Narendra mempercepat langkahnya untuk menaiki anak tangga agar segera sampai di laboratorium. Selama dalam perjalanan ke sana, banyak anak-anak memandang heran ke arahnya. Karena posisi Narendra saat ini sedang berjalan sambil bicara pada dirinya sendiri dengan sebuah gelas yang berisi setengah teh dalam genggamannya.
“Gue harus segera cari tahu tentang kandungan yang ada di dalam teh ini. Racun apa yang bisa bunuh dia dalam hitungan bahkan bisa dibilang cepat, hanya 1 jam?” gumamnya sambil tetap memperbesar langkah kakinya.
Sesaat setelah dia sampai di depan lab, Narendra membuka pintunya dengan tidak sambaran dan langsung berlari kecil untuk menyambar jas putih laboratorium yang baru beberapa menit lalu dia gantung ditempatnya.
Dengan cepat Narendra mengambil semua alat yang dia perlukan, mulai dari pipet pasteur, kaca preparat, dan tidak lupa dengan mikroskop kesayangannya. Narendra langsung mengambil teh dalam gelas dengan pipet pasteur, kemudian diteteskannya beberapa pada kaca preparat. Setelahnya dia mengamati cairan teh tersebut dibawah mikroskopnya.
Selang beberapa menit mengamati dan mencatat kandungan yang terdapat pada teh itu dalam selembar kertas yang ada disebelahnya, tiba-tiba ponsel Narendra berbunyi. Ketika dia melihatnya, ternyata ada sebuah panggilan masuk dari Eric.
Narendra dengan sigap mengangkat telponnya dan menjauh sebentar dari meja praktiknya.
“Halo, Ric? Gimana?”
“Ayah lu sama polisi lainnya udah balik tadi setelah beresin TKP. Sekarang gue mau ke tempat Arashya sama Jevan, lu ikut?”
“Maunya sih ikut gue, cuma ini penelitian gue sama cairan tehnya tadi belum selesai,” balas Narendra sambil melirik ke meja praktik dibelakangnya.
“Mungkin lu bingung aja sama nama racunnya, tapi mungkin ada beberapa fakta yang bisa gue kasih untuk mempercepat penelitian lu.”
Narendra menekuk kedua alisnya karena merasa bingung dengan perkataan Eric.
“Maksud lu?” tanyanya.
“Gue udah di depan lab, lu bisa keluar ga? Gue ngerasa kalau di dalam ruangan itu ada yang ga beres. Mungkin aja si pengirim e-mail ngawasin kita.”
Narendra kini bergidik ngeri karena mendengar ucapan Eric. Jika memang benar mereka diawasi oleh si pengirim e-mail, bisa jadi privasi mereka semua bisa terungkap begitu saja.
“Oke, sekarang gue keluar,” ucap Narendra final kemudian merapikan alat-alatnya dan mengantongi lembaran kertas yang dia corat-coret saat melihat reaksi zat yang berasal tadi teh tersebut.
Narendra berjalan tenang dan membuka pintu laboratorium, lalu keluar dengan segera. Disana sudah ada Eric yang menunggunya sambil menatap ke arah lapangan basket dimana Jevan dan Arashya tengah berlatih.
“Apa yang lu dapat, Na?” tanya Eric berbalik memandang Narendra.
Yang ditanya hanya menunduk kecewa, “gue belum dapat dan catat semua reaksi yang terjadi dari campuran zat kimia yang ada di teh itu,” jawabnya lirih.
Dia melangkah dan berdiri sejajar dengan Eric, “oh ya, tadi lu bilang kalau ada beberapa fakta yang bisa lu kasih untuk mempercepat penelitian gue. Fakta apa emang?” tanya Narendra.
Eric tersenyum tipis kemudian melangkah mendekati anak tangga untuk turun tanpa berkeinginan untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan barusan. Narendra cukup dibuat bingung dengan pergerakan Eric yang tiba-tiba dan membuatnya tidak mendapatkan jawaban apapun. Namun, setelahnya dia segera mengikuti Eric yang sudah ada di lantai 1.
Eric melirik sekilas ketika Narendra sudah berjalan bersebelahan dengan dirinya. “Dia ga meninggal cuma karena teh itu aja,” ucap Eric yang lagi-lagi membuat Narendra terkejut bukan main.
“Jadi? Kalau bukan cuma teh, kemungkinan ada beberapa makanan atau minuman yang dia konsumsi dan mengandung racun mematikan itu?” tanya Narendra tak percaya.
“Iya. Dosisnya ditingkatkan hari ini bersamaan dengan tehnya, dan ya sesuai dengan perkiraan si pembunuh kalau targetnya akan meninggal hari ini,” jawab Eric sambil mengangguk pelan.
“Tapi, Renan sempat bilang kalau Harris yang bawain Kak Denandra teh, kan? Apa dia bisa termasuk ke dalam list tersangka kita?” tanya Narendra yang fokus melihat permainan Jevan dan Arashya karena mereka berdua sekarang sudah berdiri di tepi lapangan.
“Untuk masalah tersangka bisa aja, tapi gue minta waktu ke ayah lu biar kita yang selesaikan ini sendiri. Gue juga ngerasa aneh kenapa teman kita mau membunuh orang kayak gitu? Agak ga masuk akal kalau kata gue dan gue ga akan semudah itu buat percaya.” Eric berucap tegas tapi ada senyum miring terulas sekejap di wajahnya. Dia lalu berlari kecil menghampiri Jevan dan Arashya yang sudah menepi untuk beristirahat.
Pergerakan Eric akhirnya disusul oleh Narendra yang berhasil membuat Arashya dan Jevan mengernyit keheranan sebab kedatangan kedua orang yang secara mendadak ini.
“Ada kasus kematian lagi, barusan ayah Narendra pergi bawa mayatnya.” Eric langsung mengatakan inti permasalahan ketika Arashya sedang minum air yang berakhir menyembur wajah Narendra dihadapannya.
“SUMPAH! Ini gue baru datang malah disembur. Arashya, gue ga kesurupan ngapain lu sembur-sembur gue kayak dukun gitu?!” Narendra sedikit berteriak karena kesal atas perlakuan Arashya yang dia dapatnya.
Yang bersalah hanya bisa mencakupkan kedua tangannya untuk memohon ampun. “Aduh! Sorry, Na.. Gue ga sengaja. Habis si Eric ngasih berita tanpa intro dulu,” bela Arashya sambil terus meminta maaf.
Hal itu sontak mengundang gelak tawa dari sepasang saudara kembar itu. Bahkan Jevan tertawa terbahak-bahak hingga matanya tidak terlihat.
“Haha, okay okay.” Ucap Jevan sambil mengakhiri tawanya, “jadi, kali ini siapa yang meninggal?” tanyanya fokus pada informasi yang baru saja diberikan oleh sang adik.
“Kak Denandra yang meninggal,” jawab Narendra sambil mengelap wajahnya dengan kasar.
Lagi-lagi Jevan dan Arashya terkejut bukan main. Padahal baru beberapa jam yang lalu mereka bersama-sama untuk membantu mengangkat Kak Denandra itu agar segera ditangani oleh PMR di klinik kesehatan sekolah. Tapi, kenapa tiba-tiba dinyatakan meninggal?
“Ah yang bener aja lu berdua, baru aja tadi kita yang bawa dia ke klinik kesehatan, masa meninggal sih? Naren juga tadi sempat bilang kalau dia pingsan, kan?” tanya Arashya yang tampak sangat tak percaya.
Eric memijat pangkal hidungnya pelan karena merasakan pening. “Gue jelasin. Jadi, tadi setelah kita bawa dia ke klinik, beberapa saat setelahnya dia udah sadar—“
“Tuh, itu katanya udah sadar, terus kenapa sekarang bisa meninggal?” sela Jevan sambil menyeka keringatnya.
“Shut up! Don’t speak and listen to me!” bentak Eric dingin dalam bahasa Inggris. Yang lain jadi takut melihatnya lalu mengangguk cepat, mengisyaratkan agar Eric melanjutkan perkataannya.
“Renan ngasih kesaksian kalau Harris bawain Kak Denandra segelas teh ketika dia udah sadar. Sejam setelah minum teh itu, efeknya baru terasa dan itulah yang buat dia meninggal,” sambung Eric mengakhiri ceritanya.
Arashya menaikkan sebelah alisnya, “efeknya? Maksud lu ada campuran sesuatu dalam teh itu?” tanyanya bingung.
Eric dan Narendra mengangguk serempak. “Iya, ada kandungan racun dalam teh itu. Gue udah sempat periksa di lab dan cuma zat ini yang baru terdeteksi,” balas Narendra merogoh sakunya dan mengeluarkan lipatan kertas catatannya tadi.
“Racun apa yang sekuat itu efeknya? Berarti sekitar 1 jam setelah minum teh itu dia meninggal?” Kini Jevan bertanya.
Narendra kembali mengangguk, “untuk racunnya gue belum tahu. Tadi Eric bilang bakal ngasih tahu gue beberapa fakta yang kemungkinan bisa mempercepat penelitian gue. Sayangnya, sampai sekarang dia belum bilang apapun,” jawabnya melirik Eric yang terlihat sedang tersenyum.
Ketiganya reflek menoleh pada Eric yang sedang menunjukkan senyum miringnya dan membuat kesan misterius pada dirinya.
“Ada beberapa fakta yang gue punya, tapi sebelum itu gue mau nanya sama lu berdua, Arashya dan Jevan,” ucap Eric yang beralih menatap keduanya secara intens.
“Sejak kapan lu berdua sadar kalau Kak Denandra itu kelihatan pucat? Gue tahu kalau kalian berdua itu pengamat yang handal dan punya ingatan jangka panjang yang bagus,” lanjut Eric.
Yang namanya disebut saling tatap satu sama lain. “Gue rasa udah sekitar 3 hari belakangan ini Kak Denandra kelihatan pucat dan suhu tubuhnya panas gitu. Cuma dari kemarin-kemarin demamnya ga separah tadi pas dia pingsan,” balas Arashya mewakili Jevan.
“Selain kulit dan wajah yang kelihatan pucat, apa lagi yang kalian ingat bersamaan dengan itu?” tanya Eric lagi.
Jevan mengangkat tangannya, “dia sering ngeluh sakit kepala. Kadang kepala bagian kanan, atau bagian belakang. Pokoknya ga jauh-jauh dari kata migrain,” jawab Jevan memperjelas.
“Oke, dari sini ada beberapa fakta dan kesimpulan yang bisa gue ambil.” Eric tiba-tiba berjalan ke tengah lapangan dan berdiri di satu titik.
“Kak Denandra ga meninggal hanya karena campuran dalam teh itu doang. Beberapa hari saat kalian lihat dia pucat, itu semua efek dari racunnya. Dia meninggal hari ini karena dosis racunnya ditingkatkan dan itu yang buat dia meninggal,” jawab Eric tersenyum.
Narendra memiringkan kepalanya bertanya-tanya. “Terus hubungannya sakit kepala sama korban?” tanyanya penasaran.
Eric makin melebarkan senyumannya, “itu berpengaruh buat kesehatan dia. Dia jadi sering merasa pusing dan mengalami kerontokan. Jadi menurut lu, Na. Racun apa yang bisa buat korban meninggal dalam hitungan beberapa hari karena permainan dosisnya dan bisa menyebabkan kerontokan?” tanya Eric.
Narendra berpikir sejenak dan akhirnya menjentikkan jarinya, “gue tahu! Polonium!” seru Narendra ketika dia ingat dengan nama itu.
“Terus untuk pelakunya?” tanya Jevan dan Arashya bersamaan.
Tak ada jawaban bagi mereka, tapi Eric malah mendongak menatap ke arah lantai 2. Hal itu juga diikuti oleh ketiga pemuda lainnya dan membuat mereka lumayan terkejut karena melihat seseorang sedang memandangi mereka dari sana.
“Itu, kan..? Harris?” kata Arashya terbata-bata dan orang yang mereka lihat segera pergi ketika mereka semua menyadari kehadirannya disana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Ayano
Ada sesuatu yang lain berarti
2023-06-08
0
Ayano
Wat?
Serius?
2023-06-08
0
Ayano
Ya allah 🤣🤣🤣🤣
Ngakak jiiir
Mo serius mode on malah ngelawak mode on dong wak
2023-06-08
1