Siang hari ini keempat pemuda tampan yang terdiri dari Eric dan Jevan Devandra, Arashya Pratama, dan Narendra Nasution tengah berkumpul di sebuah kafe yang letaknya tidak jauh dari sekolah.
Mereka memutuskan untuk berkumpul disana karena rasa penasaran tentang kasus yang Eric dan Narendra pecahkan kemarin. Jevan selaku sang kakak kembar dan notabenenya satu rumah dengan Eric bahkan tidak tahu menahu bagaimana ceritanya. Karena ketika dia minta agar Eric bercerita, hanya dibalas “besok aja ceritanya biar sekalian.”
Jevan dan Arashya hanya tahu kalau kemarin itu ada orang yang meninggal di sekolah. Mereka tahu itu karena setelah selesai berlatih basket, mereka sempat melihat 2 buah mobil polisi dan sebuah mobil ambulans yang berderet didepan gerbang sekolah. Lalu mereka juga melihat beberapa kelompok orang sedang menggotong sebuah kantong mayat.
Jadi, hari ini mereka menuntut cerita dari Eric untuk segala hal yang telah dilakukan tanpa sepengetahuan mereka berdua.
“So? Gimana ceritanya?” tanya Arashya membuka pembicaraan sembari menyeruput ice coffee yang dia pesan.
“Cerita apa?” Eric balik bertanya. Sekarang dia tengah sibuk dengan sebuah buku dan pena ditangannya.
“Gue udah coba dari kemarin nanya lu, tapi lu jawab mau dikasih tahu besok. Sekarang lu malah nanya balik, gimana sih?” sela Jevan kesal.
Narendra yang melihatnya hanya tertawa kecil karena tingkat keingintahuan kedua sahabatnya ini ternyata begitu besar.
“Kemarin gue lihat ada beberapa orang lagi gotong kantong mayat dibawa ke ambulans. Itu kenapa? Ada yang meninggal?” tanya Arashya serius.
Eric meletakkan buku dan pena di meja. Kemudian meneguk sedikit ice tea miliknya. “Brian Jefferson, anak kelas XII MIPA-3, dibunuh secara brutal dan mengalami pendarahan pada bagian kepala.” Jelas Eric yang membuat keduanya langsung tercengang.
“Dibunuh secara brutal itu gimana?” tanya Jevan kaget.
“Dipukul berkali-kali pakai balok kayu yang gue sama Eric temuin dekat pintu gudang sekolah. Dari hasil otopsi kemarin yang dikirim sama ayah gue, katanya tengkorak dia retak, sama kaya perkiraan Eric kemarin,” tambah Narendra yang lagi-lagi membuat Arashya dan Jevan terkejut tak percaya.
“Terus untuk pelaku pembunuhannya gimana? Saksi ada?” tanya Arashya bertubi-tubi.
“Untuk pelaku pembunuhan itu belum pasti. Tapi yang bisa gue kasih tahu ke kalian, kalau Harris dan Felix yang lihat mayatnya pertama kali dan mereka langsung pergi dari TKP karena Harris harus nyusul Felix ke toilet. Gue baru tahu kalau Felix itu fobia darah, jadi dia pasti lari ke toilet untuk muntah,” jawab Eric.
“Berarti Harris dan Felix bisa dibilang saksi?” Kini Jevan bertanya.
“Menurut gue sih, mereka bisa jadi saksi kalau mereka mau ngasih keterangan tentang apa aja yang udah mereka lihat sebelum kejadian mungkin. Kemarin ayah gue sama rekannya juga udah cek CCTV sekolah, tapi sayang banget ternyata di halaman belakang CCTV-nya rusak,” lanjut Narendra.
“Kemungkinan beneran rusak atau sengaja dirusak sih, Na.” Sahut Arashya yang diangguki Eric dan Jevan.
“Oh ya, satu lagi nih. Sebelum gue ketemu Harris yang bilang kalau dia nemu mayat di halaman belakang, gue sempat dapat e-mail baru.” Eric bercerita dengan semangat sambil menunjuk-nunjuk ponselnya.
“Kok lu ga bilang sama gue kalau lu dapat e-mail baru lagi kemarin?” tanya Jevan.
“Gunanya gue ngasih tahu lu apa? Toh ga bakal ada informasi penting buat gue. Kita bahkan ga bisa melacak siapa sebenarnya pengirim e-mail ini.” Balas Eric yang membuat Jevan memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Memang isi e-mail kemarin apaan, Ric?” tanya Arashya.
Eric membuka ponselnya dan menunjukkan e-mail yang dia terima kemarin. “Cuma ini, ga ada yang spesial. Tapi gue yakin, kalau mayat Kak Brian kemarin itulah kejutan buat gue!” seru Eric yang membuat ketiganya tidak habis pikir.
“Oke, jadi sekarang kita tahu kayak gini motif pelaku pengiriman e-mail ini. Gue jadi takut kalau setiap dia ngirim e-mail dengan kedok pengen ngasih kita kejutan itu malah ada kasus pembunuhan terus.” Ucap Narendra yang membuat semuanya kembali berpikir, karena apa yang diucapkannya itu masuk akal.
“Berarti bisa dibilang ini bakal jadi pesan berantai atau bisa juga jadi pembunuhan berantai?” tanya Jevan yang diiyakan oleh yang lain.
“Sekarang apa yang bisa kita lakukan?” Arashya bertanya sambil memijat pelipisnya pelan.
“Apa sebaiknya kita tanya Harris dulu tentang apa yang dia lihat?” tanya Jevan.
Narendra menjentikkan jarinya, “ide bagus. Coba aja langsung lu telpon.”
Mendengar kata-kata Narendra, Jevan dengan segera merogoh saku jaketnya untuk mengeluarkan ponselnya. Dia mencari kontak Harris dan langsung menghubunginya.
“Halo?”
Suara Harris langsung terdengar saat nomornya sudah terhubung. Jevan juga segera mengaktifkan fitur loud speaker.
“Iya, halo Harris.”
“Ada apa, Jev? Tumben banget lu nelpon gue?”
“Ah, iya Ris. By the way lu lagi sibuk?”
“Ga juga sih. Kenapa emang?”
“Ada hal yang mau gue tanya nih..”
“Tentang apa? Pasti Eric cerita tentang orang meninggal yang kemarin ya?”
“Tumben lu ga lola, Ris. Gue mau nanya soal itu. Kata Eric, lu sama Felix yang nemuin mayatnya pertama kali, kan?”
“Gue rasa gitu sih, Jev. Soalnya waktu itu cuma ada gue sama Felix disana. Gue lihat dari jauh itu mayatnya kayaknya baru gitu.”
“Jadi, lu sama Felix ga lihat ada orang di lokasi? Kalau ga orang, lu lihat ada benda-benda aneh gitu ga?”
“Waduh, kurang tahu sih gue, Jev. Waktu itu gue panik banget pas lihat mayatnya, terus si Felix juga langsung kabur gitu aja pas dia lihat darah. Ya karena gue juga takut bakal dikira pembunuhnya, jadi gue susul si Felix dan kebetulan ketemu Eric. Gue percaya kalau Eric bisa ngurusin hal ini.”
Ponsel Jevan lalu direbut oleh Eric.
“Tapi benar lu ga lihat ada orang berkeliaran disana? Atau siluet hitam mungkin? Atau apapun deh, Ris.” Suara Eric terdengar di ponsel Harris.
Yang ditanya sempat terdiam sejenak diseberang sana sebelum melanjutkan.
“Ah ya gue ingat dikit. Pas gue nyamperin mayatnya itu sama Felix, gue dengar ada suara balok kayu yang jatuh dekat pintu gudang terus kaya ada yang loncat lewat tembok belakang gudang. Tapi ga jelas sih gue lihatnya. Dia pakai hoodie hitam gitu.”
“Lu yakin kalau dia loncat lewat tembok belakang gudang, Ris?”
“Jujur gue ga terlalu yakin sih, tapi kalau sesuai yang gue lihat ya kayak gitu. Emang kenapa, Ric?”
“Oke, thanks banget. Kali ini lu benar-benar ngebantu gue banget, Ris.”
“Puji Tuhan, bagus deh kalau gue bisa ngebantu kalian. Ini gue end call ya, bye!”
Akhirnya telpon pun diputus sepihak oleh Harris. Setelah itu, Eric malah tersenyum yang membuat semua orang kebingungan.
“Lu kenapa, Ric? Senyum-senyum ga jelas gitu?” tanya Arashya heran.
“Harris itu ngebantu banget, yang dia lihat pakai hoodie hitam itu pasti pembunuhnya!” pekik Eric terlihat senang.
“Oh ya, tadi lu kenapa nanyain itu sampai 2 kali? Kayak ga percaya aja gitu kalau si pembunuh keluar lewat tembok belakang gudang?” tanya Narendra.
“Gue udah amati kemarin. Ibarat si pembunuh itu disuruh milih mau masuk penjara atau rumah sakit.”
“Maksudnya gimana?” Jevan menaikkan kedua alisnya karena bingung.
“Kemarin gue lihat kalau tembok di belakang gudang itu diatasnya tuh ada pecahan kacanya gitu. Lu pada tahu kan kalau tembok rumah yang emang di design ada pecahan kaca gitu?” Semua mengangguk menanggapi pertanyaan Eric.
“Jadi ya, gue yakin kalau pembunuhnya bakal ke rumah sakit setelah dia loncat dari sana ngelewatin tembok pembatas yang penuh pecahan kaca,” jelas Eric yang membuat semuanya terdiam.
"Itupun juga kalau si pembunuh beneran kabur lewat sana," gumam Eric sambil tersenyum miring.
Tak lama kemudian, ponsel Jevan berbunyi beberapa kali. Saat diperiksa ternyata ada e-mail masuk dan Jevan segera memeriksanya.
“Kayaknya ini giliran gue deh,” ucap Jevan lirih ketika mendapati pesan aneh berupa ucapan selamat entah untuk apa.
Selamat karena kalian sudah ada ditahap ini!
Kalian luar biasa walaupun belum mendapat jawaban atas pertanyaan terakhir kalian tentang siapa pembunuh Brian Jefferson.
Begitulah kira-kira e-mail yang dikirimkan pada Jevan yang membuat Eric tertawa senang. “Permainan yang luar biasa, dan kejutan yang menyenangkan!” serunya gembira.
Arashya yang ada disebelah Jevan menyikut lengannya pelan. “Adik lu memang agak lain ya,” ucapnya yang membuat Jevan menggeleng tak habis pikir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Penelop3
serem 😬
2023-05-06
1
Ayano
Makin tegang wak 😳😳😳
Mesti pantengin lagi nanti
2023-04-30
1
Ayano
Nih titik terang pertama. Tapi petunjuk pentingnya belum nemu lagi
2023-04-30
1