeknya itu bakal terjadi selama 6 jam. Setelah itu berakhir, baru semua baik-baik aja dan Eric bisa sadar kembali,” ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Mereka berdua mengangguk paham tentang keadaan sekarang. Mereka yakin kalau ini bukan sesuatu yang disengaja. Dan tidak ada satupun yang bisa disalahkan karena ini, kecuali si penjahat tanpa hati nurani itu.
“Oke, jadi ini udah jalan berapa jam?” tanya Abhidata melirik arlojinya.
“Kita nunggu lagi 1 jam, Kak, untuk bisa tepat 6 jam sih,” jawab Jevan yang lagi-lagi dibalas anggukan.
“Ya udah, gue tinggal dulu ya, ada tugas lain soalnya. Nanti kalau Eric sadar, tolong kabarin gue, Yohan,” ucap Abhidata final dan diangguki Yohan. Kemudian dia berlalu keluar dari ruangan, menyisakan 4 orang yang kini saling bertatapan.
Jevan berdiri dari duduknya di sofa dan beralih untuk duduk di kursi yang ada disebelah ranjang Eric. Tempatnya yang kosong tadi akhirnya diisi oleh Arashya. Narendra dan Yohan disampingnya juga bergeser untuk memberikan tempat duduk untuk Jean.
“Yap, sekarang sisa kita berempat,” kata Jean memulai obrolan dengan canggung.
“Kita lanjut diskusi yang tadi aja gimana? Kak Jean ga keberatan?” tanya Jevan pada Jean.
Yang ditanya menggeleng cepat, “ga sama sekali. Kalau semisal ada yang gue paham dan bisa bantu, gue bakal bantu kalian,” ucapnya pelan.
Jevan mengangguk, “tadi kita sampai mana?”
“Tentang dari mana racun itu berasal dan siapa yang bawa lalu campuri itu ke makanan dan minuman Kak Denandra,” balas Arashya cepat.
“Nah iya, untuk hal itu gue sama Arashya udah selidiki. Dari penyelidikan itu, gue buat catatan beberapa orang yang pergi dan datang dari Polandia,” jelas Jevan.
“Kenapa Polandia? Apa ga memungkinkan kalau racun itu dari negara lain atau bahkan ada kemungkinan lainnya?” celetuk Jean menengahi sambil tersenyum miring.
“Kemungkinan yang masuk akal cuma itu, Kak. Polonium itu berasal dari Polandia. Jenis racunnya juga langka dan ga bisa ditemuin di sembarang tempat. Jadi sangat masuk akal kalau racun itu cuma bisa didapat di negara dia berasal dan ditemukan,” balas Arashya yang juga menunjukkan smirknya.
“Jadi? Gue bisa masuk ke dalam daftar tersangka kalian dong? Gue dari Polandia soalnya, gue besar dan sekolah disana. Cuma setelah ini gue bakal pindah di sekolah yang sama kaya kalian,” jawab Jean santai.
Yang lain mendelik tak percaya, terutama Yohan. Sangat terlihat kalau Yohan tidak menyukai dengan keputusan itu. Tapi di berusaha menahannya dan tetap diam untuk melanjutkan diskusi.
“Ga semudah itu masukin orang ke daftar tersangka, Kak. Kejadiannya beberapa waktu lalu, sedangkan lu kelihatannya baru datang dari Polandia itu kemarin,” sela Narendra.
“Tapi ga menutup kemungkinan kalau gue nyuruh orang lain disini untuk ngeracunin teman Yohan itu, kan? Atau misal gue ngirim racun dari Polandia ke Yohan yang disini terus dia ngeracunin temannya sendiri.”
Yohan melotot tak percaya lalu memukul punggung Jean disebelahnya dengan keras.
“Lu ngomong dijaga! Lu ke sini nambah beban mereka aja. Kalau misalkan lu mau ngetest kemampuan intuisi mereka, maka lu salah. Mereka anak yang cerdas!” bentak Yohan tak terima.
Jean terkekeh pelan walau merasakan sakit di punggungnya akibat pukulan Yohan. “Gapapa sih, kenapa lu yang sewot? Gue cuma nanya,” balasnya singkat.
Jevan memijat pelipis karena merasa pusing. “Kak Jean, gue rasa lu udah tahu jawabannya. Tapi gue jawab aja, biar kesannya lu ga terkacangi sama kita-kita. Pertama, untuk penyelundupan benda-benda kayak gitu ga gampang karena pemeriksaan di bandara itu ketat banget. Jadi, lu ga bisa bawa barang ilegal seenak lu, kecuali emang punya koneksi disana. Ya semacam orang dalam,” balas Jevan yang diangguki Arashya dan Narendra.
Jean jadi semangat ingin mendengar kelanjutan penuturan dari pemuda sipit yang rambutnya di cat blonde itu.
“Kedua, lu ataupun Kak Yohan ga punya alasan kuat untuk membunuh Kak Brian dan juga Kak Denandra. Kak Yohan tahu betul gimana hubungan persahabatan keduanya dan ga mungkin mau menghancurkan mereka begitu aja. Dan, Kak Jean juga ga punya alasan itu karena kalian ga saling kenal, kalau bukan Kak Yohan yang ceritain tentang dia ke kakak. Itupun ga ada hubungan langsung dengan kakak dan jadi hal yang sia-sia,” lanjut Jevan mengakhiri penjelasannya.
“Lu keren, Jev. Gue yakin kalau kembaran lu juga sama keren ya kaya lu!” Ucap Jean semangat sambil menepuk tangannya pelan.
Suara tepukan tangan Jean itu sepertinya sedikit membuat kebisingan. Jevan merasakan pergerakan pada tangan kanannya yang membelai surai pirang milik Eric pun menoleh.
Dia melihat kepala adik kembarnya itu bergerak-gerak. Jari tangannya juga sudah berusaha digerakkan. Bibirnya berusaha sekuat tenaga untuk berbicara.
Jevan tentunya kaget dengan hak itu dan panik.
“Eric gerak, woy!” serunya yang membuat semua orang di ruangan menjadi heboh.
“Gue bakal panggil Kak Abhidata ke sini,” ucap Yohan hendak beranjak, “mending lu ikut gue,” sambungnya sambil menarik tangan Jean.
Akhirnya mereka meninggalkan 4 pemuda tampan itu di ruangan dengan keadaan panik dan senang.
Bibir Eric mulai bergerak, dia hendak mengucapkan sebuah kalimat namun patah-patah. Jevan menggenggam tangan adiknya dan mengelus rambutnya dengan penuh sayang.
“Ha—Harris pe—pe—pengkhia—nat.”
Kalimat itulah yang terlontar dari bibir Eric dan membuat semuanya bingung.
“Harris pengkhianat?” gumam Narendra pelan.
“Gue ga bisa biarin, kalau Eric udah jelasin semua dan terbukti kalau Harris yang buat dia kaya gini, jangan harap bisa selamat. Mati lu ditangan gue!” teriak Arashya yang sangat marah ketika melihat kondisi kritis Eric.
“Ric, maafin gue ya. Lu dalam keadaan antara hidup dan mati ini karena bius yang gue buat. Lu harus kuat, Ric!” ucap Narendra sambil menggenggam tangan Eric yang satunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
ig : @dekka30__
typo kak di bagian "TENTANG"
2023-05-07
1
ig : @dekka30__
lebih baik pakek kata "NUGAS" gk kak? biar lebih nyambung aja gitu kalau dibaca
2023-05-07
1