Eric sampai sekarang belum ingin memberikan jawaban atas pertanyaan tentang Harris pengkhianat yang sempat dilontarkan Jean. Hari ini adalah hari Kamis dan hari kepulangan Eric dari rumah sakit.
Dokter yang awalnya menangani Eric dan juga Kak Abhidata sudah memperbolehkannya untuk pulang karena dari sejak dia sadar kemarin, Eric terus memaksa agar diberikan izin untuk pulang dan melakukan perawatan di rumah saja dengan syarat harus dibantu oleh Jevan. Mereka semua sudah bosan mendengarkan Eric, jadi mau tidak mau akhirnya mereka memberikan izin dengan syarat Eric harus lebih berhati-hati saat ini. Terlebih lagi karena dia mempunyai penyakit hipotermia yang membuat dirinya sangat sensitif dengan suhu dingin.
Kini mereka sudah ada di rumah si kembar. Jevan, Arashya, dan Narendra hari ini izin tidak masuk sekolah dengan alasan klasik, yaitu ingin menjaga Eric. Padahal sebenarnya Jevan sendiripun bisa untuk menjaga Eric sebab orang tua mereka belum kembali dari Los Angeles.
“Lu berdua ngapain izin sekolah? Klasik banget lagi alasannya. Gue bisa sendiri tahu,” ketus Eric ketika melihat teman-temannya itu duduk melingkar di ruang tamu. Sedangkan dirinya sendiri duduk di atas sofa, berniat untuk menonton film detektif kesukaannya.
“Gue iri kali, lu bisa santai-santai nonton Sherlock Holmes, sedangkan gue jadi pengangguran banyak acara di sekolah. Mending juga gue main ke sini. Mumpung ayah bunda gue juga lagi ga di rumah.” Balas Arashya sambil pergi ke dapur mengambil cemilan dan menganggap rumah si kembar seperti rumah sendiri.
Jevan merotasikan bola matanya malas. Jadi dia lebih memilih untuk merebahkan diri di karpet yang ada di bawah sofa sambil memainkan ponselnya. Sementara adik kembarnya sudah fokus dengan film yang muncul di layar TV.
“Eric! Bisa kecilkan TV-nya ga? Tangan gue jadi gemetar mau nuang cairan ini!” seru Narendra yang duduk tak jauh dari mereka, lengkap dengan jas putih serta sarung tangan steril yang selalu dia bawa. Dia sedang berusaha menciptakan penawar dari biusnya kemarin sambil sesekali memikirkan tulisan di kertas yang dia temukan di kantor polisi juga kertas yang ditemukan Yohan.
“Sorry to say, Na. Tapi TV ga bisa di kecilkan, karena ukuran dari pabriknya memang segitu!” balas Eric yang juga berteriak.
Narendra mencebik kesal karena batal untuk mencampur 2 cairan di hadapannya. “Ya maksud gue itu kecilkan volumenya!” ucap Narendra ngegas.
Arashya yang datang tiba-tiba dengan beberapa cemilan ditangannya kesal mendengar teriakan Narendra. Jadi dengan kasar dan brutal dia memasukkan beberapa makanan ringan langsung ke mulut Narendra.
“Naren! Gila lu! Dikunyah dulu baru ditelan!” bentak Arashya kaget karena Narendra langsung menelan makanan ringan yang dimasukkan Arashya ke mulutnya.
“Uhuk Uhuk…” Narendra terbatuk dan Arashya segera kembali ke dapur untuk mengambilkan segelas air yang langsung diteguk habis Narendra setelah diberikan.
Jevan hanya memijat kedua pelipisnya merasa heran dengan kelakuan 2 orang itu. “Pintar sih pintar, tapi kalau udah bego ga tanggung-tanggung, malah sampai ke tulang rusuk,” cerca Jevan yang bangkit dari posisi rebahannya dan ikut menonton bersama Eric. Bahkan karena sangat seriusnya dalam menonton, Eric sama sekali tidak terganggu dengan kericuhan itu.
Arashya kembali duduk di sebelah Eric sesudah bertanggung jawab atas kelakuannya pada Narendra. Dia juga yang merebut remote di tangan Eric, lalu sedikit mengecilkan volumenya. Setidaknya kali ini Narendra bisa fokus pada kegiatan awalnya dan tidak mengganggu mereka dengan teriakan yang memekakkan telinga.
“Menurut kalian gimana?” tanya Eric tiba-tiba entah pada siapa tapi fokusnya tidak berpaling dari layar TV didepannya.
Jevan dan Arashya saling menatap satu sama lain kebingungan. “Lu nanya siapa, Ric?” tanya Arashya sambil menyuap cemilan ke mulutnya.
“Kalianlah, siapa lagi?” balasnya tanpa menoleh.
Narendra yang menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat akhirnya bergabung bersama mereka. Dia sudah selesai dengan cairan warna-warninya, tinggal menunggu reaksi dan hasil akhirnya saja.
Dia duduk di karpet bersama Jevan, lalu ikut menonton filmnya. Sebenarnya film tentang Sherlock Holmes ini merupakan film favorit keempatnya, namun yang paling menyukai dan mencintai sepenuh hati adalah Eric. Jadi tidak heran jika dia sering memilih diam di rumah untuk menonton daripada harus keluar rumah untuk hal tidak jelas.
“Maksudnya gimana apanya?” tanya Jevan kini menatap orang yang duduk di sofa atasnya.
“Tentang kasus ketiga itu, Mrs. Connie Prince yang kena tetanus setelah kematiannya. Dan ya, lu pada tahu kalau si pembantunya menyuntik cairan botox ke dia,” ucap Eric sambil merebut salah satu cemilan di tangan Arashya.
“Gue kira kasus kita sekarang hampir mirip kaya kasus itu. Jujur, awalnya gue ngira itu racunnya bukan polonium tapi botox,” jawab Narendra seadanya.
“Ya tapi kalau botox itu kan buat mati rasa, bahkan kelumpuhan, terus meninggal,” sahut Arashya yang sibuk mengunyah cemilannya.
“Sama kaya bius yang lu buat kali, Na. Jadi curiga gue kalau ada kandungan cairan botox di dalamnya,” celetuk Jevan.
Narendra menatapnya sinis, “gue ga segila itu, buktinya Eric masih hidup, kan?” ketusnya yang membuat lainnya tertawa.
“Harusnya kalian itu hari ini ke sekolah tahu. Setidaknya bisa cari informasi lagi tentang kelanjutan kasusnya. Kita harus fokus sama kasus ini.” Eric menghentikan film yang dia tonton dengan menekan tombol pause.
“Tapi kayanya Kak Yohan masuk deh, minta sama dia aja. Kebetulan hari ini dia ngurus kepindahannya Kak Jean,” balas Jevan sembari mengingat perkataan Yohan kemarin yang mengatakan kalau dia harus mengurus proses pemindahan sekolah Jean ke sekolah mereka.
“Sumpah, Ric! Gue masih penasaran sama kertas yang kemarin dibawa sama Narendra dan Kak Yohan. Isinya apaan sih?” tanya Arashya penasaran.
“Saranjana,” balas Eric pelan.
“Gue ga tahu itu artinya apaan..” ucap Narendra menanggapi.
Jevan memiringkan kepalanya karena bingung, “Saranjana?” tanyanya yang diangguki Eric dan Narendra.
“Setahu gue, Saranjana itu artinya tanah yang diberikan dan dihilangkan,” lanjut Jevan.
“Terus hubungannya sama kasus kita apa? Dan ya, lu harus jawab kenapa lu bilang Haris pengkhianat, Ric.” Arashya berucap sambil memicingkan matanya curiga pada Eric.
Eric yang ditatap penuh curiga itu akhirnya menghela nafas pasrah dan reflek mematikan TV. “Jadi gini, kemarin terakhir gue emang ketemu sama Harris di areal kolam renang karena kebetulan gue cari dia dan Kak Yohan bilang kalau Harris ada disana.” Eric memulai ceritanya dengan serius.
“Gue makin lama makin curiga sama dia, kan. Dan gue baru sadar kalau pembunuh Kak Brian itu dia. Jadi pas di kolam renang itu gue pojokin dia karena dia berkhianat dan bohongin kita di awal.” Lanjutnya.
“Lu tahu dari mana tentang ini semua? Bukannya pas kejadian dimana Kak Brian meninggal itu, lu dapat informasi dari Harris? Gue heran, padahal waktu itu lu kelihatan percaya banget sama Harris, Ric.” Tanya Narendra yang benar-benar heran.
“Na, sebenarnya gue ga percaya siapapun. Tapi gue coba memperlihatkan kalau gue benar-benar percaya sama dia, lu pada tahu kalau itu cara kerja gue, kan?” tanya Eric yang dibalas anggukan kompak dari ketiga sahabatnya.
“Jadi lu tahu Harris pelakunya dari mana?” Kini Jevan bertanya.
“Sebenarnya, pas Narendra periksa balok kayunya, gue sempat perhatiin tangan kanannya Kak Brian. Ternyata disana ada kunci gudang yang dia genggam erat banget. Terus gue ambil deh,” jelas Eric.
“Awalnya gue ngira kalau antara Harris atau Felix yang bawa kuncinya karena mereka mau ke gudang, pas lihat mayat mungkin jatuh karena mereka panik lalu kabur dan ga sengaja jatuhnya tepat ditangan Kak Brian. Tapi, makin dipikir makin ga mungkin,” lanjutnya.
“Pas kalian pergi ke ruang arsip,” Eric menatap Jevan dan Arashya bergantian, “dan pas Narendra pergi ke kantor polisi, gue nyari Harris. Sebelum itu, gue nyari Mr. Vernon dulu dan gue tanya. Eh tahunya ternyata beliau nyuruh Kak Brian, bukan ke mereka. Berarti benar ding kalau mereka bohong?” tanya Eric balik yang lagi-lagi membuat semuanya mengangguk terheran-heran.
“Gue masih ga paham pola pikirnya Harris, sih. Untuk apa coba dia lakuin semua ini? I mean kayak ga ada untungnya lho bunuh-bunuhan gitu, kecuali dia psychopath,” balas Arashya.
“Yang psikopat cukup lu doang, please jangan nambah lagi,” sahut Jevan pusing.
“Tapi gue ngerasa kalau Kak Jean juga psycho, hehe,” sela Arashya cepat.
“Oke, berarti emang benar kalau Harris pengkhianat dan udah bunuh mereka berdua. Karena dari kesaksian Renan, Harris yang ngasih teh itu ke Kak Denan.” Ujar Narendra sambil mengetuk-ngetuk meja didepannya.
“Setuju gue sama Naren. Tapi, pas lu di kolam renang sama Harris, apa ada orang lain lagi? Gue mikir kaya ga mungkin Harris seret lu sendirian setelah kena bius itu ke air, karena posisi lu kaya dilempar gitu makanya ada ditengah-tengah,” tanya Jevan yang makin muak dengan konspirasi dan kasus ini.
“Ada orang lain lagi. Orang itu gue ga lihat jelas mukanya. Cuma ya pakaiannya full hitam. Bahkan dia yang suntik bius itu ke gue secara tiba-tiba dari belakang,” kata Eric sambil berusaha mengingat.
“Makin bingung gue, jadi nyesel ga sekolah. Jadi ga bisa mantau orang,” sesal Narendra yang akhirnya memilih untuk merebahkan dirinya di karpet.
“Terus untuk kasus Kak Marka gimana? Ada perkembangan? Kayanya ini berhubungan, soalnya kertasnya sama-sama nyebut Saranjana,” ujar Eric yang meraih ponselnya.
“Kita tunggu Kak Yohan sama Kak Jean deh,” lirih Jevan.
Semenit kemudian, ponsel Eric berdering menandakan ada sebuah panggilan masuk. Saat mereka lihat, ternyata yang menelpon adalah Yohan. Dengan segera Eric mengangkatnya dan mengaktifkan loud speaker.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments