Hari ini adalah hari Senin terakhir yang dimana mereka harus melakukan upacara bendera di halaman sekolah sebelum hari libur benar-benar tiba. Arashya dan Jevan sedikit mengeluh karena setelah upacara nanti mereka akan lanjut dengan berlatih basket.
“Kenapa harus upacara sih? Bentar lagi juga libur padahal..” gerutu Jevan sambil meraih topi sekolahnya di tas.
“Iya juga ya, semoga ga pingsan aja sih. Mana habis upacara ada latihan basket lagi.” Sahut Arashya menanggapi Jevan.
“Yailah, kalau bisa milih juga, gue bakal milih ga upacara. Pegal, mana nanti gue harus ke laboratorium sekolah,” ucap Narendra lelah.
“Perasaan lu selalu ke lab sekolah deh, Na? Ngapain?” tanya Eric penasaran yang kemudian berlalu keluar kelas diikuti ketiga lainnya.
“Gue kemarin ada penelitian, tapi belum selesai karena tiba-tiba lu muncul di lab. Jadi gue ikut lu dan akhirnya ikut ayah gue ke kantor polisi buat ngasih kesaksian.” Narendra mulai mempercepat langkahnya untuk menuruni tangga lantai 2.
“Terus kalau dari polisi sendiri gimana, Na? Ada hal aneh lagi?” tanya Jevan.
Arashya mengerutkan keningnya, “gue heran, kenapa dia bunuh orang yang notabenenya siswa disini? I mean kayak, ini sekolah dan tempat ramai tapi kenapa dia nekat buat ngelakuin itu?” tanyanya yang kini diangguki Jevan.
“Satu hal yang harus kalian ingat, guys. Penjahat itu bakal merasa aman ketika mereka sembunyi ditempat ramai dan berbaur sama orang lain kaya biasa. Tapi, disamping itu mereka ga sadar kalau hal ini bisa juga buat mereka cepat ditangkap,” jelas Eric.
Mereka akhirnya tiba di halaman sekolah dan mulai berbaris seperti biasa. Eric berbaris diposisi 3 dari depan diikuti dengan Arashya dibelakangnya. Sementara Jevan dan Narendra ada di barisan terbelakang.
“Rash, jangan pingsan lu nanti,” ucap Eric berbisik pada Arashya sambil tertawa kecil.
“Semoga ya,” balas Arashya lirih.
Upacara bendera akhirnya dimulai dengan baik hingga sampai pada saat kepala sekolah selaku pembina upacara tengah memberikan amanat. Tiba-tiba ponsel di saku Eric bergetar. Ponselnya sengaja dialihkan ke mode getar agar tidak mengganggu jalannya upacara yang berakhir dia harus dipanggil ke ruang guru.
Dengan perlahan Eric merogoh sakunya dan mengambil ponselnya. Disana dia lihat ada beberapa e-mail yang masuk.
Halo, Eric Devandra?
Aku harap kau bisa bersenang-senang lagi kali ini
Kau akan dapat kejutan setelahnya.
Jadi, bersabarlah sedikit.
Kira-kira begitulah isi pesan yang diterima oleh Eric. Arashya yang berdiri dibelakang Eric tak sengaja melihatnya. Setelah itu, dia terkejut dan menepuk bahu Eric pelan.
“Eric, kali ini apa lagi? Gue kira penemuan mayat kemarin itu bakal jadi yang terakhir,” ucap Arashya sedikit berbisik.
Eric menyunggingkan senyumannya, “lu salah, Rash. Nyatanya yang kemarin itu baru awal. Dan ini adalah beberapa kejutan biar gue ga ngerasa bosan.”
Arashya menghela nafasnya kasar, “terus kali ini apa?” tanyanya pasrah.
“Gue juga belum tahu pasti, tapi ada baiknya kita ikutin aja permainannya,” balas Eric yang kini kembali meletakkan ponselnya ke dalam saku.
Tak lama kemudian.
BRUK!
Suasana barisan yang awalnya tenang dan rapi, sekarang menjadi ramai dan tidak kondusif karena tiba-tiba ada salah satu siswa laki-laki yang mendadak tergeletak di tanah.
Narendra yang posisinya tidak jauh dengan orang itupun menjadi panik. Dengan segera dia mendekat dan memeriksanya. Eric yang melihatnya pun segera menyusul diikuti Jevan dan Arashya.
Suasana yang mendadak ramai itu jadi sulit dihentikan dan akhirnya upacara tidak dilanjutkan, hanya penutup amanat dan barisan yang berantakan itu segera dibubarkan.
Eric dan Narendra memandangi orang yang tergeletak itu dengan seksama. Narendra menggunakan sarung tangan steril yang selalu dia bawa di sakunya. Hal pertama yang dia periksa adalah denyut nadinya.
“Gimana, Na?” tanya Jevan khawatir karena orang itu adalah kakak kelasnya, Kak Denandra Prahita.
“Gue rasa dia cuma pingsan biasa, sebelumnya ada yang tahu Kak Denandra gimana dan kenapa?” tanya Narendra balik ketika mendapati denyut nadi yang lemah.
Arashya heran, “perasaan Kak Denandra kemarin latihan biasa aja. Cuma ya memang, dia kelihatan pucat. Pas gue tanya sakit atau gimana, dia cuma bilang dia gapapa, jadi ya gue ga nanyain lagi,” balasnya.
Eric kembali menatap wajah pemuda yang setahun lebih tua daripada dirinya itu. Tangannya terulur untuk memeriksa suhu tubuhnya, dan ternyata orang ini sedang demam.
“Suhu badannya panas, dia demam. Maka dari itu dia kelihatan pucat. Kita harus bawa dia ke klinik kesehatan.” Ucap Eric yang diangguki oleh semuanya.
Disana Jevan juga sempat lihat kalau Renan Juantara sedang berlari kecil ke arah mereka. Renan si ketua Palang Merah Remaja di sekolah mereka.
“Dia kenapa?” tanya Renan terkejut mendapati Kak Denandra yang pingsan.
“Dia demam, mungkin kepalanya pusing tadi jadinya pingsan,” jawab Eric.
Renan mengangguk, “ya udah, kalau gitu bantuin gue buat bawa kakaknya ke klinik kesehatan ya,” katanya kemudian membopong tubuh Denandra dibantu Jevan dan Arashya.
Setelah sampai di klinik kesehatan, Renan segera memeriksa kembali suhu tubuh kakak kelasnya itu. Ternyata benar dia mengalami demam.
“Gue rasa dia awalnya memang lagi demam, cuma ini agak janggal sih karena suhu tubuhnya sampai di 39° celcius.” Renan menghela nafasnya setelah mengambil termometer dari tubuh Denandra.
“Well, gue rasa dia agak sedikit shock, karena satu dua hal mungkin. Itu suhunya tinggi banget. Kalau menurut gue awalnya dia memang demam, tapi ga parah banget. Jadi faktor shock yang gue bilang tadi adalah penyebab suhunya jadi ningkat,” jelas Eric yang diangguki Renan.
“Gue rasa dia terpukul juga setelah dengar kabar kematian Kak Brian kemarin. Gue tahu betul kalau Kak Brian dan Kak Denan ini sahabatan.” Narendra menghela nafasnya kemudian menatap miris pada Denandra yang terbaring di ranjang kesehatan.
“Ya harapan gue sama Arashya, semoga Kak Denandra cepat sembuh. Supaya kita bisa fokusin juga buat latihan basket. Tournament juga udah mulai dekat,” balas Jevan yang memandangi Denandra yang mulai bergerak tak nyaman.
“Ya udah, Ren. Kita balik dulu ya, Jevan sama Arashya mau lanjut latihan basket. Sementara gue sama Narendra ada kerjaan di lab sekolah. Kalau semisal ada apa-apa sama Kak Denandra, lu bisa telpon gue atau yang lain, ya..” Kata Eric sebelum pergi meninggalkan Renan di klinik kesehatan menunggu Denandra tersadar. Renan hanya mengangguk menuruti. Setelah itu, mereka semua pergi menjauh untuk menuju tempat masing-masing.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di laboratorium sekolah, Eric dan Narendra sedang berfokus pada beberapa cairan warna-warni dihadapannya. Eric sibuk mencampurkan cairan warna merah dengan cairan warna biru, yang menghasilkan cairan berwarna ungu. Sedangkan, Narendra sibuk meneteskan sedikit cairan pada kaca dan mulai mengamati reaksi serta bahan yang terkandung didalamnya menggunakan mikroskop yang sering dia klaim sebagai miliknya.
“YES!!” pekik Narendra senang yang sukses membuat Eric terkejut.
Eric menatap aneh padanya, “gimana, Na?” tanyanya.
Narendra berjalan menghampiri Eric dan memegang kedua pundaknya. “Gue berhasil, Ric! Gue berhasil!” serunya sambil mengguncang tubuh Eric yang lebih kecil darinya.
“Berhasil apa?”
“Gue udah ciptain bius sendiri, yang mana bius ini bisa buat orang mati rasa tapi dalam keadaan masih sadar,” balasnya lalu menuangkan sisa cairan tadi dan memasukkannya ke dalam 2 botol kaca berukuran kecil.
“Semacam bius yang bakal buat orang lumpuh dalam beberapa saat?” tanya Eric yang sekarang meletakkan cairan-cairan itu kembali ke tempatnya.
“Mirip gitu, dan ya efeknya lumayan lama. Sekitar 6 jam,” balas Narendra. Dia melirik jam tangan yang digunakan Eric. Ternyata sudah hampir 2 jam mereka berada di laboratorium.
Setelah Eric meletakkan cairan itu pada tempatnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dalam ponselnya. Dia dengan segera mengambilnya dan melihat nama si penelpon. Ternyata itu Renan.
Dengan cepat Eric menerima panggilannya, “halo?”
“Halo, Ric!”
“Iya, Ren. Kenapa? Nafas lu ga beraturan gitu.”
“Lu harus cepat balik ke klinik kesehatan, Ric!”
“Gue tebak sesuatu yang buruk udah terjadi,”
“Lu benar. Makanya sekarang lu harus ke sini karena keadaan Kak Denan ga baik-baik aja!”
“Oke, gue sama Naren segera ke sana!”
Telpon pun dimatikan dan Eric menghela nafasnya kasar. Narendra memperhatikannya dengan intens, “kenapa, Ric?” tanyanya sambil melihat pada ponselnya. Setelah diperiksa ternyata dia juga menerima beberapa e-mail aneh.
Ayolah, Narendra Nasution…
Ajak Eric bergegas untuk datang ke klinik kesehatan.
Karena kejutanku sudah menunggu disana.
Aku harap kalian akan terkejut begitu melihatnya..
Semoga berhasil!
“Kita harus pergi ke klinik kesehatan sekarang!” pekik Eric yang diangguki Narendra.
“Gue juga rasa cuma itu yang bisa kita lakukan. Gue baru dapat e-mail yang isinya kalau kejutan untuk lu udah menanti di klinik kesehatan.” Narendra melepaskan jas laboratoriumnya dan meletakkannya di tempat semula yang diikuti oleh Eric.
“Apapun yang terjadi sama Kak Denan setelah ini, berarti ulah dari si pengirim e-mail itu!” Ucap Eric final lalu keluar dari laboratorium dengan kasar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Ayano
Curiga kan 😓😨
2023-05-06
1
Ayano
Ketinggian itu suhunya. Yakin demam doang, bukan diracun? 😱
2023-05-06
1
Ayano
Kan kubilang apa. Kalo ada yang pingsan auto bubar upacara
2023-05-06
1