02. Email Baru

Hari ini hari Jumat yang lumayan membosankan. Semua pelajaran juga telah berakhir mengingat Penilaian Akhir Semester juga sudah selesai seminggu terakhir ini. Jadi, mereka dibebaskan dan kebanyakan adalah jam kosong.

Eric berjalan sendirian entah kemana tujuannya, tapi yang pasti dia sedang mengelilingi koridor kelas X, XI, dan XI untuk menghabiskan semua tenaganya. Dia sedikit merasa bosan karena harus ditinggalkan sendiri oleh 2 sahabatnya dan juga kakak kembarnya.

Jevan dan Arashya hari ini ada latihan basket untuk pertandingan bulan depan. Mereka ingin menjadi yang terbaik, maka dari itu sebelum pertandingan mereka sudah berlatih dari jauh-jauh hari. Sementara, Narendra sedang sibuk berkutat dengan beberapa cairan berwarna-warni yang ada di laboratorium sekolah. Biasanya dia melakukan percobaan individu dengan beberapa ilmu yang dia dapat dan baca.

“Gue heran, kenapa hari ini yang lain semua sibuk? Apa cuma gue yang ga ada kesibukan lain?” gumamnya ketika mulai memasuki koridor kelas X karena dia memulai perjalanannya dari koridor kelas XI.

Selama perjalanan itu hanya keheningan yang ada. Eric beberapa kali tersenyum membalas orang-orang yang menyapanya. Tiba-tiba ponsel yang ada di sakunya berbunyi, menandakan ada beberapa pesan masuk. Eric dengan segera mengambil ponselnya dan memeriksa pesan tersebut.

“Ternyata ada 3 e-mail masuk. Bukannya itu terlalu banyak?” tanyanya pada diri sendiri. Dia yang masih berdiri akhirnya mendekat pada sebuah bangku panjang yang ada di depan klinik kesehatan sekolah yang memang terletak di koridor kelas X.

Jemarinya dengan lincah membuka dan membaca e-mail tadi. Eric mengernyit heran ketika mendapati pesan-pesan aneh yang pengirimnya juga tidak jelas.

“Apa ini kelanjutan terornya?” gumamnya sambil menunjukkan senyum miringnya.

Selamat siang, Eric Devandra.

Senang bisa menghubungimu lagi…

Aku tahu kau sedang merasa bosan hari ini, benar kan?

Sekiranya begitulah pesan yang diterima oleh Eric. Selang beberapa menit, Eric tersenyum senang.

“Bahkan lu tahu kalau gue bosan?” ucapnya sambil tertawa renyah.

Ponselnya kembali berbunyi.

Dugaanku benar. Maka dari itu, nikmatilah kejutan yang aku akan kirimkan padamu. Aku harap kau bisa terkejut karenanya.

“Aku rasa dia benar-benar mengawasi ku kali ini.” —batin Eric.

Dengan sigap matanya menyusuri setiap inci tempat yang ada didekatnya untuk memastikan apakah benar ada yang mengawasinya atau bagaimana. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil karena di sepanjang koridor itu tidak ada yang mencurigakan baginya.

“Well. Gue akan tunggu kejutannya. Gue pengen lihat apa yang bisa lu lakukan untuk menghilangkan rasa bosan gue,” kata Eric pelan lalu berjalan kembali mengelilingi koridor kelas X itu.

Tak ada apapun yang membuat Eric tertarik disana. Kecuali, saat dia tiba-tiba melihat seorang pemuda yang berlari panik dari ujung koridor. Dia menyadari kalau pemuda yang berlari itu adalah teman sekelasnya, Harris Abraham.

Eric lalu mempercepat langkahnya menuju Harris. Dia terlihat ketakutan. “Lu kenapa, Ris? Kenapa lu lari-lari di koridor kelas X kaya gini?” tanya Eric penasaran.

Harris menatap Eric penuh harap. Dia mencengkram kedua disisi pundak Eric dengan erat. “Ric! Sumpah gue takut banget ini…” ucapnya dengan nafas tersengal-sengal.

“Lu takut apa? Coba pelan-pelan jelasin. Tarik nafas lu dulu, pas udah tenang baru lu bisa cerita ke gue.”

Harris mengangguk pelan dan mulai mengatur nafasnya. “Ric! Lu pasti ga percaya kalau gue nemuin mayat di halaman belakang sekolah.” Jawab Harris menggebu-gebu.

“Mayat? Lu yakin kalau apa yang lu lihat itu mayat? Bukan orang yang pingsan atau lainnya?” tanya Eric memicingkan matanya.

Harris menggeleng heboh, “ngga, Ric! Gue yakin itu mayat karena ada darah disekitarnya!” serunya.

Eric menjadi heran, “kronologinya? Ga mungkin kan lu tiba-tiba langsung nemuin mayat disana?” tanya Eric.

“Gue juga ga tahu pasti, Ric. Cuma kebetulan gue lewat ke halaman belakang karena mau ke gudang sekolah tadi sama Felix.”

“Ngapain lu berdua ke gudang sekolah?”

“Tadi guru Pak Vernon nyuruh gue sama Felix buat ambil bola sepak gitu buat latihan. Selain tanding basket, sekolah kita kan juga mau tanding sepak bola,” jelas Harris.

Eric mengangguk paham kemudian menyadari ada sesuatu yang kurang. “Tadi lu bilang berdua sama Felix. Terus sekarang Felix mana?” tanyanya.

Harris kembali teringat dengan kawannya itu, “Felix itu fobia darah. Gue yakin setelah kita lihat itu dia bakal muntah-muntah. Makanya tadi dia lari, kemungkinan dia pergi ke toilet!” seru Harris lalu meninggalkan Eric yang masih diam ditempatnya untuk menyusul Felix.

Eric berpikir sebentar, lalu menunjukkan smirk di wajah tampannya. “Jadi ini kejutan yang lu kasih buat gue?” monolognya.

Selang beberapa lama, akhirnya dia berlari kecil untuk naik ke lantai 2 tepatnya ke laboratorium sekolah untuk mencari Narendra.

Sesampainya disana, tanpa aba-aba Eric langsung masuk begitu saja ke dalam laboratorium dan mengagetkan Narendra.

“Ric! Lu kebiasaan kalau masuk ruangan ga izin atau permisi dulu!” gerutu Narendra yang matanya sempat terantuk oleh mikroskop karena Eric langsung menepuk pundaknya pelan.

Yang dimarahi hanya tertawa dengan wajah tanpa dosa. “Na, gue mau minta steril gloves dong,” pinta Eric sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Narendra.

Narendra keheranan, “buat apa sarung tangan steril? Lu ga bakal aneh-aneh, kan?” tanyanya curiga.

“Ck, ya ga lah, Na. Gue cuma mau periksa mayat di halaman belakang.” Eric berdecak lalu segera merampas sarung tangan yang dipegang Narendra.

Narendra melotot tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Lu serius, Ric? Ada mayat di halaman belakang?”

“Serius, tadi Harris sama Felix yang nemu. Kebetulan gue tadi papasan sama Harris dan dia cerita,” balas Eric sambil memakai sarung tangan.

“Terus mereka gimana?”

“Ya ga gimana. Sekarang gue mau cek mayatnya. Tadi Harris nyusul Felix ke toilet, ternyata dia fobia darah. Kayanya dia muntah-muntah deh,” jawab Eric yang kemudian berlalu meninggalkan laboratorium diikuti oleh Narendra dibelakangnya.

“Lu tau, Na? Ini kejutan buat gue tahu..” Kata Eric disela-sela perjalanan mereka menuju halaman belakang.

“Maksud lu kejutan?” Narendra memiringkan kepalanya bingung.

“Iya, tadi gue dapat e-mail baru. Kata si pengirim dia mau ngasih kejutan buat gue.” Setelah berkata begitu, keduanya berbelok untuk menuruni tangga disebelah sebagai jalan tercepat menuju halaman belakang.

“Jadi mayat di halaman belakang yang bakal kita cek itu hasil kerjaan dia?” tanya Narendra lagi.

Eric tersenyum tipis, “ada dua kemungkinan, iya dan tidak. Karena mungkin aja dia yah ngelakuin itu dengan tangannya sendiri, atau bisa juga dia punya kaki tangan yang dia suruh untuk lakuin ini,” jawab Eric yang makin mempercepat langkahnya.

Kini mereka sudah ada di halaman belakang sekolah. Dan, benar saja disana mereka menemukan seonggok mayat yang terbaring kaku dengan darah yang berlumuran di pakaiannya. Tidak ada siapapun disana, hanya mayat itu saja yang tergeletak. Letaknya pun agak tertutup karena terhalang semak-semak.

Narendra dan Eric menarik kaki mayat tersebut untuk mengeluarkannya dari semak-semak dan mereka bisa dengan leluasa untuk memeriksa keadaan mayat itu.

“Menurut lu gimana, Na?” tanya Eric melepaskan tangannya pada tubuh mayat laki-laki itu.

“Well. Ini Kak Brian anak XII MIPA-3.” Narendra memperhatikan wajah mayat yang setengahnya telah ditutupi darah karena mengalami luka serius di bagian kepala.

Eric mulai berjongkok untuk memeriksa detail mayat yang diduga bernama Brian Jefferson itu. Dia memeriksa wajah, kemudian pakaian, dan lain sebagainya yang memungkinkan dia mendapatkan informasi tentang kejadian itu.

“Hm, darahnya udah mulai mengental dan berwarna kecoklatan. Kurang lebih korban meninggal sejam yang lalu.” Eric menyentuh darah korban yang telah mengental itu.

“Perkiraan lu untuk senjata pembunuhannya apa, Ric?” tanya Narendra mengamati dari jauh. Dia tidak ikut berjongkok dengan Eric.

“Dia meninggal karena luka di bagian kepala. Gue rasa kalau mayat ini diotopsi, bakal ketahuan kalau tengkoraknya retak. Dia dipukul berkali-kali dan gue yakin kalau Kak Brian ini ga tinggal diam. Dia sempat melawan pembunuhnya, maka dari itu kondisinya kelihatan berantakan kaya gini. Karena kesal, akhirnya si pembunuh dengan kuat memukul kepalanya beberapa kali dan bocor,” jelas Eric yang kemudian berdiri dari posisi berjongkoknya.

“Senjata tumpul apa yang bisa pembunuhnya pakai? Apalagi ini di areal sekolah, Ric..”

“Kita pikirin itu sekarang. Kalau menurut pendapat lu gimana, Na? Senjata apa yang bisa dia dapat disekitar sini? Ingat, itu benda tumpul, pasti ukurannya lebih besar daripada pisau dan dia bakal kesulitan untuk bawa pergi. Jadi, senjata itu pasti masih ada disekitar sini.” Kata Eric yang membuat Narendra langsung mengedarkan pandangannya.

Sorot matanya fokus pada sebuah balok kayu yang tergeletak didekat pintu gudang. “Gue rasa senjatanya bisa jadi balok kayu itu, Ric,” ucap Narendra yang mendekat untuk mengambilnya.

“Coba cek!” perintah Eric yang langsung dilakukan oleh Narendra.

Dia memperhatikan balok kayu itu dengan serius. “Untuk bercak darah sih ga ada, Ric. Cuma, kalau lu cium ini balok kayu ada bau amis darahnya,” kata Narendra yang menyodorkan balik itu pada Eric.

Eric mengangguk, “lu benar, Na. Sekarang lu boleh telpon ayah lu untuk masalah ini. Kasus ini harus ditangani segera, karena bisa jadi ini pembunuhan berantai,” suruhnya.

Narendra pun segera menghubungi ayahnya terkait masalah ini agar jasad Kak Brian itu bisa dikuburkan dengan layak.

Terpopuler

Comments

lil'sky

lil'sky

help jadi ikut ngebayangin kepalanya bocor😭

2023-05-17

0

lil'sky

lil'sky

mayatnya murid disituu?! kenapa kalian sangat santuy😵

2023-05-17

0

lil'sky

lil'sky

aga lain ya eric ini😊

2023-05-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!